Kisah berawal dari gadis bernama Inara Nuha kelas 10 SMA yang memiliki kutukan tidak bisa berteman dengan siapapun karena dia memiliki jarum tajam di dalam hatinya yang akan menusuk siapapun yang mau berteman dengannya.
Kutukan itu ada kaitannya dengan masa lalu ayahnya. Sehingga, kisah ayahnya juga akan ada di kisah "hidupku seperti dongeng."
Kemudian, dia bertemu dengan seorang mahasiswa yang banyak menyimpan teka-tekinya di dalam kehidupannya. Mahasiswa itu juga memiliki masa lalu kelam yang kisahnya juga seperti dongeng. Kehadirannya banyak memberikan perubahan pada diri Inara Nuha.
Inara Nuha juga bertemu dengan empat gadis yang hidupnya juga seperti dongeng. Mereka akhirnya menjalin persahabatan.
Perjalanan hidup Inara Nuha tidak bisa indah sebab kutukan yang dia bawa. Meski begitu, dia punya tekad dan keteguhan hati supaya hidupnya bisa berakhir bahagia.
Inara Nuha akan berjumpa dengan banyak karakter di kisah ini untuk membantu menumbuhkan karakter bagi Nuha sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 Hidupku Seperti Dongeng
Pemuda itu berjalan menuju ruang guru...
Meskipun hatinya dipenuhi kebimbangan. Ia mengetuk pintu perlahan, lalu masuk ke dalam ruangan.
“Pak Hanif, boleh saya bicara sebentar?” tanyanya dengan sopan, berdiri di depan meja guru matematikanya itu.
Pak Hanif, yang sedang membereskan tumpukan tugasnya, mendongak dan tersenyum hangat. “Rui Naru? Tentu. Ada apa? Kelihatan serius sekali.”
Naru menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Saya tahu ini mungkin terdengar aneh, Pak, tapi... saya ingin kembali ke sekolah. Ada seseorang yang saya ingin lebih dekat dengannya.”
Pak Hanif mengangkat alis, “Maksud kamu?"
“Saya tahu ini kedengarannya gila, tapi saya benar-benar ingin bisa lebih sering ada di sini. Ada seseorang yang sangat penting buat saya di sekolah ini. Saya ingin selalu ada untuknya."
“Hmmm, seseorang yang penting, ya?” Ia mengusap dagunya, merenung sejenak. “Aku pikir, kamu sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang kamu lakukan. Tapi, kembali jadi siswa SMA bukanlah solusi terbaik, Naru.”
Naru tersenyum tipis. “Saya juga tidak benar-benar mau jadi siswa lagi, Pak. Saya hanya butuh alasan untuk bisa masuk ke sekolah ini kapan saja. Biar bisa dekat dengan dia.”
Pak Hanif tertawa lebih keras. “Kamu ini pemuda di luar nalar, Naru. Tapi, aku mengerti. Begini saja, kamu tetap lanjutkan kuliahmu, tapi aku akan bicarakan dengan kepala sekolah supaya kamu bisa bebas datang ke sini kapanpun kamu mau. Kamu bisa pakai perpustakaan, atau sekadar mampir kalau ada waktu.”
Mata Naru berbinar, “Serius, Pak? Itu benar-benar akan membantu saya.”
“Tentu, Rui Naru. Kamu selalu dipersilakan di sini. Lagipula, kamu tahu sendiri, keluargamu adalah salah satu donatur terbesar sekolah ini,” kata Pak Hanif dengan senyum hangat. “Jadi, aku akan uruskan semuanya. Jangan khawatir.”
“Terima kasih banyak, Pak. Oh, dan seperti biasa, aroma jahe dari Pak Hanif masih khas, ya. Gingerman,” tambahnya sambil tersenyum.
“Ahaha... Gingerman? Ah, kamu dan julukan-julukanmu. Ya, ya, mungkin jahe sudah menjadi bagian dari diriku. Istriku selalu memastikan aku punya stok permen jahe dan teh jahe setiap hari.”
Mereka berdua tertawa bersama, suasana menjadi lebih ringan. Namun, tak lama kemudian, ponsel Naru bergetar. Dia melihat layar ponselnya, tertulis 'Kakek' sebagai nama kontak yang menelepon.
“Pak Hanif, saya harus angkat telepon ini. Kakek saya menelepon,” kata Naru, bergegas keluar ruangan untuk menjawab panggilan.
“Silakan, Naru. Jangan lupa kabari aku soal keputusanmu nanti,” jawab Pak Hanif sambil melambaikan tangan.
Setelah menerima telepon dari kakeknya, Naru segera memesan taksi online menuju perusahaan *Naseba Naru Group*, tempat kakeknya, Prof. Pradipta Hisyam, sedang menunggunya.
Sesampainya di sana, dia langsung menuju lantai tertinggi di mana ruang kantor Kakek Hisyam berada.
Begitu membuka pintu, Naru melihat dua sepupunya, Nadim Mahendra (20 tahun) dan Sebastian Louie (16 tahun), sudah duduk di dalam.
Nadim angkat bicara, sedikit terkejut. “Elo ngapain di sini? Kukira elo sibuk di kampus.”
Naru tersenyum samar. “Gue dipanggil Kakek. Ada urusan penting yang harus dibahas, katanya.”
Sebastian melirik dengan senyum miring. “Urusan penting? Apa ini semacam pertemuan keluarga rahasia?”
