"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di Tengah Kabut
Penerimaan Takdir
Rangga memulai hari pertamanya berlatih di bawah bimbingan Ki Jayeng Larang. Ia mulai memahami dasar-dasar ilmu Tapak Angin Kendan, tetapi konflik batin tentang dendam dan tanggung jawab terus menghantui pikirannya. Larasati, meski terluka, tetap menjadi penyemangatnya, sekaligus membangun dinamika hubungan mereka.8
---
Matahari pagi mulai terbit di balik pegunungan Kendan, memancarkan sinar hangat yang menyusup masuk ke dalam gua kecil tempat Rangga dan Larasati beristirahat. Namun, ketenangan itu segera terganggu oleh suara berat Ki Jayeng Larang yang berdiri di mulut gua.
“Bangun, Rangga! Waktumu untuk malas-malasan sudah selesai,” serunya sambil mengetuk-ngetukkan tongkat kayunya ke batu.
Rangga, yang masih berbaring di atas tikar anyaman, membuka matanya dengan malas. Tubuhnya masih terasa pegal dari pertempuran kemarin, tetapi suara Ki Jayeng yang penuh otoritas tidak memberinya ruang untuk beralasan.
“Ini baru hari pertama, Nak. Kalau kamu sudah lelah sekarang, bagaimana kau akan menguasai Tapak Angin Kendan?” kata Ki Jayeng dengan nada yang setengah mengejek.
“Aku tidak malas, Ki,” jawab Rangga sambil bangkit, meskipun gerakannya lambat. “Hanya saja, tubuhku masih belum terbiasa dengan... semua ini.”
“Tubuhmu tidak akan pernah terbiasa kalau kau terus mengeluh. Ayo, ikut aku ke luar!” Ki Jayeng memutar tubuhnya dan berjalan keluar gua tanpa menunggu jawaban.
Rangga menghela napas panjang, lalu beranjak berdiri. Ia melirik ke arah Larasati yang masih duduk bersandar di dinding gua, matanya setengah terpejam.
“Laras, kau tidak apa-apa?” tanyanya lembut.
Larasati membuka matanya dan tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja. Pergilah. Jangan biarkan Ki Jayeng menunggumu. Nanti dia makin galak.”
Rangga tersenyum tipis mendengar komentar itu. “Baiklah. Kalau ada apa-apa, panggil aku.”
Ia melangkah keluar gua, menyusul Ki Jayeng yang sudah menunggu di sebuah dataran terbuka kecil tak jauh dari tempat itu. Udara pagi terasa segar, tetapi hembusan angin dingin yang datang dari lereng gunung membuat Rangga merapatkan pakaiannya.
“Baiklah, Nak,” kata Ki Jayeng sambil memutar-mutar tongkatnya. “Kalau kau ingin belajar Tapak Angin Kendan, hal pertama yang harus kau pahami adalah... angin itu sendiri.”
“Angin?” Rangga mengulang dengan nada bingung.
“Benar,” Ki Jayeng menjawab sambil melangkah ke tengah dataran. “Tapak Angin Kendan bukan sekadar jurus. Ini adalah ilmu yang memanfaatkan energi angin di sekitarmu. Untuk menguasainya, kau harus belajar mendengar, merasakan, bahkan berbicara dengan angin.”
“Mendengar angin?” Rangga mengerutkan dahi. “Bagaimana mungkin aku bisa berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat?”
“Itulah inti dari ilmu ini, Rangga,” kata Ki Jayeng sambil tersenyum tipis. “Angin adalah sesuatu yang tidak bisa kau lihat, tetapi selalu ada di sekitarmu. Ia bisa menjadi teman atau lawan, tergantung bagaimana kau memperlakukannya.”
Rangga menatap Ki Jayeng dengan ragu, tetapi ia memutuskan untuk mengikuti instruksinya. Ia duduk bersila di tengah dataran, mencoba memusatkan perhatian pada angin yang berhembus di sekitarnya.
“Pejamkan matamu,” perintah Ki Jayeng. “Tarik napas dalam-dalam dan dengarkan. Jangan hanya menggunakan telingamu, tetapi juga hatimu.”
Rangga memejamkan mata, mengikuti arahan gurunya. Ia menarik napas dalam, mencoba merasakan udara yang masuk ke dalam paru-parunya. Pada awalnya, tidak ada yang terasa berbeda. Ia hanya mendengar suara desiran angin yang biasa.
“Biarkan dirimu larut dalam aliran angin,” lanjut Ki Jayeng. “Bayangkan kau adalah bagian dari hembusan itu. Jangan melawan. Biarkan ia membimbingmu.”
