Reynard Fernando, seorang CEO sukses yang lumpuh, menikahi Caitlin Revelton, gadis ceria dan penuh semangat yang dikenal tak pernah mau kalah dalam perdebatan. Meskipun Caitlin tidak bisa membaca dan menulis, ia memiliki ingatan yang luar biasa. Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta, hanya sekadar kesepakatan.
Namun, apakah hubungan yang dimulai tanpa cinta ini dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih mendalam? Atau, mereka akan terjebak dalam pernikahan yang dingin dan hampa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Mansion Revelton.
Rolla sedang sibuk menyediakan beberapa lauk untuk menyambut kedatangan Reynard. Sementara itu, Tom duduk di sofa dengan koran di tangannya. Caitlin, di sisi lain, tengah fokus menggambar di meja tamu.
"Caitlin, pergi bantu bibimu!" titah Tom, matanya tetap terpaku pada koran.
"Yang datang kan calon menantu bibi, dan calon suami kakak. Kenapa kakak malah diam saja di kamar sejak tadi?" jawab Caitlin dengan nada sedikit kesal.
"Kakakmu sedang mempersiapkan diri. Pihak keluarga laki-laki akan datang melamar. Kamu jangan berbuat aneh-aneh, Caitlin. Ingat, Tuan Peterson adalah kakak iparmu. Kamu harus sabar dan menurut!" jawab Tom tegas.
Caitlin mendengus, "Paman sangat aneh, dia suami kakak, bukan aku. Kenapa aku harus menurutinya? Lebih baik dia jangan datang lagi. Pamannya juga bukan orang baik, jadi mereka semua tidak baik."
Tom mendadak terhenti membaca dan menatap Caitlin dengan tajam. "Kamu bertemu dengan pamannya, Tommy Peterson?"
"Iya," Caitlin menjawab tanpa ragu, "dia memiliki senyuman iblis dan tatapan maut."
"Jaga ucapanmu, Caitlin!" Tom memperingatkan dengan nada yang lebih keras, "Keluarga Peterson adalah keluarga terpandang. Kamu harus belajar menghormati mereka, terutama jika kamu akan menjadi bagian dari keluarga ini!"
Caitlin tersenyum kecut, "Menghormati mereka? Paman, orang-orang seperti mereka tidak pantas dihormati. Aku tidak bisa pura-pura sopan pada orang yang hatinya busuk."
Tidak lama kemudian, Reynard tiba di kediaman Tom. Mereka semua berkumpul di ruang tamu, dengan suasana sedikit tegang namun formal. Reynard duduk dengan tenang. Sementara itu, Nancy masih belum menampakkan diri, membuat semua orang mulai bertanya-tanya.
Tom, yang sejak tadi tampak gelisah, melirik jam dinding beberapa kali. "Di mana Nancy? Kenapa lama sekali?" tanyanya, berusaha terdengar santai, namun nada suaranya mengandung kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan.
Caitlin, yang masih sibuk dengan pensilnya, menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas gambar di depannya. "Biasanya kalau peran utama akan muncul lebih lambat," ucapnya dengan santai, seolah situasi ini adalah bagian dari drama yang sudah bisa ia tebak akhirnya.
"Maaf, Tuan. Aku akan memanggilnya turun!" ujarnya kepada Reynard, berusaha memperbaiki keadaan.
Namun, sebelum Tom sempat berdiri, Reynard mengangkat tangannya sedikit sebagai isyarat. "Tidak perlu," jawab Reynard dengan suara tenang namun berwibawa.
Tom mendesah dalam hati, lalu beralih kepada Caitlin lagi. "Caitlin, cepat panggil kakakmu dan beritahu kalau Tuan Fernando sudah tiba!" titah Tom dengan nada yang lebih keras.
Caitlin mendengus, meletakkan pensilnya dengan gerakan yang agak malas. "Kakak sudah dua jam di kamar, kenapa masih belum siap?" gerutunya saat bangkit dari sofa. Langkahnya terdengar berat saat berjalan menuju tangga, seolah-olah ia benar-benar tidak ingin melakukannya.
Tanpa ragu sedikit pun, Caitlin berdiri di dekat anak tangga dan berteriak keras-keras, "Kakak, cepat turun!" suaranya melengking, mengejutkan semua orang yang berada di ruangan itu.
Tom memandang keponakannya dengan tatapan kaget dan sedikit kesal, sementara Rolla terperangah. "Caitlin, apa kamu perlu berteriak sekuat itu? Cepat naik ke atas dan panggil kakakmu dengan baik!" perintah Rolla dengan nada yang penuh teguran.
