Siapakah gadis kampung bernama Lily ini, sehingga Eko Barata memberikan syarat kepada tiga puteranya? Untuk mendapatkan hak waris kekayaan Barata, salah satu dari mereka harus berhasil menikahi Lily.
"Ingat! Papa tidak akan memberikan kalian warisan jika salah satu dari kalian tidak bisa menikahi Lily, camkan itu!" kata Eko Barata tegas.
Syarat yang diberikan Eko Barata terdengar konyol bagi banyak orang. Mereka menganggap Lily tidak pantas menjadi menantu keluarga Barata. Namun, ketika satu per satu kemampuan hebat Lily terungkap, dia berhasil membungkam semua mulut yang menyepelekannya.
Siapa sebenarnya Lily, dan apa rahasia di balik kehebatannya? Temukan jawabannya dalam "Lily: Rahasia Gadis Kampung".
Selamat membaca ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuhume, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Sepanjang jalan, Agam terdiam dengan menginjak pedal gas penuh di jalan yang lenggang. Lily pun terdiam, sesekali meraba lehernya yang sudah memerah dan terasa gatal.
Merasa tidak tenang, Agam segera memarkirkan mobilnya di seberang jalan dan segera keluar untuk membeli sebuah salep.
Di dalam mobil, dia membuka salep tersebut dan menyibakkan rambut Lily ke samping tanpa meminta izin terlebih dulu. Dengan hati-hati, dia mengoleskan salep itu di leher Lily. Melihat tindakan itu, meskipun merasa aneh yang sulit dijelaskan, Lily berusaha tetap tenang.
"Wah, siapa sangka. Pria sedingin Tuan Muda Agam Barata ini ternyata perhatian juga," ucap Lily dengan nada menantang.
Agam menatap Lily datar. Dia kemudian kembali menyenderkan tubuhnya dan menyalakan mesin mobil.
"Sepertinya aku semakin menyukaimu, Tuan Agam," ucap Lily sinis.
Mendengar itu, Agam tiba-tiba menarik leher Lily hingga wajah mereka sangat dekat. Bau mint napas Agam begitu terasa, bahkan hanya beberapa sentimeter saja, bibir mereka bisa saling bersentuhan.
Mata Lily sedikit melebar, sedangkan mata Agam menajam.
"Kau pikir aku adalah orang yang gampang kau permainkan?"
"K-kau, buat leherku semakin sakit," ucap Lily pelan.
Agam kemudian melepaskan tangannya dan kembali fokus ke jalan di hadapannya. Dia kembali diam dan menginjak pedal gas untuk melanjutkan perjalanan mereka ke rumah sakit.
...----------------...
**Di rumah sakit**
Lily mendapatkan ide untuk menguji Agam. Dia merintih kesakitan, namun itu tidak membuat Agam berbalik untuk menolongnya. Dia tetap berjalan menuju ruangan dokter.
"Aaaa," suara Lily terdengar lebih nyaring dari sebelumnya.
"Hentikan. Sudah kukatakan bahwa aku tidak akan pernah menyukaimu, jadi jangan buat ulah. Cepat masuk ke ruangan dokter."
"Menyebalkan!" gumam Lily cemberut.
Setelah pemeriksaan, Lily keluar dengan balutan kain kasa di lehernya yang menutupi alerginya. Agam menunggu di luar ruangan dokter.
"Maafkan aku," ucap Agam.
Lily terdiam. Dia tidak menyangka Agam akan meminta maaf atas kejadian di rumahnya.
Lily berdecih. "Tidak masalah, tapi... kalian akan menyesal jika rencana pelaku yang sebenarnya berhasil. Aku akan pergi dari keluarga Barata. Apakah kau yakin aku pencurinya?"
"Bukan. Kau tidak mungkin sebodoh itu."
Lily tersenyum mendengar ucapan Agam. Dia mengangguk-angguk dan berkata, "Aku adalah calon menantu dari keluarga Barata, untuk apa aku mencuri? Terlebih lagi itu milik calon ibu mertuaku."
Dokter yang terlihat paruh baya itu keluar dari ruangan. Dia menatap sinis ke arah Agam dan mulai mengomel.
"Kau ini seorang kekasih dan pria yang tidak bertanggung jawab. Bagaimana bisa kau memberikan kalung kepada dia, padahal dia alergi akut terhadap kalung yang berbahan besi ataupun berlian," jelasnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Dokter menjelaskan bahwa Agam harus segera membawanya pulang dan beristirahat. Obat yang diberikan harus diminum dan dioleskan secara rutin.
"Kau ini kekasih macam apa..."
"Dok..dokter, Anda salah paham, dia ini buk-..."
"Terima kasih, dokter. Saya akan lebih perhatian lagi," jelas Agam sambil menjabat tangan dokter tersebut.
"Dasar ceroboh!"
Dokter berlalu, sementara Lily terbelalak tak percaya. Agam tidak meluruskan salah paham hubungan mereka di hadapan dokter. Bahkan, Agam pergi begitu saja tanpa membawa Lily bersamanya.
"Ishhhhh! Menyebalkan. Dasar pria es."
"Agaammmmmm, tunggu aku...." teriak Lily.
...----------------...
**Esok hari di kediaman Barata**
Pintu kamar Lily berbunyi. Lily menebak itu pasti pelayan yang diperintah Agam untuk membangunkannya, tapi dia salah.
Lily membuka pintu kamarnya dan terlihat Bagas di sana, membawa nampan berisi sarapan dan segelas susu.
Bagas terpaku sejenak melihat Lily di pagi hari tanpa make-up dengan jubah tidur yang lumayan seksi. Membuatnya terdiam.
"Ada apa?" Tanya Lily dengan menyilangkan tangan.
"Sebagai dokter, kuperingatkan untuk tidak melewatkan sarapan," ucap Bagas sambil menyerahkan nampan dan segelas susu kepada Lily.
"Terima kasih," ucap Lily cuek.
Dia ingin menutup pintu kamarnya kembali tapi Bagas menahannya. Lily mundur selangkah dan mendengarkan penjelasan Bagas tentang Agam, kakaknya.
"Aku dengar kau sudah menghabiskan waktu dengan kakakku, bagaimana rasanya setelah pergi bersama?"
"Biasa saja."
Bagas memperingatkan Lily bahwa Agam tidak sebaik terlihatnya. Dia diam seolah acuh tapi sebenarnya sangat licik.
"Dia gila kerja dan tidak tahu cara memperlakukan wanita, jadi lebih baik kau jangan memilihnya," jelas Bagas.
Lily mengangguk tidak peduli, tapi tiba-tiba ingin tahu reaksi Bagas. Lily mendekat dan menyenderkan tangannya di daun pintu kamar, memamerkan sedikit pundaknya sehingga Bagas terlihat canggung.
"Kalau begitu, bagaimana kalau aku memilihmu saja untuk menemaniku? Bagaimana?" ucap Lily dengan nada lembut.
"Hok... hok... hok..."
"Belakangan ini aku sibuk, jadwal operasiku penuh. Aku sibuk," jelas Bagas sambil membetulkan kaca matanya.
Dia menyarankan Lily jika merasa bosan, dia bisa mengajak Daren. Dia lebih baik daripada Agam dan juga berpengaruh di dunia hiburan.
"Mungkin kau memiliki bakat di dunia seni, dan kau bisa mengembangkannya," jelas Bagas.
Lily mengangguk pelan, kemudian menutup pintu kamarnya tanpa meminta izin kepada Bagas yang masih menyenderkan tubuhnya di depan pintu kamar.
"Wanita sialan!" batin Bagas.