Wijaya Kusuma adalah putra kepala desa dari sebuah desa terpencil di pegunungan, dia harus menggantikan posisi ayahnya yang meninggal dunia sebelum masa jabatannya selesai. Sesuai dengan peraturan adat, anak lelaki harus meneruskan jabatan orang tuanya yang belum selesai hingga akhir masa jabatan.
Masih muda dan belum berpengalaman, Wijaya Kusuma dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan banyak peraturan desa dan menjaga kehidupan penduduk agar tetap setia pada adat istiadat para leluhur. Apakah Wijaya Kusuma mampu menjalankan amanah ini dan memimpin desanya dengan bijaksana?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minchio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbedaan Pendapat
Wijaya Kusuma sangat kaget mengetahui informasi dari sahabatnya, Ajat. Dia tidak pernah tahu bahwa di balik kematian sang bapak, ada gosip yang menyertainya.
Rasa penasaran menguasai Wijaya, dia bertanya-tanya. Apakah benar bapaknya telah dihabisi oleh Kepala Desa Karajaan Sagara? Pertanyaan tersebut mulai menghantuinya saat ini dan langkahnya kembali ke Desa Talaga Seungit diiringi dengan perasaan rasa tak tenang.
Ajat yang berjalan di belakang Wijaya merasa menyesal sudah membahas hal itu, dia takut terjadi keributan antara Wijaya dan warga desa. Ajat lalu mempercepat langkahnya mengimbangi langkah Wijaya yang terburu-buru.
"Kang, soal tadi yang saya omongin. Tolong jangan dibahas lagi ke orang lain ya Kang, mungkin benar kata Akang, semua itu hanyalah gosip semata."
"Tenang saja Jat, aku tidak akan membawa-bawa kamu. Sejujurnya aku kaget dan aku ingin menyelidiki tentang itu."
"Sudah Kang, tidak usah diselidiki. Saya takut terjadi keributan antara desa kita dan desa tetangga," tukas Ajat.
"Jat, kita berteman sudah lama, dari semenjak kita kecil. Kenapa kamu menyembunyikan hal itu dariku?" keluh Wijaya.
"Maaf Kang, saya juga tahu hal itu dari orang lain secara tidak sengaja. Rasanya masuk akal kalau mereka menyembunyikan ceritanya dari Akang."
"Masuk akal bagaimana, Jat? Karena saya akan menggantikan bapak jadi Kepala Desa?"
"Iya Kang," jawab Ajat, berharap Wijaya segera mengakhiri obrolan itu.
Mereka akhirnya sampai di Desa Talaga Seungit. Wijaya sudah ditunggu oleh banyak orang yang mempertanyakan tentang pesta panen yang seharusnya malam ini digelar dengan meriah.
"Pak Kepala Desa, bagaimana ini pesta panennya?" tanya seorang bapak-bapak.
"Iya nih, kan kita sudah tanggung memasok banyak makanan laut," sambung seorang wanita paruh baya.
Seperti ini tugas seorang Kepala Desa, selalu dihadapkan pada sebuah masalah dan harus dituntut mengambil keputusan secepatnya. Wijaya melihat raut wajah mereka yang terlihat bimbang.
Mereka terpecah, beberapa orang ingin pesta panen tetap diadakan namun beberapa lagi merasa tidak enak berpesta disaat ada kasus penemuan mayat pemuda tak dikenal itu.
Mereka pun berdebat dan saling melontarkan pendapat. Suasana seketika berubah menjadi ricuh. Wijaya Kusuma lalu sedikit berteriak, "tolong perhatiannya!!"
Setelah Wijaya berteriak suasana perlahan membaik, kekacauan tadi kini berubah menjadi tatapan-tatapan warga menunggu keputusan yang diambil oleh Wijaya Kusuma. Wijaya lalu berkata, "pesta panennya tetap akan kita laksanakan, namun kali ini kita adakan dengan lebih tenang untuk menghormati pemuda yang tewas di kolam ikan."
"Maksudnya kita hanya makan-makan saja?" tanya seorang pria.
"Iya, tanpa adanya pertunjukan tari dan kesenian, hanya makan bersama," jawab Wijaya tegas.
"Yah, tidak ada hiburan mah atuh bukan pesta panen namanya," keluh pemuda itu.
"Iya, mana seru atuh!" sambung lainnya.
"Kalian tidak punya empati, hari ini kan kita baru saja mengalami musibah, ada mayat pemuda yang ditemukan di desa kita, benar kata Kepala Desa," balas warga yang berbeda pandangan.
"Sudah hentikan perdebatan ini, acara pesta panen akan dilakukan tanpa acara hiburan!" tegas Wijaya Kusuma, dia lalu pergi meninggalkan gerombolan warga tersebut.
Wijaya menemui ibunya yang sedang membantu memasak untuk acara malam ini.
"Ada apa Wijaya? Mamah teh lagi sibuk, seharusnya jam segini masakan sudah matang, gara-gara warga banyak yang ke kolam ikan melihat pemeriksaan Polisi, masaknya jadi tertunda."
"Mah, apa ada yang Mamah sembunyikan tentang kematian Bapak?"
"Maksud kamu apa, kematian bapak apanya?"
Wijaya sejenak terdiam lalu merenung, apakah ibunya tidak tahu tentang kabar itu? Pikir Wijaya Kusuma.
"Kamu teh lagi bahas apa, Nak?"
"Nggak jadi Mah, saya mau ke balai desa dulu, silahkan lanjutkan kegiatan Mamah," Wijaya lalu pergi meninggalkan Ibunya yang masih melihat dirinya dengan tatapan heran.