Seorang arsitek muda bersedia mengikuti rencana iseng temannya dalam sebuah perjodohan atas dasar peduli teman. Namun siapa sangka, rencana tersebut malah menyebabkan konflik serta membongkar kasus yang melibatkan beberapa oknum pengusaha dan aparat. Bahkan berujung pada terancamnya kerajaan bisnis dari sebuah keluarga keturunan bangsawan di Perancis.
Bagaimana akhir dari rencana mereka? Simak kisah seru mereka di novel ini. (un) Perfect Plan. Semoga terhibur...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puspa Indah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 3
"Maaf ya Ra, kita malah jadi bikin kamu sedih. Tapi kalau bisa distop dulu ya Ra, nangisnya. Takutnya kita dituduh yang lain ngapa-ngapain kamu", bujuk Arya hati-hati.
Tiara kemudian menyeka air matanya, seolah membenarkan ucapan Arya.
"Ehm.. ngomong-ngomong.. Mbak Intan nya sudah nikah belum Ra?", tanya Zaki yang entah mengapa dengan gaya sedikit malu-malu.
Arya tak percaya pertanyaan itu keluar dari mulut Zaki.
"Ya ampun Zack.. lu keterlaluan amat. Ngapain lu nanya-nanya gitu? Mau poligami? Walaupun itu diperbolehkan di mata agama, tapi belum tentu di mata isteri lo kan?".
"Apa an si lo?! Nyambar aja kayak bensin. Gue nanyain Mbak Intan bukan buat gue kali. Tapi buat Bang Irwan. Kasian tuh, sudah hampir jadi bujang lapuk gitu belum nikah juga".
Arya terdiam kemudian manggut-manggut tanda paham maksud Zaki.
"Gimana Ra?", tanya Arya.
"Ya. Apanya Mas?!", Tiara sepertinya sempat blank karena melamun entah memikirkan apa.
"Mbak Intan sudah nikah belum?".
"Mm..maksudnya? Oh, Bb..belum. Belum kok mas, Mbak Intan belum nikah. Ehm.. Mas Arya.. naksir sama Mbak Intan ya?", tanya Tiara ragu-ragu.
Arya dan Zaki sekali lagi melongo.
"Waduh, ni anak tadi habis traveling kemana? Kok jadi gak nyambung gini ngomongnya?".
Arya mendengus kesal, sementara Zaki menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kita berdua ini mau menyatukan kembali mahligai cinta yang pernah terputus antara Bang Irwan dan Mbak Intan Ra.. Makanya nanya Mbak Intan sudah nikah apa belum? Kalau belum, berarti masih ada kesempatan buat Bang Irwan", terang Zaki yang tumben bisa sabar.
Tiara terdiam sejenak.
"Ya gue juga ngerti Ra, kalau lu termasuk fans fanatiknya Bang Irwan. Tapi jujur, pas tadi meeting baru kali ini gue ngelihat pandangan Bang Irwan seperti itu sama seorang cewek. Cinta gak bisa didustakan Ra".
"Mas Zaki ngomong apaan sih? Siapa juga yang naksir Bang Irwan", Tiara merasa kesal dengan tuduhan Zaki.
"Bilangnya aja gak naksir, tapi kalau Bang Irwan ada perlu, sambutannya manis.. banget kaya gulali. Lah giliran kita, dapat tumis pare campur daun pepaya", kini malah Arya yang kembali menuduhnya, diangguki Zaki dengan mantap.
"Iih.. kalian maunya apa sih? Kok malah mojokin aku. Terus, aku jadinya musti ngapain coba?!".
Zaki membenarkan posisi duduknya.
"Gini Ra, nanti gue sama Arya ngompor-ngomporin Bang Irwan buat PDKT, terus ngelamar Mbak Intan lagi. Nah.. tugas lo, memastikan Mbak Intan menerima lamaran itu. Ngerti gak?".
"Kenapa lo jadi semangat banget sih Zack, mau jodohin Bang Irwan?", tanya Arya penasaran pada Zaki yang sedari tadi terus mencecar Tiara.
"Ya.. kali aja kalau dia sudah punya isteri, dia ada kesibukan baru. Jadinya gak terlalu sering ngejar-ngejar kerjaan gue lagi, gitu..".
Arya dan Zaki akhirnya malah sama-sama tertawa.
"Dasar licik lo! Tapi gue akuin cerdas sih" puji Arya.
Zaki membusungkan dadanya dengan ekspresi sombong.
"Jadi, gimana Ra. Lo sanggup gak? Demi kebahagiaan kakak lo. Kasian kan, dia selama ini sudah berkorban buat lo".
