Hanung Rahayu, seorang gadis periang dengan paras menawan. Sejak kematian sang ayah, Hanung tinggal bersama Ibu tiri dan ketiga adiknya.
Ibu Jamilah, Ibu tiri Hanung dulunya adalah abdi dalem di sebuah pondok pesantren yang ada di kotanya. Ketika Bu Nyai datang melamar Hanung untuk putranya, Ibu Jamilah menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan Hanung.
Dengan rela Hanung menerima lamaran tersebut, tanpa tahu calonnya seperti apa. Akankah Hanung mundur dari pernikahan? Bagaimana Hanung menjalani kehidupannya kedepan?
Note: Jika ada kesamaan nama, dan setting, semuanya murni kebetulan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Menceritakan
Hanung mengambil ponsel yang masih ia charger dan menukarnya. Segera ia mengaktifkan ponselnya dan menghubungi Gus Zam. Disaat yang bersamaan, Gus Zam sudah mulai tenang. Pak Kyai dan Bu Nyai bisa bernafas lega, tetapi mereka belum bisa tenang sepenuhnya karena kambuhnya Gus Zam berhubungan dengan Hanung.
"Minum dulu.." Pak Kyai menyodorkan gelas kepada Gus Zam.
"Pelan-pelan." kata Bu Nyai sambil mengusap punggung Gus Zam lembut.
Saat ada panggilan masuk, Pak Kyai yang meletakkan ponsel Gus Zam di nakas pun melihat nama pemanggil.
"Siapa Humaira?" tanya Pak Kyai.
Gus Zam segera mengambil alih ponsel dan menggeser ikon jawab, tanpa menjawab pertanyaan Pak Kyai. Pak Kyai dan Bu Nyai akhirnya tahu siapa Humaira setelah melihat wajah yang terpampang di ponsel, yang tak lain adalah Hanung. Mereka juga terkejut melihat memar di pipi Hanung.
"Maaf, Mas. Ponsel Hanung habis baterai." kata Hanung setelah mereka berbalas salam.
"Siapa yang menamparmu?" Pak Kyai dan Bu Nyai mendengarkan dengan seksama.
"Ibu." cicit Hanung.
"Kenapa dia menamparmu?" emosi Gus Zam mulai tidak stabil, Bu Nyai pun menggenggam tangannya dan berbisik agar sang anak sabar dengan suara bergetar.
"..."
"Mau sampai kapan kamu menyembunyikannya?"
"Maafkan Hanung, Mas. Hanung hanya tidak ingin menjadi beban pikiranmu. Rencana, Hanung akan mengatakannya saat sudah kembali."
"Kamu tahu? Sudah satu bulan ini aku merasa kamu menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tak bertanya karena aku menunggumu. Tetapi bukan luka yang aku harapkan!" Gus Zam mulai meninggikan suaranya.
"Maafkan aku, Mas.." Hanung mulai menangis.
Berat baginya menceritakan apa yang ia alami kepada suaminya yang sedang berjuang. Ia takut ceritanya akan membuat kondisi suaminya memburuk karena Gus Zam tidak bisa mendapatkan stimulasi. Saat ponselnya mati, alasan ia buru-buru menghubungi dengan ponsel yang lain juga takut suaminya berpikiran buruk.
"Katakan semuanya." Gus Zam mulai mengatur emosinya karena tak bisa melihat Hanung menangis.
"Janji jangan berpikiran negatif?" Gus Zam mengangguk.
"Ini..tamparan kedua Ibu.." Hanung mulai menceritakan semuanya dari awal sampai akhirnya ia berakhir dirumah Pakdhe Warto.
Gus Zam menggenggam erat jarinya dengan nafas tidak teratur. Pak Kyai hanya bisa menenangkan Bu Nyai yang sudah menangis saat mendengar siapa yang menampar Hanung.
"Hanung akan kembali beberapa hari lagi, Mas."
"Hanung.." Pak Kyai mengambil alih ponsel.
"Iya, Abi." jawab Hanung yang tidak terkejut dengan kehadiran Pak Kyai.
"Kami akan menjemputmu secara baik-baik."
"Tidak, Abi. Abi hanya akan mendapatkan lumpur. Hanung tidak rela! Biarlah Hanung yang menanggung semuanya. Lagipula Hanung sudah tidak ada hubungan lagi dengan Ibu. Untuk apa Abi menjemput secara baik-baik?" tanya Hanung dengan isakannya.
"Baiklah, kalau itu maumu. Abi tetap akan menjemput kamu dari rumah Pakdhemu."
Hanung tahu jika keputusan Pak Kyai sudah final, maka ia menganggukkan kepalanya. Pak Kyai mengatakan akan menjemputnya minggu depan, menunggu Gus Miftah pulang dari pesantren kedua orang tuanya.
Setelah itu, sambungan pun diakhiri. Hanung menumpahkan semua tangisnya. Beruntung dirinya dikelilingi orang baik. Jika tidak, mungkin ia sudah tak tahu harus kemana. Budhe Cici yang mendengar tangisan Hanung pun mengetuk pintu.