Caitlin melipat tangannya, dengan ekspresi yang penuh kebosanan. "Kenapa bukan dia yang turun? Calon suaminya sudah menunggu, dia masih saja belum turun," jawabnya tanpa sedikit pun mengurangi nada sarkastis di suaranya.
"Seperti yang aku katakan, tidak perlu. Kedatanganku kali ini bukan untuk Nona Nancy," kata Reynard dengan tenang, menatap Tom dan Rolla dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Caitlin, yang berdiri tidak jauh dari sana, mengernyitkan kening. "Kalau bukan untuk melamar, jadi untuk apa kamu datang?" tanyanya terus terang.
Tom langsung menatap gadis itu dengan tajam, merasa risih dengan pertanyaannya yang kurang sopan. "Caitlin, Tuan Fernando adalah tamu kita. Jangan lancang!" suaranya terdengar lebih keras, mencoba menegur Caitlin.
Namun, Reynard hanya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa," katanya, memandang Caitlin dengan tatapan penuh pengertian. "Dia hanya mengungkapkan isi hatinya."
Tiba-tiba, dari lantai atas terdengar suara keras yang membuat semua orang menoleh. "Caitlin…!" Nancy berteriak dari kamarnya dengan nada yang tidak kalah keras dari adiknya.
Caitlin mendesah pelan, kemudian berteriak balik dengan nada tinggi, "Ada apa?"
"Apakah calon suamiku sudah datang?" suara Nancy bergema ke lantai bawah, menyebabkan Tom dan Rolla terlihat tidak nyaman dengan tingginya volume percakapan.
Caitlin menyeringai, menatap langit-langit rumah, dan membalas dengan suara yang lebih tinggi lagi. "Calon suamimu belum sampai! Yang datang adalah calon suami orang lain!" teriaknya sambil tersenyum sarkastis.
Tom memijat pelipisnya, jelas-jelas tidak tahan dengan pertengkaran suara tinggi itu. "Caitlin, tolong kurangi suaramu. Jangan meninggikan suara di depan tamu!" desaknya.
Caitlin hanya meliriknya, dengan wajah penuh kepasrahan. "Tapi yang mulai adalah putrimu, Paman," jawab Caitlin dengan nada datar, mengangkat bahunya seperti tidak peduli.
Tom, yang mulai merasa kehilangan kendali, menoleh pada Reynard dengan permintaan maaf di wajahnya. "Tuan Fernando, sekali lagi aku minta maaf. Caitlin ini anak yang sedikit ceroboh."
Namun, Caitlin dengan cepat menyela, tidak mau kalah. "Kecerobohanku mirip denganmu, Paman. Karena aku tinggal di sini sejak kecil," ucapnya sambil kembali duduk di sofa, tidak berniat mundur dari argumennya.
Suasana di ruangan itu perlahan mulai tenang kembali. Tapi hanya beberapa detik kemudian, teriakan keras Nancy kembali memecah ketenangan. "Caitlin Revelton!" suaranya membahana, membuat semua orang di ruang tamu terkejut. Caitlin bahkan sampai terjatuh dari sofanya dan terduduk di lantai, dengan ekspresi kaget.
"A-ada apa lagi?" tanya Caitlin, mengelus dadanya sambil berusaha mengatur napas. Jelas, teriakan kakaknya baru saja membuat jantungnya berdebar kencang.
Rolla yang duduk di dekatnya memandang Caitlin dengan cemas. "Apa kamu baik-baik saja? Kenapa wajahmu tiba-tiba jadi pucat?" tanya Rolla, nadanya penuh kekhawatiran.
"Tidak baik, Bibi," jawab Caitlin dengan nada serius, sambil mengelus dadanya. "Cepat panggilkan dokter spesialis kandungan!"
Semua orang di ruangan itu seketika terdiam, kaget dengan pernyataan Caitlin. Rolla mengerutkan kening, bingung. "Untuk siapa dokter itu?" tanyanya.
Caitlin menjawab dengan ekspresi yang tidak kalah dramatis, "Untuk aku! Jantungku mulai tidak berfungsi!" ucapnya sambil masih mengelus dadanya.
Tom, yang sudah benar-benar kesal dengan tingkah keponakannya, langsung memukul kepala Caitlin dengan gulungan koran yang ada di tangannya. "Dasar bodoh!" gerutunya, mencoba menahan rasa frustrasinya.
Sementara itu, Reynard hanya tersenyum tipis, memperhatikan Caitlin dengan tatapan yang penuh minat, namun tetap tenang. Reaksi gadis itu, meskipun aneh, tampaknya menghiburnya.
seru nih