Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Menghilang
Revisi
.
.
.
.
.
Gus Zam yang hanya bermodalkan nekad ternyata tidak memperkirakan walaupun saat malam, bandara tetaplah ramai. Alasan orang-orang bermalam di bandara tentu sama dengan Gus Zam yang mengejar penerbangan pagi.
Bahkan Kang Rahim yang mengantar pun sudah was-was melepaskannya. Tetapi karena Gus Zam menyuruhnya untuk kembali, Kang Rahin pun kembali dan berdoa agar tidak terjadi apa-apa.
“Hanung..” lirih Gus Zam yang saat ini berjongkok dengan mendekap kakinya didekat tempat sampah.
Tempat itu Gus Zam pilih karena sepi orang. Kini dirinya menggigil disana. Selain karena efek mabuk perjalanan yang dialaminya selama perjalanan, serangan panik juga membuatnya mual hingga tak ada lagi tenaga tetapi ia tidak bisa memejamkan matanya untuk istirahat. Hanya bayangan wajah Hanung yang menjadi penguatnya saat ini.
“Mas ngapain disitu?” Tanya seorang laki-laki.
Tak mendapatkan jawaban, laki-laki itu justru duduk dan menutupkan jaketnya di pundak Gus Zam. Merasa aneh, Gus Zam menggeser tubuhnya dan hendak melepaskan jaket yang berbau rokok tersebut.
“Gunakan saja, sepertinya kamu lebih membutuhkannya daripada aku. Kamu mau kemana?” tanya laki-laki tersebut.
“Kalimantan Selatan.” Jawab Gus Zam setelah diam cukup lama.
“Sama kita! Aku juga akan kesana. Ke kota mana?”
“Batulicin.”
“Sungguh kebetulan! Aku juga kesana. Namaku Puji, kamu?”
Gus Zam sedikit rileks kala mendengar tujuan mereka sama. Paling tidak ia akan ada teman yang bisa ia tanya arah tujuan, tidak hanya mengandalkan map.
“Zam.”
“Jangan terlalu berpikiran macam-macam! Aku juga mengenal seseorang sepertimu. Aku tahu kamu sedang cemas saat ini. Tapi ingatlah seseorang yang berharga untukmu agar kamu bisa melewati ini.” Kata Puji yang segera mendapat tatapan Gus Zam.
“Kenapa? Apa kamu melakukan perjalanan ini untuknya?” Pertanyaan Puji tepat sasaran.
Saat Gus Zam akan menjawab, Puji justru mengajaknya untuk melaksanakan sholat subuh dan kemudian check-in lebih awal. Agar mereka bisa tidur lebih nyaman diruang tunggu nanti. Gus Zam mengangguk dan mengikuti Puji di belakang. Saat sholat, Gus Zam bisa tenang karena tak banyak orang. Tetapi ketika sampai di gerbang check-in, Gus Zam mulai gugup karena beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh penjaga gerbang.
Puji yang melihat perubahan itu pun menepuk pundak Gus Zam dan meminta kartu identitas juga tiketnya. Gus Zam melupakan tiketnya. Segera ia menghidupkan ponselnya dan membuka emailnya. Setelah lolos, Puji membawa Gus Zam ke boardingpass. Beruntung penerbangan Gus Zam dan Puji sama. Jadi mereka bisa duduk bersebelahan dan karena mereka sama-sama tidak membawa bagasi, mereka pun segera menuju ruang tunggu.
“Mengapa dipojokan?” Tanya Puji yang berjalan di belakang Gus Zam.
“Ramai.” Gus Zam duduk di pojokan dengan mengeratkan jaket Puji yang ia kenakan.
“Hah.. Kalau kau seperti ingin terus, tidak akan ada perempuan yang mau dekat denganmu!”
“Aku sudah beristri!” Kata Gus Zam tidak terima.
“Hah? Yang benar.” Gus Zam mengangguk mantap.
“Waw! Sungguh tidak terduga! Jangan bilang, kamu dalam perjalanan menjemput istrimu!” Gus Zam kembali mengangguk.
Sontak saja puji tertawa. Ia tidak mengira seseorang dengan gangguan mental bisa nekad demi istrinya. Tetapi ia juga merasa ironi secara bersamaan. Orang yang ia kenal juga sama dengan Gus Zam saat ini dan juga berakhir gantung diri karena tak sanggup menghadapi kematian orang terkasihnya.
“Cintai dia dengan sewajarnya, karena umur manusia tak ada yang tahu.”