"Kenapa kamu menangis?" tanya Budhe Cici khawatir.
"Hanung menceritakan semuanya ke suami dan keluarganya."
"Mereka berhak tahu." Budhe Cici memeluk Hanung menenangkan.
Budhe Cici yang merasa bersalah dengan yang dihadapi Hanung pun mulai bercerita. Semua ini bermula karena mereka yang mengajak Surati merantau. Saat itu Surati mengeluh kepada mereka dengan mengatakan gaji yang diterima suaminya hanya cukup untuk kebutuhan. Ia sampai tak bisa mengurus dirinya. Karena kasihan mereka membiayai Surati dan memberikan pekerjaan di tempat Pakdhe Warto yang saat itu masih bekerja di perusahaan.
Tetapi semua berubah sejak Surati bertemu Donga, hingga melayangkan perceraian dengan suaminya. Nahasnya, Donga di PHK bertepatan dengan proses perceraian Surati. Hingga mereka memutuskan untuk mendirikan usaha. Mereka masih belum menikah saat itu, jadi Surati masih tinggal bersama dengan Pakdhe Warto dan Budhe Cici. Setelah masa idah Rati selesai, mereka segera melangsungkan pernikahan.
"Waktu itu, Pakdhe mu pernah menanyakan bagaimana denganmu. Tetapi Ibumu mengatakan belum siap secara finansial. Makanya menyerahkan hak asuh kepada ayahmu. Sejak saat Rati meninggalkan rumah ini, kami tak lagi berhubungan. Dan saat usahanya memenangkan tender perusahaan, hubungan kami semakin memburuk karena Donga menganggap kami menumpang dengan Rati." Budhe Cici menghela nafas.
"Andai kami tahu, kamu akan seperti ini. Kami mungkin tidak akan membawa Rati kemari."
"Jangan seperti itu, Budhe. Semua sudah suratan, Hanung ikhlas. Hikmahnya, Hanung jadi bisa bertemu Budhe dan Pakdhe."
"Sayangnya pertemuan kita tidak seperti pertemuan pada umumnya."
"Tidak apa, Budhe. Unik kan?" Hanung tersenyum dengan mata sembabnya.
"Ngomong-ngomong, malam itu kamu jalan kaki dari rumah Rati?" Hanung mengangguk.
"Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa denganmu saat di jalan."
Budhe Cici pun mengajak Hanung sarapan agar ada tenaga untuk mengahadapi hari. Sementara itu, Gus Zam masih dalam diam. Bu Nyai yang mengantarkan sarapan pun duduk disamping Gus Zam.
"Bukan Umi mendukung keputusan Hanung, tetapi memang apa yang dimaksud itu benar, Nak. Hanung tidak akan tega melihatmu seperti sekarang."
"Salah Zam yang tidak mencegah kepergian, Hanung."
"Bukan salah kamu, Nak. Semua itu sudah ada yang mengatur. Jika saat itu Hanung tidak pergi, akan hati yang terluka menerima perlakuan Surati. Hanung pergi untuk mencegahnya tanpa tahu apa yang akan ia hadapi."
"Hanung terluka, Umi. Dan itu dua kali!" Gus Zam bergetar.
"Nak, dengarkan Umi. Stabilkan emosimu, minggu depan ikutlah Abi menjemput Hanung. Jika kamu hanya larut dalam pikiranmu sendiri, kamu akan kehilangan arah. Fokus kamu sekarang, bagaimana kamu akan menghadapi ketakutanmu dan bagaimana saat kamu bertemu dengan Hanung." Bu Nyai mencoba memancing Gus Zam dengan menggunakan Hanung.
"Umi.."
"Ya."
"Zam akan ikut Abi."
"Bagus. Kamu adalah suami Hanung, jangan biarkan ia selalu memikirkan kebaikanmu. Sudah saatnya kamu menjadi imam yang baik untuk Hanung." Gus Zam mengangguk.
Segera Gus Zam mengambil sarapan yang dibawakan Bu Nyai dan memakannya. Stabilitas mental dan emosinya yang utama sekarang. Masalah ketakutan, ia akan menghadapinya nanti. Prioritasnya adalah untuk bertemu dengan Hanung dan memeluknya.
Kegiatan Gus Zam kembali seperti sebulan ini. Sholat di masjid dan membantu pekerjaan di pesantren. Psikiater mengatakan ia harus mengalihkan pikiran negatifnya ke kegiatan yang positif agar bisa menjaga kestabilan mentalnya. Setelah semua selesai dengan susah payah, Gus Zam kembali ke studionya dan mulai mengukir.
Di saat yang bersamaan, Hanung sedang periksa ke dokter. Dirinya yang mual muntah segera dibawa ke klinik oleh Pakdhe Warto yang mengira Hanung sedang hamil.
lagi...
lagi..../Smile/
tebawa suasana
JD + semngat nunggu bsb yg lain ny