"Apakah aku ditakdirkan tidak bahagia di dunia ini?"
Ryan, seorang siswa SMA yang kerap menjadi korban perundungan, hidup dalam bayang-bayang keputusasaan dan rasa tak berdaya. Dengan hati yang terluka dan harapan yang nyaris sirna, ia sering bertanya-tanya tentang arti hidupnya.
Namun, hidupnya berubah ketika ia bertemu dengan seorang wanita 'itu' yang mengubah segalanya. Wanita itu tak hanya mengajarinya tentang kekuatan, tetapi juga membawanya ke jalan menuju cinta dan penerimaan diri. Perjalanan Ryan untuk tumbuh dan menjadi dewasa pun dimulai. Sebuah kisah tentang menemukan cinta, menghadapi kegelapan, dan bangkit dari kehancuran.
Genre: Music, Action, Drama, Pyschologycal, School, Romance, Mystery, dll
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rian solekhin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Menginap
Ryan melirik jam dinding yang tergantung di ruang tamu. Jarum pendek sudah hampir mencapai angka tujuh, dan rasa tidak nyaman mulai menyerang. Sudah pukul 18:40, dan ia mulai merasa tidak seharusnya berada di sana terlalu lama. Tempat itu, meskipun hangat dan ramah, terasa asing baginya. Terlalu jauh dari apa yang biasa ia hadapi setiap hari.
Suasana tenang yang tadi terasa nyaman kini mulai berubah jadi beban. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Hana," suara Ryan terdengar pelan, hampir tenggelam di antara suara hujan yang mulai reda di luar. "Sudah malam... Aku harus pulang."
Hana, yang sedang duduk di sofa dengan santai, menoleh cepat ke arah Ryan. "Pulang?" Alisnya terangkat, ekspresi wajahnya langsung berubah. "Kenapa buru-buru?"
Ryan menghindari tatapannya, merasa semakin canggung. "Aku... bus terakhir akan segera berangkat. Kalau aku terlambat, aku harus berjalan kaki pulang."
Hana berdiri dari sofanya, menatap Ryan dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada sedikit kekhawatiran, namun lebih dari itu, ada ketegasan dalam suaranya. "Kau tidak bisa pulang sekarang. Di luar sudah gelap, dan jalanan pasti sepi."
"Tapi-" Ryan hendak protes, tapi Hana sudah melangkah lebih dekat.
"Busmu pasti sudah tidak ada lagi. Dan bahkan kalaupun masih ada, apa kau yakin ingin berjalan sendirian di tengah cuaca seperti ini?" Hana mendekat, matanya menatap dalam ke arah Ryan. "Menginap saja di sini malam ini."
Ryan terdiam, kaku di tempatnya. Kata-kata itu sederhana, tapi membawa berat yang tak bisa ia tolak. Di dalam dirinya, konflik mulai tumbuh. 'Menginap di sini? Apa tidak apa-apa?'
"Aku tidak bisa, Hana. Aku tidak mau merepotkan," ujarnya akhirnya, meski dalam hatinya ada keinginan untuk menerima tawaran itu.
Hana tersenyum tipis, seolah sudah memprediksi jawaban Ryan. "Kau tidak merepotkan. Justru aku yang khawatir kalau kau pulang sekarang."
Ryan merasa terjebak. Semua alasan yang ia berikan terasa lemah di hadapan Hana. Ia menundukkan kepala, tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
"Ayolah," lanjut Hana dengan suara lembut tapi tegas. "Kau sudah basah kuyup, dan sekarang sudah malam. Lebih baik menginap di sini. Kau bisa beristirahat, dan besok pagi baru pulang."
Ryan tetap diam, matanya tak bisa lepas dari lantai. 'Apakah aku benar-benar bisa tinggal di sini?' pikirnya, penuh keraguan. Perasaan asing ini tak kunjung hilang. Di satu sisi, Hana begitu baik padanya, tapi di sisi lain, ia tak terbiasa menerima kebaikan dari orang lain.
Melihat Ryan yang masih ragu, Hana menambahkan, "Aku tidak memaksa, tapi ini lebih baik daripada kau tersesat di jalan atau kehujanan lagi."
Ryan akhirnya mengangguk perlahan, meski dalam hatinya masih ada keraguan. "Baiklah... kalau begitu, aku menginap," jawabnya pelan.
Hana tersenyum puas, lalu berjalan menuju kamar tamu untuk menyiapkan tempat tidur bagi Ryan. "Kau tidak akan menyesal. Kamar tamunya nyaman, kau bisa tidur nyenyak di sana."
Ryan mengikuti langkah Hana dengan perasaan campur aduk. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena tubuhnya yang lelah, tetapi karena pikirannya yang penuh dengan keraguan dan kebingungan. Apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku terus menerima kebaikan ini?