Arya sontak menyenggol Zaki.
"Lo ngomong apaan sih? Gak perlu kayak gitu juga kali", Arya khawatir kalau ucapan Zaki menyinggung Tiara.
Tiara hanya diam. Kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Iya deh Mas, nanti aku coba", Tiara terlihat tak begitu bersemangat.
"Nah.. gitu dong. Kita balik sekarang yuk, hari ini gue yang traktir kalian", Zaki tersenyum seraya menuju kasir.
***********
Hari ini Arya tiba di kantor lebih pagi dari biasanya. Ia dan Zaki sengaja janjian untuk menyusun strategi demi kelancaran rencana mereka.
"Gini Zack, timnya Pak Nandar kan baru kelar tuh proyek besarnya. Proyek yang ada juga masih tahap survey, jadinya Mbak Intan gak terlalu sibuk tuh".
"Terus?", sahut Zaki dengan dahi berkerut.
"Nah.. nanti lo ngomong sama Pak Hermawan, minta Mbak Intan ditransfer sementara ke tim kita buat bantu lo nyelesain kerjaan lo yang molornya sudah gak bisa ditolerir".
"Eh, maksud lo apa nih?"
"Jangan emosi dulu bro.. Itu nanti alasan lo ke Pak Hermawan. Beliau kan pasti pengennya semua proyek cepat selesai. Supaya keinginannya terkabul, lo minta Mbak Intan memback up lo biar kerjaan kita bisa berjalan sesuai jadwal. Gitu..".
"Aduh.. gimana ya? Gue sebenarnya males nih menghadap Pak Hermawan. Berasa banget aura pimpinannya. Gue merasa tertekan, sampai-sampai ruangannya juga berasa mau menghimpit gue Ar" ujar Zaki tidak nyaman.
"Tenang aja.. ntar gue temenin. Gue yang ngomong ke beliau, lo bagian ngasih alasan aja. Oke?".
Zaki hanya mengangguk malas, tak mengira kalau ternyata rencana mereka harus dijalani seperti ini.
Tapi di luar dugaan, ternyata rencana mereka berjalan sukses. Ya.. paling tidak untuk tahap Intan pindah sementara ke tim mereka. Kesuksesan itu ditandai dengan dipanggilnya Irwan, Nandar dan juga Intan ke ruangan direktur utama, Hermawan Prasodjo.
Tak berapa lama, di ambang pintu ruang kerja tim Irwan, muncul sosok yang mereka rindukan. Maksudnya untuk jadi penolong Zaki sekaligus pasangan hidup Irwan.
Seluruh karyawan pria di situ sontak berdiri, termasuk Irwan yang terlihat salah tingkah. Sementara dua orang yang wanita, terlihat bingung dengan tingkah rekan kerjanya yang mereka anggap berlebihan.
"Assalamualaikum semuanya", sapanya ramah yang dibalas dengan suka cita oleh penghuni ruangan itu.
"Untuk sementara mulai hari ini saya diperbantukan di sini, karena katanya ada kondisi darurat. Bukan begitu Zaki?", tanya Intan tersenyum menatap Zaki dengan mata indahnya.
Zaki spontan salah tingkah yang tentu saja mendapat reaksi wajah konyol dari Arya.
"Eh, anu.. iya mbak. Betul" sahut Zaki malu-malu.
"Saya mohon arahannya, karena mungkin sistem kerja di sini berbeda dengan di tempat saya dulu. Kalau saya salah, jangan ragu untuk meluruskan. Dan kalau perlu masukan, saya dengan senang hati akan memberikan pendapat sesuai kemampuan dan pengalaman saya", suara merdu Intan menggetarkan jiwa para lelaki di sana, terutama Irwan.
"Baiklah, maaf kalau mengganggu kerja kalian. Silahkan dilanjutkan. Saya mau menghadap komandan pasukan dulu", ucapnya tersenyum sambil melirik ke arah Irwan.
Percayalah, Arya dan Zaki bahkan hampir muntah melihat reaksi Irwan yang tak pernah mereka temui selama mengenalnya. Memang cinta bisa membuat orang berubah 180 derajat. Dan bagi Irwan yang sebelumnya pernah kembali ke 0, ini adalah 180 derajatnya yang kedua dengan orang yang sama.
"Ini... meja kerja kamu. Dan Ehm... Perlengkapan yang kamu minta juga sudah disiapkan. Semoga.. kamu betah bekerja di sini".
Irwan sangat kentara tengah menahan gugupnya.
"Kalau ada yang kurang atau.. Ehm.. perlu tambahan lain, jangan sungkan untuk.. memberitahu aku", sambung Irwan dengan sikap tubuh yang terlihat kaku.
