Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghadapi ketidakpastian
Bayu duduk di bangku taman kampus yang sepi. Angin malam yang sejuk menyapu wajahnya, memberikan sedikit ketenangan setelah hari yang penuh kegelisahan. Setelah mengungkapkan perasaannya kepada Rara, kini ia merasa seolah ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—sesuatu yang belum sepenuhnya bisa ia pahami.
Dia menatap langit yang kelam, merasakan betapa kecilnya dirinya dibandingkan dengan luasnya alam semesta. Pikiran filsafat yang selama ini menghantuinya kembali mengalir.
“Socrates bilang, ‘Kenalilah dirimu sendiri.’ Tapi, kenapa rasanya, semakin aku mencari tahu tentang diriku, semakin aku merasa bingung?” gumam Bayu pelan, seolah mencoba berbicara pada dirinya sendiri.
Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar di belakangnya. Bayu menoleh dan melihat Rara datang mendekat, berjalan dengan langkah ringan. Wajahnya terlihat sedikit cemas, tapi juga ada senyum yang berusaha ia sembunyikan.
“Lo lagi ngelamun, Bay?” tanya Rara, suara lembutnya membuat Bayu merasa sedikit lebih tenang.
“Iya, cuma mikirin… banyak hal,” jawab Bayu dengan suara pelan. “Gue gak tahu apa yang harus gue lakuin selanjutnya.”
Rara duduk di sampingnya, memberi sedikit jarak di antara mereka. “Kamu gak sendirian, Bay. Gue di sini.”
Bayu menatapnya, merasa canggung. “Lo gak marah kan? Kalau gue tiba-tiba bilang gini tadi?”
Rara tersenyum, meskipun senyum itu sedikit dipaksakan. “Gue gak marah kok. Cuma, lo tahu kan? Gue agak bingung juga. Gue nggak tahu apa yang harus gue rasakan.”
Bayu menunduk, merasa cemas. “Gue ngerti, Ra. Gue gak berharap lo langsung jawab sekarang juga. Tapi yang pasti, gue nggak pernah merasa sejujur ini sebelumnya. Ini… beda dari semua yang gue bayangin.”
Rara diam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Gue tahu, Bay. Gue juga sering bingung tentang perasaan gue. Lo bukan orang pertama yang bikin gue bingung.”
Bayu menunduk, memikirkan kata-kata Rara. Rasanya ada sebuah simpul yang mulai terurai di hatinya. Dia mulai menyadari bahwa selama ini, mungkin dia hanya bersembunyi dalam ketidakpastian, takut untuk mengakui perasaan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.
“Lo tahu, Ra,” lanjut Bayu, suaranya hampir berbisik. “Kadang-kadang, gue merasa kayak Socrates yang selalu bilang, ‘Aku tahu bahwa aku tidak tahu.’ Gue merasa nggak tahu banyak hal tentang perasaan gue. Tapi, ada sesuatu yang… gue rasakan tentang lo.”
Rara menoleh, menatap Bayu dengan ragu. “Apa maksud lo?”
Bayu terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Maksudnya gini, Ra. Mungkin selama ini gue terlalu banyak berpikir tentang semua hal yang nggak penting. Gue juga sering berlarian dari kenyataan. Tapi, sekarang gue mulai sadar, ada lo di sini. Dan rasanya… gue nggak bisa lagi menghindar dari ini.”
Rara terdiam, seolah sedang memproses kata-kata Bayu. Ada kilatan harapan di matanya, tapi juga keraguan. “Lo bilang gitu… berarti lo juga mulai merasakannya, kan?”
Bayu mengangguk pelan, wajahnya terlihat ragu tapi tulus. “Iya, Ra. Gue nggak bisa menyangkal itu lagi. Gue gak tahu ini akan kemana, tapi gue mulai merasa bahwa perasaan gue lebih dari sekadar kebingunganku.”
Rara tersenyum, meskipun matanya sedikit basah. “Gue juga merasa itu, Bay. Gue nggak tahu kenapa, tapi setiap kali gue deket sama lo, rasanya ada sesuatu yang tumbuh. Gue suka… lo, Bay.”
Mendengar kata-kata Rara, hati Bayu terasa menghangat. Meski dia sering berpikir bahwa dia tidak bisa memberikan yang terbaik, namun rasa cinta itu mulai muncul, perlahan namun pasti.