Di sisi lain, suara kecil di kepalanya terus bertanya, 'Kenapa Hana begitu peduli padaku? Apa dia sungguh ingin aku di sini? Atau hanya karena kasihan?'
...----------------...
Setelah menaiki tangga, keheningan menggantung di udara, seolah menyelimutkan rumah dalam rasa tenang yang tak terjelaskan. Dindingnya polos, tanpa ornamen mencolok. Namun, ada kehangatan samar yang terasa di setiap sudut, membuat suasana rumah ini tak terlalu dingin meski sepi.
Hana membuka pintu sebuah kamar dan mengintip sedikit ke dalam. "Ini kamarnya. Agak berantakan, tapi kau bisa beristirahat di sini," ucapnya, setengah bercanda, mencoba meredakan kekakuan yang ia rasakan.
Ryan melangkah masuk, mengamati ruangan itu dengan hati-hati. Tempat tidur yang rapi, jendela yang mengarah ke taman kecil di belakang rumah, semuanya biasa saja, tapi terasa cukup untuknya.
"Ini lebih dari cukup," gumamnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung. "Terima kasih, Hana."
Hana hanya tersenyum tipis. "Kalau butuh apa-apa, kamarku di sebelah," katanya sambil menunjuk pintu di ujung koridor. "Jangan sungkan."
Setelah pintu tertutup, Ryan duduk di tepi tempat tidur. Ruangan ini begitu hening. Napasnya terdengar jelas di antara keheningan. Ia menatap sekeliling, matanya menyusuri dinding polos dan lantai kayu yang hangat. Tak ada yang istimewa di sini, tapi entah kenapa ia merasa sedikit nyaman. Ada yang aneh dengan perasaan ini.
'Kenapa aku merasa seperti ini?' pikirnya. Rumah ini seharusnya asing baginya, tapi dia merasa lebih aman daripada di rumahnya sendiri. Di sisi lain, perasaan gelisah masih menggerogotinya.
Kepalanya penuh dengan ingatan-ingatan yang terus berputar. Tentang Hana, tentang pertemuan mereka, dan bagaimana dia akhirnya berdiri di sini, di rumah orang yang baru dikenalnya. Semuanya terjadi begitu cepat.
Dia menghela napas, matanya kembali melirik jendela. 'Apa yang akan terjadi besok?'
...----------------...
Hana berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit gelap. Pikirannya terus berputar, melodi-melodi musik yang tak terungkap berputar dalam benaknya. Setiap kali ia mencoba tidur, nada-nada itu kembali menghantui. Dia mendesah pelan, menyerah pada kenyataan bahwa malam ini tidur bukanlah pilihan.
Dengan gerakan tenang, ia bangkit, melangkah keluar kamar tanpa suara. Rumahnya sunyi, hanya diterangi oleh lampu-lampu temaram yang memberikan cahaya samar di sepanjang lorong. Kakinya melangkah ringan menuruni tangga, menuju ruang tamu untuk mencari ketenangan.
Namun, sesampainya di sana, Hana melihat Ryan duduk sendirian di sofa, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Matanya kosong, menatap ke depan tanpa benar-benar melihat. Hana terkejut sejenak, tapi kemudian tersenyum tipis.
"Kau belum tidur?" tanyanya pelan, menghampirinya.
Ryan menoleh, terkejut oleh kehadirannya. "Ah, Hana... Aku cuma belum bisa tidur," jawabnya, suaranya terdengar canggung.
Hana duduk di sampingnya, menjaga jarak yang cukup. "Sepertinya kita berdua mengalami hal yang sama," ucapnya, matanya melirik ke jendela, menatap bulan yang samar di balik awan malam.
Mereka terdiam untuk beberapa saat, hanya suara detik jam dan gemerisik angin di luar yang terdengar. Keheningan yang aneh tapi tidak canggung, seolah masing-masing menikmati ketenangan yang hadir. Lalu, Hana menoleh, matanya memancarkan rasa ingin tahu.
"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya dengan suara lembut.
Ryan terdiam beberapa detik, kemudian berkata, "Banyak hal... Tentang hari ini, tentang diriku, tentang... semuanya."
Hana mengangguk pelan, mengerti tanpa perlu banyak kata.
Ryan mengalihkan pandangannya ke Hana. "Lalu... kenapa kau tidak bisa tidur?" tanyanya balik, sedikit lebih santai.
Hana tersenyum samar. "Musik. Melodi-melodi di kepalaku terus berputar. Rasanya ada sesuatu yang ingin keluar, tapi aku belum bisa mengeluarkannya."
Ryan menatapnya, mencoba memahami. "Lagu baru?"
"Mungkin," jawab Hana ringan, bahunya terangkat. "Atau mungkin hanya perasaan yang ingin kuungkapkan."