Intan pun sepertinya juga terlihat sedikit salah tingkah.
"Ngomong ke saya juga boleh mbak. Demi mbak, saya siap sedia setiap saat untuk memenuhi semua keperluan mbak supaya mbak merasa bahagia kerja di tim kami", sahut salah seorang staf dengan percaya diri.
Intan tersenyum lebar, sementara Irwan terlihat sedikit kesal dengan bawahannya.
"Terima kasih banyak. Saya merasa jadi orang istimewa di sini".
"Memang benar gitu kok mbak. Mbak Intan istimewa di hati kami dan juga di hati Bang Irwan. Ya kan bang?", Arya menimpali seraya tersenyum.
Sontak Irwan jadi gelagapan. Dalam hatinya dia mengutuk Arya yang mulutnya tak punya saringan.
Suasana mendadak sepi. Irwan tersadar ternyata semua mata tertuju padanya, pun mata Intan yang seperti menunggu konfirmasi atas sesuatu dari dirinya.
"Ehm.. ya, ya, tentu saja. Bu Intan istimewa di hati kita semua", jawabnya tanpa berani melihat Intan.
Irwan kemudian segera kembali duduk di kursinya.
"Baiklah, sekarang kita kembali bekerja. Perkenalan pribadi nanti sambil jalan aja", ucapnya lagi sambil berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup tak karuan.
*********
Intan menyendok sayur ke dalam mangkuk kemudian membawanya ke meja makan. Di sana sudah tersaji lauk dan nasi serta peralatan makan. Seorang gadis usia awal 20 -an sedang menatapnya, entah apa yang dipikirkannya.
"Ayo kita makan, mbak sudah lapar banget dari tadi", ajak Intan sambil tersenyum pada Tiara.
Mereka pun mulai makan malam bersama, sama seperti malam-malam sebelumnya. Hampir tak pernah mereka makan malam sendiri kalau mereka berdua ada di rumah.
Mereka berdua sepakat melakukan itu sebagai sarana interaksi intensif di tengah kesibukan mereka. Intan yang sibuk dengan pekerjaannya di perusahaan konsultan, juga harus mengurus toko kue peninggalan ibu mereka. Sementara Tiara hanya membantu sebisanya.
Intan, lebih mirip seorang ibu ketimbang kakak bagi Tiara. Ibu mereka yang sudah menjanda sejak Tiara SMP, meninggal dunia enam tahun yang lalu. Beberapa bulan sebelum Intan lulus kuliah.
Bayangkan betapa berat beban yang harus ditanggungnya. Saat harus berkutat dengan tugas akhirnya, dia masih harus membagi waktunya mencari nafkah sekaligus mengurus adik semata wayangnya. Dan di saat itu pula, Irwan yang jadi penyemangatnya harus meninggalkannya ke Inggris demi menjalankan keinginan orang tua melanjutkan pendidikan di sana.
Tiara menyuap makanannya sambil memandangi wajah kakaknya. Kakaknya yang begitu cantik, namun hingga usia hampir 30, belum juga menerima satupun pinangan dari lelaki yang antri melamarnya.
Itu juga yang membuatnya resign dari kantor lamanya kemudian bekerja di perusahaan yang sama dengan Tiara. Di sana ada seorang atasan yang menaruh hati padanya, hanya saja terlalu memaksanya hingga membuatnya jengah. Kebetulan perusahaan tempat Tiara bekerja memerlukan tenaga tambahan yang sesuai dengan kemampuannya.
"Mbak, mbak senang gak kerja di kantor yang sekarang?", tanya Tiara membuka obrolan.
Intan tersenyum menatap adiknya.
"Alhamdulillah, mbak senang soalnya bisa sering ketemu kamu"
"Senang ketemu Tiara atau ketemu Bang Irwan?", Tiara senyum usil.
Dia sedang berusaha melaksanakan tugas dari Zaki.
Intan tertawa, kemudian mengambil minum. Sejurus kemudian matanya hanya menatap isi piring yang kini hanya di aduk-aduknya. Pikirannya entah dimana.
"Mbak, mbak masih ada rasa gak sama Bang Irwan?"
Intan kembali tersenyum.
"Kita harus menjaga hati terhadap sesuatu yang tidak bisa kita miliki Ra".
Tiara mengerutkan dahinya.
"Maksudnya?"
"Maksudnya kita tidak boleh mengharapkan suami orang untuk menjadi milik kita, meskipun kita menyukainya. Itu bisa membuat kita jadi bibit pelakor", sahut Intan kemudian terkekeh.
Tapi Tiara malah terlihat bingung.
Bagus...