“Ya, tapi setidaknya aku akan memberikannya cinta selama waktu yang diizinkan.” Jawab Gus Zam.
“Aku kira kamu tidak bisa mengucapkan kalimat!”
Keduanya pun memejamkan mata masing-masing karena masih ada waktu satu jam sebelum keberangkatan. Gus Zam yang sudah merasa nyaman dengan kehadiran Puji pun tak lagi cemas dan dapat mengistirahatkan tubuhnya.
Saat waktu keberangkatan tiba, Gus Zam tidak kunjung berdiri dari duduknya karena melihat kerumunan yang ada didepan gate keberangkatan. Puji hanya bisa menggeleng dan mengambil alih tiket dari tangan Gus Zam. Seperti seorang Kakak yang menggandeng adiknya, Puji menggandeng tangan Gus Zam yang tidak berani mengangkat kepalanya sampai mereka melewati gate dan masuk ke dalam pesawat.
“Toilet.” Kata Gus Sam saat pesawat akan terbang.
“Tidak bisa! Kencangkan sabuk pengamanmu!” Puji yang melihat Gus Zam pucat pun membuka pakaiannya dan menadahkannya didepan Gus Zam.
Segera Gus Zam memuntahkan cairan kuning disana. Tanpa rasa jijik, Puji melipat pakaiannya dan membiarkan Gus Zam menyelesaikannya. Ia lupa membawa Gus Zam makan lebih dulu karena ia terbiasa perjalanan dengan perut kosong.
Saat pesawat sudah stabil, seorang pramugari mendatangi mereka dan meminta Puji untuk mengenakan pakaian. Puji pun menjelaskan kenapa dirinya tidak berpakaian, ia juga memesan mie cup untuk Gus Zam dan berdiri mengambil pakaian ganti di tasnya dengan bantuan pramugari.
“Makanlah! Tidak ada teh panas, minum air putih saja.” Gus Zam menurut.
Tidak ada gunanya juga ia keras kepala karena saat ini dirinya ada di dalam pesawat. Setelah selesai makan, Gus Zam memejamkan matanya karena telinga saat ini terasa sakit.
Sampai di Bandara Syamsuddin Noor, Gus Zam hanya bisa mengikuti langkah Puji dengan menunduk. Sesekali ia akan berhenti mengatur nafas. Saat keluar dari pintu keberangkatan, serangan panik kembali menyerang Gus Zam karena banyaknya orang berlalu lalang tak seperti saat turun dari pesawat.
Gus Zam mematung, genggaman tangannya mengerat, dan nafas mulai tidak teratur. Telinganya tak lagi bisa mendengar saat ini. Puji yang sadar Gus Zam tidak mengikutinya pun segera berbalik dan menemukannya sudah dalam keadaan mematung dengan pandangan tidak fokus.
“Astaga!” Puji berlari menghampiri Gus Zam dan menariknya ke parkiran yang tidak ramai.
“Hey! Dengarkan aku! Istrimu menunggumu!”
“Ingatlah istrimu! Bagaimana kalau dia melihatmu seperti sekarang?” Puji berusaha mengalihkan perhatian Gus Zam.
“Hanung..” lirih Gus Zam.
“Apa?”
“Hanung..”
“Ya, Hanum menunggumu. Segera kuasai emosi mu!”
Beberapa saat kemudian, Gus Zam mulai bisa mengatur nafasnya. Tetapi ia merasakan sakit di telapak tangannya karena luka akibat genggamannya yang terlalu kuat. Puji yang melihatnya pun berlari ke minimarket yang ada di bandara dan membeli obat antiseptik juga plester luka.
“Sebaiknya kita menyewa mobil. Aku tidak yakin jika membawamu dengan travel dan berdesakan dengan orang lain.” Kata Puji yang kemudian menghubungi seseorang.
Setelah Gus Zam kembali tenang, mobil yang disewa Puji pun sampai. Segera Puji menarik tubuh Gus Zam agar duduk di kursi penumpang dan dirinya duduk disebelah kemudi. Selama perjalanan, Puji memperhatikan Gus Zam seperti memperhatikan adiknya. Sehingga Gus Zam tak mendapatkan serangan panik, hanya mengalami mabuk perjalanan saja.
Sementara itu, pesantren sedang geger karena Gus Zam yang menghilang. Mereka hanya bisa mencari ditempat yang memungkinkan Gus Zam ada disana. Mereka belum bisa melaporkan Gus Zam yang hilang ke polisi karena belum ada 24 jam dari hilangnya.
padahal udah bagus lho