Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA WAJAH
Regita menatap Aksa dengan bingung, mencoba mencari jawaban di balik senyum ramah kakak tirinya itu. Di satu sisi, Aksa selalu bersikap baik dan penuh perhatian padanya sejak awal kedatangannya, seolah tidak ada alasan baginya untuk bersikap dingin atau kasar. Namun, setiap kali ia melihat ayah Aksa, Antonio, sikap berbeda jelas terasa—ada ketegangan dan ketidaknyamanan yang sulit ia abaikan. Regita merasa seolah ia adalah sosok asing yang tidak sepenuhnya diinginkan di rumah ini, setidaknya oleh ayah Aksa.
“Aksa… boleh tanya sesuatu?” Regita bertanya ragu, takut menyinggung perasaan kakak tirinya itu.
“Tentu saja, Git. Ada apa?” Aksa menatapnya penuh perhatian, seolah-olah apa pun yang akan ia katakan adalah hal penting.
Regita menggigit bibirnya sebelum mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. “Kenapa kamu… nggak pernah marah atau membenciku?” tanyanya pelan. “Aku tahu Ayahmu, Pak Antonio, mungkin… mungkin nggak senang dengan kehadiranku di sini. Tapi kamu… kamu tetap baik padaku.”
Aksa terdiam sejenak, wajahnya tampak merenung. Ia mungkin sudah menyadari keraguan yang dirasakan Regita, tetapi tidak menyangka Regita akan menanyakannya secara langsung. “Git, aku ngerti kalau kedatangan kamu membawa perubahan besar buat keluarga ini. Tapi aku nggak pernah berpikir untuk membencimu, atau merasa marah sama kamu.”
Regita menundukkan kepalanya, mengingat setiap tatapan dingin yang diterimanya dari Antonio, setiap kata yang terdengar setengah hati saat pria itu menyapanya. Ketegangan antara Antonio dan dirinya seolah menjadi tembok tak terlihat di rumah ini. “Aku cuma takut aku bakal jadi masalah. Aku nggak mau hubungan kamu dengan Ayah jadi nggak baik karena kehadiranku di sini.”
Aksa menghela napas panjang, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. “Ayah memang agak keras, Git. Beliau punya caranya sendiri untuk melihat dunia, dan terkadang itu membuatnya sulit menerima perubahan. Tapi percayalah, kamu bukan masalah buat kami. Ayah mungkin butuh waktu untuk menerima situasi ini, tapi aku tahu, seiring waktu, dia pasti akan melihat kebaikan dalam dirimu.”
“Tapi kenapa kamu bisa sebaik ini, Aksa?” tanya Regita, penasaran. “Aku cuma nggak ngerti. Kamu punya alasan buat membenciku, tapi kamu nggak pernah tunjukin itu.”
Aksa tersenyum samar, tatapannya penuh kasih sayang. “Karena aku tahu, kamu juga nggak punya pilihan. Kehadiranmu di sini bukan karena kamu yang memutuskan segalanya. Kamu cuma menjalani takdir yang menghubungkan kita. Dan lagi, aku percaya kalau setiap orang yang masuk ke dalam hidup kita pasti ada alasannya. Mungkin kamu datang ke sini untuk membuatku, bahkan Ayah, belajar sesuatu yang baru.”
Regita menghela napas, mencoba mencerna kata-kata Aksa. Meskipun masih ada perasaan tak nyaman di hatinya tentang bagaimana Antonio memandangnya, setidaknya dukungan dari Aksa memberinya sedikit kelegaan. Dia tak bisa mengabaikan kekhawatirannya sepenuhnya, tetapi dukungan kakak tirinya yang tanpa pamrih membuatnya merasa memiliki tempat di rumah ini, walaupun belum sepenuhnya diterima.
“Kalau begitu… aku janji, Aksa, aku akan berusaha untuk tidak membuat semuanya jadi lebih rumit,” kata Regita, suaranya hampir berbisik.
Aksa menepuk pundaknya lembut. “Kamu nggak perlu berusaha keras seperti itu. Jadi dirimu saja, Git. Itu sudah lebih dari cukup. Kalau kamu butuh bantuan atau merasa nggak nyaman, aku selalu ada di sini untuk kamu. Ingat, kita ini keluarga sekarang.”
Regita mengangguk pelan, mulai merasakan bahwa mungkin suatu saat ia bisa benar-benar diterima di sini. Meskipun jalan di depan masih panjang, Aksa telah memberinya kekuatan untuk melangkah, satu demi satu, dengan harapan bahwa ketulusan dan keberadaannya bisa mengubah pandangan Antonio.
Di balik senyuman ramah dan sikap hangatnya, Aksa menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam. Diam-diam, dia memasang wajah yang sulit ditebak, seakan ada lapisan lain di balik perhatiannya terhadap Regita. Di dalam hatinya, Aksa memiliki sebuah rencana yang tak diketahui siapa pun. Untuk menjalankan rencana itu, dia perlu menjaga kedekatannya dengan Regita, menunjukkan kebaikan yang tulus agar gadis itu merasa nyaman dan aman di sisinya.
Namun, bukan berarti mudah baginya. Kadang, di setiap senyuman yang ia lemparkan pada Regita, ada bayangan rencana itu terlintas di pikirannya, mengingatkannya pada tujuan yang tak bisa ia ungkapkan. Dia tahu, jika rencana ini berhasil, akan ada perubahan besar yang mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya, terutama bagi Regita. Tapi, untuk bisa sampai ke tahap itu, Aksa harus bersabar dan memainkan perannya dengan hati-hati.
Saat Regita bertanya dengan polos kenapa dia begitu baik, Aksa hampir saja terjebak dalam kebingungannya sendiri. Namun, dengan cepat, ia memasang senyum meyakinkan, memberikan jawaban yang penuh perhatian dan tak menunjukkan sedikit pun keraguan. Baginya, semakin dekat ia dengan Regita, semakin mudah baginya untuk melangkah ke rencana berikutnya.
“Waktu yang tepat akan datang,” pikir Aksa dalam hati sambil memperhatikan Regita yang kini tampak mulai tenang di sampingnya. Dia menghela napas panjang, meyakinkan dirinya sendiri untuk terus bersikap seperti ini. Di balik semua kebaikannya, ada satu hal yang jelas: Regita adalah bagian penting dari rencana yang telah ia simpan rapat-rapat.