“Gue juga suka sama lo, Ra,” jawab Bayu dengan pelan, hampir berbisik. “Tapi gue nggak tahu apa yang harus gue lakukan. Gue takut salah. Gue takut kalau gue nggak bisa bikin lo bahagia.”
Rara menatap Bayu dengan penuh pengertian. “Lo nggak perlu takut, Bay. Gue nggak minta apa-apa. Gue cuma… ingin lo tahu kalau gue ada di sini.”
Malam itu, mereka duduk bersama, diam-diam mengisi kekosongan di antara mereka dengan keheningan yang penuh makna. Bayu merasa sesuatu yang baru tumbuh di dalam hatinya, sebuah perasaan yang mulai dia terima meskipun penuh keraguan.
Ketika Dimas, Adit, dan Riko datang, suasana berubah sedikit lebih ceria, meskipun tetap ada ketegangan yang terasa.
“Eh, apa yang terjadi nih? Udah ngomong, kan?” tanya Dimas, melirik Bayu dengan mata berbinar.
Adit ikut menggodanya, “Gue nggak mau tahu detailnya, yang penting lo berdua udah ngomong apa enggak.”
Riko, yang lebih pendiam, hanya mengangguk. “Yang penting lo nyaman, Bay. Jangan sampai ada penyesalan di belakang.”
Bayu tersenyum kepada mereka, merasa sedikit lebih lega. “Iya, gue nggak nyesel. Kita masih bakal lihat kemana ini berjalan.”
“Yah, lo berdua memang keren deh,” kata Dimas sambil tertawa. “Gue yang jadi bingung sekarang, loh. Kayaknya gue juga harus nyari pasangan deh.”
Rara tertawa kecil mendengar itu, sementara Bayu hanya bisa tersenyum tipis, merasa lebih ringan. Mungkin, mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi saat ini, mereka berdua sudah tahu satu hal—bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.
Hari-hari setelah pengakuan perasaan Bayu kepada Rara terasa berbeda. Meskipun mereka belum secara resmi menjalin hubungan, perubahan kecil itu terasa sangat berarti bagi Bayu. Rara kini sering duduk di sebelahnya saat kuliah, meskipun mereka berbeda jurusan. Ada ketegangan yang tak terungkap, namun juga sebuah kenyamanan yang tumbuh perlahan.
Malam itu, Bayu sedang duduk di kafe kampus, menatap laptop dengan segenap perhatian, mencoba menyelesaikan tugas filsafat yang terpaksa dia kerjakan semalam suntuk. Di hadapannya, kopi hitam sudah hampir habis, meninggalkan sedikit sisa cairan pahit yang terasa semakin tidak bersahabat.
Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar dari arah pintu kafe. "Bayu?"
Bayu menoleh dan melihat Rara berdiri di ambang pintu. Wajahnya tampak sedikit lelah, tapi senyum yang menghiasi bibirnya membuat hati Bayu berdebar. "Ra, kenapa nggak duduk?" katanya sambil merapikan beberapa buku yang berserakan di meja.
Rara mengangguk dan berjalan mendekat. “Gue baru selesai tugas, nih. Kebetulan lewat sini, jadi… pengen ngobrol.”
Bayu tersenyum tipis. "Ngobrol apa, Ra? Gue lagi pusing sama tugas filsafat ini."
"Ah, jangan terlalu pusing," jawab Rara sambil duduk di kursi sebelahnya. "Tapi kalau lo perlu temen buat curhat, gue di sini kok."
Bayu tertawa kecil. "Gue nggak yakin lo sanggup dengerin gue ngoceh soal Socrates atau Plato sepanjang malam."
Rara tersenyum, tapi ada nada serius di balik matanya. "Gue dengerin kok, Bay. Gue udah terbiasa dengan cara lo mikir. Tapi, jujur aja, ada yang lebih penting yang gue pengen tanyain ke lo."
Bayu menatapnya bingung. "Apa itu?"
Rara mengambil napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Lo yakin nggak sih, dengan perasaan lo yang sekarang? Maksud gue… semua ini, apakah lo siap menjalani sesuatu yang baru? Gue nggak mau lo terjebak sama rasa cemas lo, Bay."
