novel ini adlaah adaptasi dari kelanjutan novel waiting for you 1
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uppa24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
prolong!!
Aidan tiba di lokasi acara yang menjadi tujuannya, namun ia hanya disambut oleh kehampaan. Tempat itu sepi, hanya tersisa kursi-kursi yang berantakan, karangan bunga layu, dan lantai yang masih berserakan kelopak mawar putih. Hati Aidan seperti tertikam melihat tanda-tanda akhir dari sebuah pernikahan yang baru saja berlalu. Segala usaha untuk menyusulnya kembali berakhir dengan kekecewaan. Gadis itu, yang dulu ia panggil “gadisku”, telah benar-benar pergi — kali ini selamanya.
Dengan perasaan hampa, Aidan melangkah pergi. Hujan yang deras menyambutnya di luar, membasahi setelan jasnya. Langkahnya membawanya ke taman kecil yang penuh kenangan bersama Syafira. Meski hujan turun deras, ia duduk di bangku tua yang menghadap kolam kecil di tengah taman. Angin dingin tak dihiraukannya. Ia termenung, membiarkan pikirannya kembali ke masa lalu.
Kenangan manis bersama Syafira menyeruak dalam kepalanya, menggempur seperti hujan deras yang turun tanpa ampun. Dari masa sekolah hingga momen-momen terakhir yang mereka habiskan bersama, semuanya membayangi. Wajah gadis itu, senyumnya, tawanya — semuanya terasa seperti jarum yang menusuk hati Aidan berkali-kali.
Tiga tahun berlalu sejak kepergian Syafira. Hidup Aidan berubah menjadi rutinitas yang kosong. Malam itu, di sebuah ruangan kerja yang gelap, hanya ada dirinya ditemani segelas wine dan tumpukan dokumen. “Tuan,” suara asistennya memecah kesunyian, “Besok kita ada perjalanan ke negara C untuk menghadiri perjamuan besar keluarga ternama dari tiga negara. Keluarga nomor satu, yang selama ini menghilang dari dunia, katanya akan mengumumkan penerus baru mereka.”
Aidan mengangguk pelan, menyesap wine di tangannya. “Baik. Malam ini kita berangkat. Siapkan pesawat pribadi,” ucapnya singkat. “Dan temukan cendera mata yang layak untuk diberikan kepada keluarga itu. Aku ingin meninggalkan kesan baik.”
Asistennya mengangguk hormat. “Baik, Tuan. Namun, untuk Nyonya Besar dan Tuan Besar?” tanyanya hati-hati.
Aidan mendengus pelan. “Biarkan mereka menyusul sendiri. Aku tidak tertarik bertemu mereka,” jawabnya dingin. “Sekarang, tinggalkan aku sendiri.”
Saat asistennya meninggalkan ruangan, ia sempat bergumam pelan, “Sampai kapan tuan muda akan terus seperti ini? Sudah tiga tahun, tapi ia tetap terobsesi dengan gadis itu. Kalau begini, keturunan keluarga Bastoro akan berakhir di dia.”
“Plak!” Sebuah tamparan ringan mendarat di kepala asistennya. Seorang pelayan tua menatapnya dengan tajam. “Berhenti berbicara buruk tentang Tuan Muda. Kau saja belum menikah karena larangan darinya, jadi pikirkan nasibmu sendiri jika Tuan Muda tetap seperti ini.”
Di kediaman keluarga Linda, suasana tidak kalah tegang. “Aisya, apa yang kau lakukan tiga tahun lalu tak bisa Papa maafkan. Sebagai hukuman, kau harus pergi ke negara C untuk menghadiri perjamuan besar itu. Usahakan menjalin hubungan baik dengan keluarga nomor satu,” tegas ayahnya, tatapannya penuh wibawa.
Aisya mengangguk, meski matanya memancarkan kebencian. “Baik, Pa,” jawabnya singkat.
“Ingat, satu kesalahan saja, keluarga kita akan tersingkir dari lingkaran ini. Keluarga itu adalah pusat kekuasaan, dan satu kata dari mereka cukup untuk menghancurkan kita.”
Linda, sang ibu, mencoba menenangkan suaminya. “Jangan terlalu keras pada putri kita,” ujarnya lembut.
Namun, suaminya hanya mendengus. “Kau tahu apa yang telah ia perbuat tiga tahun lalu? Karena dia, kita harus pindah ke negara B, menanggung malu, dan menghadapi tekanan dari keluarga Bastoro hingga sekarang.” Matanya penuh kemarahan saat menatap Aisya.
Ketika sang ayah meninggalkan ruangan, Aisya menggertakkan giginya. Dalam hatinya, ia mengutuk Syafira. “Dasar gadis sialan. Kau sudah mati, tapi tetap saja menghancurkan hidupku.”
Di sebuah istana besar di tengah kota negara C, persiapan untuk perjamuan keluarga ternama sedang berlangsung. Di taman istana yang megah, seorang gadis bernama Elena El Bara, tengah duduk di bangku sambil mengawasi putranya, Alvio, bermain bola. Wajah Elena bersinar dengan kedamaian, namun matanya sesekali memancarkan kegelisahan yang hanya ia sendiri yang tahu sebabnya. Senyuman kecil muncul di bibirnya saat melihat putranya tertawa riang, namun di sudut hatinya, ia tahu bahwa masa lalunya tidak akan mudah dilupakan.
Di dalam istana, ayah Elena berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman. Tatapannya tajam memperhatikan putri dan cucunya. Dalam keheningan itu, ayah Elena menghela napas panjang. "putriku ," gumamnya dalam hati, "meskipun kini kau adalah Elena El Bara, aku tahu hatimu masih menyimpan bekas dari masa lalumu. Aku hanya berharap, apa pun yang terjadi, kau tetap kuat."