Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KELEMAHAN
Setelah ujian, semuanya terasa lebih ringan. Bima mulai lebih sering ikut nongkrong bareng kami, dan suasana di antara kami semakin hangat. Setiap hari di sekolah jadi penuh dengan tawa dan canda, meskipun tetap ada rasa canggung yang kadang muncul. Aku merasa seolah ada dinding yang mulai runtuh antara kami, dan itu bikin hatiku berdebar.
Suatu hari, saat kami lagi asyik nongkrong di taman sekolah, Bima tiba-tiba mengeluarkan ide brilian. “Gimana kalau kita bikin grup belajar? Jadi kita bisa saling bantu sebelum ujian selanjutnya,” usulnya. “Biar kita semua bisa lebih siap.”
Aku langsung setuju. “Boleh banget! Lagian, belajar bareng itu lebih seru!” jawabku dengan semangat. Rina yang ada di sampingku juga setuju, “Iya! Kita bisa bikin jadwal rutin. Makin sering ketemu, makin asyik!”
Kami pun sepakat untuk mulai grup belajar setiap akhir pekan. Hari itu, kami merencanakan untuk berkumpul di rumahku. Keesokan harinya, suasana di rumahku udah siap. Aku sudah menyiapkan camilan dan minuman untuk menemani belajar. Setiap kali mendengar ketukan pintu, hatiku berdebar. “Semoga Bima datang,” pikirku.
Ketika semua sudah berkumpul, kami mulai belajar dengan semangat. Bima menjelaskan beberapa konsep yang sulit, dan rasanya setiap kali dia berbicara, aku hanya bisa terpesona. “Gila, dia pinter banget!” gumamku dalam hati. Rina di sampingku cuma ngangguk-angguk setuju.
Saat istirahat, kami beralih ke bagian yang lebih santai. Kami mulai ngobrol tentang hobi dan pengalaman masing-masing. Bima ternyata suka banget main game dan juga punya passion dalam menggambar. “Gue biasanya gambar karakter-karakter dari game favorit gue,” katanya dengan antusias.
“Serius? Bisa tunjukkin gambarnya nanti?” tanyaku, ingin tahu lebih banyak. “Iya, nanti deh. Tapi jangan harap lihat yang keren, ya!” jawab Bima sambil tertawa. Suasana jadi lebih akrab, dan aku merasa senang dia mulai terbuka.
Setelah sesi belajar, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak dan menikmati camilan yang sudah disiapkan. Saat itulah, kami mulai berbagi cerita tentang pengalaman lucu di sekolah. Rina menceritakan bagaimana dia hampir jatuh saat berlari di koridor. Kami semua tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba, Bima terdiam sejenak. “Eh, ngomong-ngomong, ada yang mau tahu kelemahan gue?” tanyanya, dengan nada menggoda. Kami semua langsung penasaran. “Apa tuh?” tanya Rina.
“Gue… gampang teralihkan sama makanan!” jawab Bima sambil tertawa. Kami semua ngakak. “Jadi, kalo ada makanan enak, gue bakal ngelupain semua yang ada di depan mata!” tambahnya.
“Hah? Sama! Gue juga!” kataku, merasa lebih akrab. Rina pun ikut-ikutan, “Iya, kita semua kayaknya gampang tergoda sama makanan. Kayak saat kita nunggu makanan di cafe kemarin, kan?”
Setelah candaan itu, suasana semakin hangat. Aku merasa semakin dekat dengan Bima. Kami menghabiskan waktu dengan bercerita dan bercanda hingga sore. Rasanya, pertemuan itu bikin kami lebih solid sebagai teman.
Beberapa hari setelah itu, grup belajar kami makin intens. Kami mulai mengerjakan tugas dan soal-soal latihan bareng. Setiap kali Bima menjelaskan, aku merasa lebih memahami pelajaran. Suatu hari, saat kami lagi belajar di rumah Rina, dia tiba-tiba menunjukkan gambarnya.
“Eh, lihat deh! Ini karakter yang gue buat kemarin malam,” katanya sambil menunjukkan gambar di handphonenya. Gambar itu sangat detail dan keren! “Gila, Bima! Lu jago banget!” seruku dengan kagum. Rina juga ikut memuji. “Iya, bisa jadi artis, nih!”
Bima tersipu, “Makasih, tapi gue belum cukup pede buat nunjukin ke orang-orang.” Dia terlihat sedikit malu, dan aku merasa ingin mendorongnya untuk lebih percaya diri. “Coba deh, ikut kompetisi atau pameran. Banyak yang pasti suka!” tawarku.