Bayu terdiam. Rasa yang meluap dalam dirinya selama ini membuatnya merasa sedikit bingung dan khawatir. Apakah dia siap untuk menghadapi ini semua? Dia selalu hidup dalam dunia yang penuh dengan logika dan pemikiran rasional, tapi perasaan yang dia rasakan terhadap Rara itu seperti sebuah paradoks yang sulit dia pahami.
"Socrates bilang, ‘Kebahagiaan tergantung pada diri kita sendiri.’ Tapi gue rasa, kadang kebahagiaan itu datang tanpa kita rencanakan. Itu yang gue rasakan sama lo, Ra," ujar Bayu dengan serius, meskipun ada sedikit canggung di nada suaranya.
Rara tersenyum, mengangguk pelan. "Gue ngerti kok, Bay. Gue juga nggak mau lo merasa tertekan sama perasaan ini. Gue cuma pengen lo tahu kalau gue ada buat lo."
Bayu mengalihkan pandangannya, menatap keluar jendela kafe, melihat malam yang semakin larut. "Gue nggak tahu kenapa gue merasa cemas seperti ini. Gue selalu pikir, gue akan baik-baik aja dengan hidup gue yang seperti ini. Gue nggak punya banyak teman dekat, nggak punya kekayaan, bahkan kadang gue merasa kayak nggak punya masa depan yang jelas."
Rara menatap Bayu, mata mereka saling bertaut, dan ada kehangatan yang tak terucap dalam tatapan itu. "Lo nggak sendirian, Bay. Gue percaya, lo bisa menghadapi semua ini. Kadang, kita cuma butuh sedikit keberanian untuk melangkah maju, meskipun kita nggak tahu apa yang akan terjadi."
Bayu menatap Rara, merasa ada kedamaian yang datang dari kata-kata itu. Ia tak pernah menyangka, perasaan yang begitu rumit ini bisa terasa begitu menyenangkan setelah dia mengungkapkan semuanya. Rara memberikan kenyamanan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, dan dia mulai merasa bahwa mungkin dia bisa melangkah maju.
"Tapi, Ra… apa lo yakin ini yang lo inginkan? Gue nggak punya banyak hal untuk ditawarkan," ujar Bayu dengan suara pelan.
Rara tertawa kecil, sedikit menyindir, "Lo ngelamun lagi, Bay? Lo punya lebih banyak dari yang lo kira. Gue nggak butuh banyak hal dari lo, selain lo jadi diri lo sendiri."
Kata-kata itu mengalir begitu saja, dan Bayu merasa beban di hatinya mulai berkurang. Mungkin selama ini dia terlalu sibuk mencari jawaban atas semua ketakutannya, tanpa menyadari bahwa jalan keluar mungkin lebih sederhana dari yang dia kira.
Beberapa jam berlalu, dan mereka berdua hanya duduk bersama, berbicara tentang kehidupan, perasaan, dan masa depan yang penuh ketidakpastian. Bayu merasa tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Mungkin ini memang saat yang tepat untuk memulai sesuatu yang baru, untuk menerima perasaan yang selama ini tersembunyi dalam dirinya.
"Socrates bilang, ‘Pencarian kebahagiaan itu adalah tujuan hidup.’ Dan gue rasa, mungkin kebahagiaan itu ada di sini, Ra. Bersama lo," ujar Bayu akhirnya, dengan suara yang lebih mantap.
Rara tersenyum lebar, mata mereka bertemu dengan cara yang penuh kehangatan. "Gue nggak pernah ragu, Bay. Semoga kita bisa jalan bareng, nggak hanya untuk hari ini, tapi untuk perjalanan panjang yang akan datang."
Mereka berdua tersenyum, merasakan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata. Bayu tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Mungkin, mereka berdua belum sepenuhnya tahu ke mana arah hidup ini, tetapi satu hal yang pasti—mereka tidak lagi merasa sendirian dalam kebingungan itu.
Malam itu, Bayu dan Rara meninggalkan kafe dengan langkah ringan, perasaan yang menghangatkan hati mereka. Mereka masih memiliki banyak pertanyaan, tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Bayu merasa yakin akan satu hal—bahwa kebahagiaan yang sejati memang dimulai dari keberanian untuk mencintai, bahkan ketika perasaan itu penuh dengan ketidakpastian.