Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu Kamar
Begitu sampai di rumah, Amar mengantar Mahira hingga ke kamarnya. Amar terus mengamati Mahira yang meletakkan baby Emir di ranjang dengan sangat perlahan, akan tetapi baby Emir kembali menangis sehingga Mahira kembali mengangkatnya, menepuk-nepuk b0kong nya supaya diam. Namun baby Emir terus menangis sehingga Mahira kembali meletakkan di ranjangnya dan ingin memberinya ASI supaya diam.
"E-aku keluar," ucap Amar menyadari apa yang ingin Mahira lakukan.
"Jika butuh sesuatu, panggil aku." imbuh Amar sebelum menutup pintu lalu pergi meninggalkan kamar Mahira.
Hingga dini hari, Amar masih belum bisa tidur memikirkan kondisi baby Emir meskipun tak terdengar lagi suara tangisnya. Untuk menghilangkan keresahan di hatinya, Amar kembali ke kamar Amira untuk memastikan kondisi baby Emir.
Semakin langkahnya mendekati kamar Mahira, samar-samar suara tangis baby Emir kembali terdengar. Membuat Amar kembali merasa khawatir dan membuka pintu tanpa mengetuk pintu.
Cklekkk...
Mahira yang tengah menggendong baby Emir tersentak dan menoleh kearah pintu dimana Amar tengah berdiri.
Seperti seorang Ayah yang menghawatirkan bayinya yang tengah sakit, Amar mendekati Mahira dan mengambil baby Emir dari gendongannya.
"Apa sejak tadi Emir tidak tidur?" tanya Amar sambil menepuk-nepuk baby Emir supaya diam.
"Hanya tidur saat aku memberinya ASI, tapi saat terlepas Emir kembali menangis."
Penjelasan Mahira cukup membuat Amar paham mengapa Emir kembali menangis, tapi Amar juga tidak menyalahkan Mahira karena semalaman memberikan ASI tentu akan membuat seluruh tubuhnya terasa pegal-pegal.
"Kamu beristirahatlah, aku akan menjaganya." ujar Amar dengan penuh perhatian.
"Tapi..." saut Mahira ragu.
"Percayalah aku akan menjaganya dengan baik, lihatlah sekarang dia sudah diam."
Mendengar itu, Mahira menatap baby Emir yang memang tidak lagi menangis, hanya kedua manik matanya membulat sempurna seakan tidak ingin tidur lagi.
"Baiklah, jika kak Amar merasa lelah, bangunkan aku," ucap Mahira yang kemudian naik ke ranjangnya untuk beristirahat.
Melihat Mahira yang hanya dalam hitungan menit tertidur, Amar duduk di tepi ranjang, menatap wajah Mahira yang terlihat lelah. Mengingat Amir sang adik selalu memperlakukan Mahira dengan baik dan tak sedikitpun membiarkan sang istri kelelahan Amar merasa bersalah.
"Amir... maafkan Kakak karena belum bisa sepenuhnya memenuhi wasiat terakhir mu." gumam Amar yang kemudian bangkit dari duduknya kemudian duduk di sofa yang berada tak jauh dari ranjang Mahira. Dengan telaten, Amar mengajak baby Emir bicara, semakin banyak Amar mengajaknya bicara, baby Emir semakin banyak mengeluarkan suara yang belum bisa di terjemahkan. Bahkan tawa khas bayi lima bulan membuat Amar semakin bersemangat. Hingga pada akhirnya baby Emir kelelahan dan tertidur di dada bidang sang Paman yang kini telah menjadi Ayahnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi harinya, dimana Mahira lebih dulu membuka mata, pemandangan indah tersaji di depannya, dimana dengan nyenyaknya baby Emir tertidur pulas di pelukan Amar yang setengah berbaring menyandarkan tubuhnya di sofa.
Dengan senyum terukir, Mahira dengan langkah perlahan mendekati mereka. Sedikit membungkukkan badannya untuk melihat lebih dekat baby Emir yang begitu nyaman berada di pelukan Amar. Melihat baby Emir mengeluarkan air dari mulutnya yang terbuka, Mahira kembali tersenyum dan mencoba menutupnya, tapi belum sempat Mahira melakukannya, Amar membuka mata dan langsung menggenggam tangan Mahira lalu menariknya hingga jatuh hingga menimpa bahu kiri Amar.
Posisi yang tak berjarak antara keduanya, membuat Amar dan Mahira saling memandang satu sama lain. Menimbulkan perasaan yang berbeda di hati keduanya mengingat ini kali pertama mereka sedekat itu.
"Kau..." lirih Amar seakan baru tersadar jika Mahira lah yang berada di depannya.
Bersambung...