Tak lama, suara berat dan tegas terdengar dari arah belakang mereka. “Kalian semua sudah datang,” kata Kakek Hisyam sambil berjalan mendekat dengan tongkat di tangannya.
Ketiga cucunya langsung berdiri dengan sikap hormat. “Kakek,” ucap mereka hampir serempak.
Pradipta Hisyam menatap mereka dengan sorot mata bijak tapi penuh wibawa. “Aku memanggil kalian karena ada hal penting yang perlu kalian ketahui. Masa depan keluarga kita ada di tangan kalian bertiga. Sudah saatnya kalian mulai mempersiapkan diri.”
Nadim bertukar pandang dengan adiknya. “Apa maksud Kakek?” tanya Nadim.
“Kalian tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagi keluarga kita,” lanjut Kakek Hisyam. “Naseba Naru Group bukan hanya bisnis. Ini adalah warisan yang harus kalian jaga dan kembangkan.”
Naru mengangguk perlahan, meskipun hatinya lebih tertuju pada Nuha daripada bisnis keluarga. Namun, ia sadar tanggung jawab ini tak bisa dihindari.
Ada hal yang lebih penting yang ingin beliau sampaikan kepada ketiga cucunya. Beliau memberitahukan bahwa akan ada perpanjangan kerja sama perusahaan Naseba Naru dengan Soora House di Jepang.
Petinggi Soora House adalah sahabat karib dari Pradipta Hisyam, dan kerja sama itu akan diperkuat dengan ikatan kekeluargaan demi menjaga nama keluarga besar mereka.
Kakek Hisyam kemudian memerintahkan Nadim dan Naru untuk menyambut kedatangan Sora Naomi, cucu tunggal Presiden Soora House, di perusahaan Naseba Naru.
Nadim menyambut perintah itu dengan penuh antusias, berniat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menaikkan reputasinya di mata sang Kakek. Di sisi lain, Rui Naru tidak menunjukkan minat sama sekali.
Setelah satu jam berlalu, pertemuan itu berakhir. Nadim dan Sebastian meninggalkan ruangan untuk kembali pada kesibukan masing-masing. Naru pun mengikuti di belakang mereka, tetapi Kakek Hisyam segera memanggilnya.
"Naru, tinggallah sebentar," ucap Kakek. Naru patuh, kembali duduk di kursinya sementara Kakeknya berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke pemandangan kota.
"Naru," Kakek Hisyam memulai dengan nada lebih lembut, "kamu adalah anak yang paling rajin dan paling arif di antara Nadim dan Sebastian. Bukan berarti Kakek membanding-bandingkan kalian, tapi kenapa kamu selalu menolak menggunakan fasilitas yang Kakek berikan?"
Naru diam sejenak sebelum menjawab, "Aku hanya ingin menjalani hidupku sendiri, Kek. Aku merasa tak perlu bergantung pada semua itu."
Kakek Hisyam menghela napas panjang, "Kamu tahu, tanggung jawab keluarga ini besar. Kamu adalah bagian dari keluarga besar Naseba Naru, dan ada ekspektasi yang harus dijaga."
Naru menatap lurus ke depan, suaranya tetap tenang. "Aku tidak tertarik, Kek. Biarlah keluarga Paman Haryono saja yang mengurus semua itu. Aku hanya ingin menjalani kehidupanku sendiri, bebas dari semua beban ini."
Jawaban Naru membuat kakeknya sedikit terdiam, jelas ada kekecewaan yang tampak dari wajahnya. Setelah beberapa saat, Kakek Hisyam akhirnya berkata, "Baiklah, jika itu keputusanmu. Kamu boleh pergi."
Naru berdiri dan berjalan menuju pintu, namun saat dia membukanya, dia mendapati Nadim dan Sebastian berdiri di sana. Wajah mereka menunjukkan ekspresi licik, jelas mereka menguping percakapan tadi.
Nadim mendekat dengan senyum penuh arti. "Gue yang akan menikahi Naomi," ujarnya dengan nada sinis. "Bukan hanya ini menguntungkan gue, tapi gue juga nggak bakal biarin lo main aman terus sama Kakek."
Naru menatapnya tanpa ekspresi. "Apa maksud lo?"
Nadim tertawa kecil. "Gue akan bikin nama lo buruk di mata Kakek. Kita udah sama-sama dewasa, Naru. Udah saatnya gue main kasar sama lo."
Naru tak terpengaruh oleh ancaman itu. "Terserah lo."
Seketika, Sebastian yang sejak tadi diam melayangkan pukulannya ke wajah Naru. Suara pukulan itu begitu keras, membuat Naru terjatuh. Darah mulai mengalir di sudut bibirnya, tetapi dia hanya menyeka darah itu dengan tenang, tanpa menunjukkan rasa sakit.
"Begitulah cara main kasar. Bener, kan, Kak?" Sebastian tertawa puas sambil menatap Nadim.
Nadim mengangguk dengan senyum penuh kemenangan. "Itu sudah cukup. Ayo, kita pergi."
Naru tetap diam di lantai, tangannya mengepal kuat, menahan rasa sakit yang tak pernah bisa dia balas. Namun, meski wajahnya menunjukkan kesakitan, hatinya tetap kuat. Dengan seringai tipis, dia berbisik pelan, "Kheh... Gue udah biasa sama rasa sakit ini."
masih panjang kak perjalanannya ✍✍