“Gue belum siap, sih. Mungkin nanti,” jawab Bima dengan nada ragu. Tapi aku tetap yakin dia punya potensi besar. Setelah sesi belajar, kami memutuskan untuk nonton film bareng di rumahku. Aku sudah menyiapkan popcorn dan minuman untuk membuat suasana semakin seru.
Saat film dimulai, aku duduk di samping Bima, dan rasanya campur aduk. Kadang aku mencuri pandang ke arah dia, melihat ekspresi wajahnya yang serius saat menonton. Tapi aku juga tidak mau terlalu berlebihan. “Semoga ini jadi momen yang berkesan,” pikirku sambil berusaha fokus pada film.
Setelah film selesai, kami semua masih terjebak dalam suasana. Rina bilang, “Gila, filmnya bikin baper, ya! Jadi pengen nonton lagi!” Kami semua setuju. Saat itu, aku melihat Bima tersenyum. “Seru juga nontonnya bareng-bareng,” katanya.
“Iya, kan? Kita harus sering-sering nongkrong kayak gini!” jawabku, merasa senang bisa menghabiskan waktu bersamanya. Bima tampak lebih rileks dan terbuka. Rasanya, kami sudah membangun ikatan yang lebih kuat.
Hari-hari berlalu, dan ujian berikutnya semakin dekat. Kami terus belajar bersama, dan setiap kali aku melihat Bima, aku merasa lebih percaya diri. Suatu sore, saat kami lagi belajar di taman, aku berani mengambil langkah lebih jauh.
“Bima, kalau kamu mau, kita bisa bikin project bareng setelah ujian. Tentang menggambar atau apa pun yang kamu suka,” tawarku. Aku pengen lebih banyak waktu bersamanya dan ingin membantunya menunjukkan bakatnya.
Bima terlihat berpikir. “Project? Mungkin seru juga. Tapi… apa kamu yakin mau bareng sama gue?” tanyanya dengan nada ragu. “Ya, kenapa nggak? Gue percaya kamu bisa bikin sesuatu yang keren!” jawabku dengan semangat.
Setelah itu, kami mulai berdiskusi tentang berbagai ide untuk project kami. Bima semakin terbuka, dan aku merasa senang bisa berbagi ide. Seiring berjalannya waktu, hubungan kami semakin akrab. Setiap kali melihat Bima, hatiku berdebar.
Hingga suatu hari, ketika kami lagi belajar di taman, Bima tiba-tiba berkata, “Eh, gue mau bilang sesuatu.” Hatiku langsung berdebar. “Apa ya?” tanyaku dalam hati. “Gue senang bisa kenal kamu lebih dekat. Lu bikin gue merasa lebih nyaman,” ujarnya.
“Gue juga! Senang banget bisa belajar bareng sama kamu,” balasku dengan tulus. Kami saling tersenyum, dan rasanya saat itu, semua dinding yang menghalangi kami perlahan mulai runtuh. Setiap kata yang diucapkan Bima semakin menambah kehangatan di hatiku.
Semua terasa semakin manis, hingga tiba saatnya ujian datang. Kami semua merasa siap, dan saat hasil ujian keluar, Bima dan aku sama-sama lulus dengan nilai yang memuaskan. Di antara teman-teman, kami merayakan dengan gembira.
“Eh, kita layak dapat perayaan kecil-kecilan, nih!” teriak Rina. “Ayo kita cari tempat makan enak!” Kami semua setuju, dan Bima terlihat senang dengan rencana itu.
Kami pergi ke cafe favorit kami dan menikmati makanan yang enak. Saat sedang makan, Bima tiba-tiba memanggilku. “Meg, ada satu hal lagi yang pengen gue tanya,” ujarnya. Hatiku berdegup kencang.
“Kenapa?” tanyaku, berusaha tetap tenang. “Gimana kalau kita bikin komunitas menggambar di sekolah? Kayaknya banyak yang tertarik,” usulnya dengan semangat. “Gue mau ajak orang lain biar bisa lebih banyak berlatih.”
“Wah, itu ide keren banget! Kita bisa mulai dari sekarang! Aku mau ikut, Bima!” jawabku. “Ayo kita bicarakan lebih lanjut. Kita bisa ajak Rina dan teman-teman lain juga!”
Saat itu, aku merasa hubungan kami semakin kuat. Tidak hanya sebagai teman, tetapi juga sebagai rekan dalam menciptakan sesuatu yang lebih besar. Hari-hari setelah itu penuh dengan rencana dan semangat baru. Dan aku percaya, semua ini adalah langkah menuju sesuatu yang lebih indah antara aku dan Bima.