Ryan mengangguk, lalu berkata pelan, "Kau sangat mencintai musik, ya?"
"Musik adalah bagian dari diriku," jawab Hana tanpa ragu, nadanya tegas. "Setiap nada yang kupetik seolah berbicara, lebih jujur dari apa yang bisa diungkapkan dengan kata-kata."
Hana bangkit tiba-tiba, matanya menyala penuh semangat. "Mau dengar aku main piano?" tawarnya.
Ryan, yang terkejut dengan perubahan sikapnya, hanya bisa mengangguk pelan. "Tentu... Aku akan sangat senang."
Hana menuju sudut ruangan, di mana piano hitam yang elegan berdiri. Ia duduk di bangku piano, jari-jarinya dengan lembut menyentuh tutsnya.
"Ini masih dalam proses," katanya sambil menoleh sekilas ke arah Ryan. "Belum sempurna, tapi semoga kau suka."
Ia mulai bermain, jari-jarinya bergerak lincah namun penuh perasaan di atas tuts-tuts piano. Nada-nada lembut mengalir, mengisi ruangan dengan melodi yang tenang namun sarat dengan emosi yang dalam. Ryan mendengarkan dengan saksama, terpesona oleh alunan musik yang terasa begitu dekat dengan perasaan batinnya.
Saat Hana selesai bermain, ia memejamkan matanya sejenak, membiarkan sisa-sisa melodi hilang di udara. Lalu ia menoleh ke arah Ryan, senyum tipis di bibirnya. "Bagaimana?"
Ryan terdiam beberapa saat, mencari kata yang tepat. "Itu... luar biasa. Aku bisa merasakan apa yang kau coba sampaikan."
Hana tersenyum lega. "Senang mendengarnya. Kadang aku takut musikku tidak bisa benar-benar menyentuh orang lain."
Ryan menggeleng. "Percayalah, kau punya bakat istimewa. Tidak banyak orang yang bisa mengungkapkan perasaan hanya dengan nada."
Hana menatapnya dengan mata berbinar. "Terima kasih, Ryan. Kau tidak tahu seberapa banyak itu berarti bagiku."
Mereka terdiam lagi, tapi kali ini keheningan terasa nyaman, seolah tak perlu banyak bicara. Ryan merasa ada dorongan dalam dirinya, sesuatu yang ingin ia bagi.
"Hana," panggilnya pelan.
Hana menoleh, menatapnya dengan lembut. "Ya?"
Ryan menatap ke bawah, suaranya rendah. "Aku sering merasa tersesat. Seperti berjalan dalam gelap tanpa arah. Melihat bagaimana kau mencintai musik membuatku bertanya-tanya... apakah aku juga bisa menemukan sesuatu yang membuatku merasa hidup seperti itu."
Hana mendengarkannya tanpa memotong. "Setiap orang punya jalannya sendiri," ujarnya dengan bijak. "Mungkin kau belum menemukannya, tapi bukan berarti kau tidak akan pernah menemukannya."
Ryan terdiam, merenung. "Aku harap kau benar."
Hana berjalan mendekat, berdiri di sampingnya. "Dulu, aku juga merasa seperti itu. Kehidupan terasa hampa sebelum aku benar-benar menyadari betapa pentingnya musik bagiku."
Ryan menatapnya. "Lalu, apa yang mengubahnya?"
"Ketika aku bermain piano, hari-hari yang terasa hampa tiba-tiba memiliki arti. Aku menemukan cara untuk mengekspresikan diriku sendiri," jawab Hana, matanya berkaca-kaca penuh kenangan.
Ryan tersenyum kecil. "Mungkin aku juga harus mencari sesuatu yang membuatku bahagia."
Hana membalas senyumnya. "Dan aku akan ada di sana untuk mendukungmu mencarinya."
Ryan menatap mata Hana yang penuh dengan ketulusan. "Terima kasih, Hana. Kau benar-benar teman yang baik."
Hana tersenyum hangat. "Begitu juga kau, Ryan. Aku senang kita bisa saling memahami."
Malam semakin larut, dan suara detik jam terasa lebih lambat. "Sepertinya kita sudah begadang," kata Hana, melirik ke jam dinding.
Ryan tertawa kecil. "Ya, waktu berlalu begitu cepat."
"Mungkin kita harus tidur sekarang," saran Hana. "Besok kita masih punya banyak waktu."
Ryan mengangguk setuju. "Terima kasih untuk malam ini, Hana. Aku merasa lebih baik."
Hana mengantarnya menuju tangga. "Selamat malam, Ryan. Mimpi indah."
"Selamat malam, Hana," balas Ryan sebelum berjalan ke kamarnya.
Di novelku juga ada permainan seperti itu, judul chapternya “Truth to Truth. Tapi beda fungsi, bukan untuk main atau bersenang-senang. 😂