Rangga mencoba membayangkan dirinya sebagai bagian dari angin. Perlahan, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Desiran angin yang awalnya terdengar seperti suara biasa kini berubah menjadi ritme yang lebih teratur, hampir seperti bisikan. Hembusan itu seolah-olah berbicara, meskipun ia tidak bisa memahami kata-katanya.
“Bagus,” kata Ki Jayeng, suaranya terdengar jauh meskipun ia berdiri di dekat Rangga. “Itu langkah pertama. Sekarang, cobalah untuk mengikuti irama itu.”
“Mengikuti?” Rangga membuka matanya, bingung.
“Tepat,” jawab Ki Jayeng sambil berjalan mendekat. “Angin memiliki ritmenya sendiri. Jika kau bisa menyelaraskan tubuhmu dengan ritme itu, kau akan bisa mengendalikan alirannya.”
Rangga mengangguk pelan. Ia kembali memejamkan mata, kali ini lebih fokus. Ia mendengarkan desiran angin, mencoba menyelaraskan gerak tubuhnya dengan irama itu. Perlahan, ia menggerakkan tangannya mengikuti alur angin, meskipun gerakannya masih kaku dan tidak teratur.
Ki Jayeng mengangguk, puas dengan usaha muridnya. “Kau punya potensi, Nak. Tapi perjalanan ini masih panjang. Kau harus bersabar.”
Namun, saat Rangga mulai merasa sedikit percaya diri, suara tawa kecil dari arah gua mengalihkan perhatiannya. Ia membuka matanya dan melihat Larasati berdiri di dekat pintu gua, menatapnya sambil menahan tawa.
“Apa yang lucu?” tanya Rangga dengan nada kesal.
“Tidak ada,” jawab Larasati sambil tersenyum lebar. “Hanya saja, gerakanmu tadi mirip seperti orang menari. Kalau saja kau menambahkan musik, mungkin itu akan jadi hiburan.”
Ki Jayeng tertawa kecil mendengar komentar itu. “Dia benar, Rangga. Gerakanmu memang masih seperti orang yang tidak tahu apa yang sedang dilakukannya.”
Rangga menghela napas panjang, merasa malu. “Aku baru mulai, Ki. Jangan terlalu keras.”
“Justru karena kau baru mulai, aku harus keras,” jawab Ki Jayeng sambil mengetuk tongkatnya ke tanah. “Kalau kau ingin menjadi penjaga ilmu ini, kau harus siap menerima kritik.”
Larasati berjalan mendekat, kini wajahnya terlihat lebih serius. “Aku tahu aku tidak mengerti banyak tentang ilmu ini, tapi aku percaya Rangga bisa melakukannya. Dia sudah menunjukkan bahwa dia punya keberanian. Itu sudah cukup untuk memulai, bukan?”
Ki Jayeng menatap Larasati sejenak, lalu mengangguk. “Benar. Keberanian adalah langkah pertama. Tapi keberanian saja tidak cukup. Kau butuh ketekunan, ketenangan, dan hati yang bersih.”
Rangga menatap gurunya, tekad mulai tumbuh di matanya. “Aku akan melakukannya, Ki. Aku tidak tahu apakah aku bisa, tetapi aku akan mencoba.”
“Itu yang ingin kudengar,” jawab Ki Jayeng. “Sekarang, kita lanjutkan.”
---
Latihan hari itu berlangsung hingga matahari mulai tenggelam. Meskipun tubuh Rangga terasa lelah, ia merasa ada kemajuan kecil dalam dirinya. Ia mulai memahami sedikit tentang bagaimana merasakan aliran angin, meskipun ia masih jauh dari bisa mengendalikannya.
Saat malam tiba, mereka duduk di dekat perapian di dalam gua. Larasati sudah tertidur di sudut, sementara Rangga dan Ki Jayeng berbicara pelan.
“Rangga,” kata Ki Jayeng, suaranya lembut tetapi tegas. “Ingatlah satu hal. Ilmu ini bukan untuk membalas dendam. Jika hatimu dipenuhi kebencian, ilmu ini hanya akan menghancurkanmu.”
Rangga mengangguk pelan. “Aku mengerti, Ki.”
“Bagus,” jawab Ki Jayeng. “Karena besok, kita akan memulai pelajaran yang sesungguhnya.”
Rangga menatap api yang berkobar, pikirannya penuh dengan harapan dan keraguan. Perjalanan ini baru saja dimulai, dan ia tahu jalannya tidak akan mudah. Tetapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa ia memiliki tujuan.
---
Rangga memulai perjalanan panjang untuk memahami Tapak Angin Kendan, dengan bimbingan Ki Jayeng Larang dan dukungan Larasati yang selalu setia di sisinya.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya