NovelToon NovelToon
Hyacinth

Hyacinth

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Hujan kristal misterius tiba-tiba menghujam dari langit bak ribuan peluru. Sebuah desa yang menyendiri. Jauh dari mana pun. Terletak di ujung hutan dekat tebing tak berdasar. Tak pernah ada orang dari luar desa yang pernah berkunjung sejak desa tersebut ada. Asing dari mana pun. Jauh dari mana pun. Sebuah desa sederhana yang dihuni ratusan orang. Dipimpin oleh ketua suku turun temurun. Walaupun begitu, mereka hidup rukun dan damai.

Sampai pada akhirnya fenomena dahsyat itu terjadi. Langit biru berubah menjadi warna-warni berkilau. Menciptakan silau yang indah. Indah yang berujung petaka. Seperti halnya mendung penanda hujan air, maka langit warna-warni berkilau itu penanda datangnya hujan aneh mematikan. Ribuan pecahan kristal menghujam dari langit. Membentuk hujan peluru. Seketika meluluhlantakkan seluruh bangunan desa berserta penghuninya. Anehnya, area luar desa tidak terkena dampak hujan kristal tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tebing Tak Berdasar

Cashel terbangun lebih dulu dibanding Finley. Didapatinya gadis malang itu tertidur pulas. Walaupun tanpa selimut dan alas selain rerumputan yang berembun. Sendunya yang meluap kemarin sudah cukup untuk mendatangkan kantuk. Lain halnya dengan Cashel. Semalaman tak bisa tidur karena menggigil. Bersin berkali-kali. Sesekali menangis dalam sunyi. Selagi Finley tidak mengetahui. Ia dapat menumpahkan segala pedih. Baru saja kemarin. Fenomena aneh dan mematikan itu terjadi. Ke depannya, entah seperti apa. Seorang gadis 13 tahun dan lelaki 12 tahun. Hidup di tempat antah-berantah. Tanpa mengetahui bagaimana dunia luar.

Lelaki itu beranjak dari rerumputan berembun. Setelah menggosok tubuhnya yang dilekati darah yang telah mengental. Anehnya lagu, pakaian mereka tidak rusak.

Sebenarnya, ada banyak sekali kejanggalan yang tak mampu mereka ramu satu persatu. Semua serba terbatas. Tanpa ada petunjuk. Juga orang dewasa yang lebih berwawasan.

Kebun apel. Itulah tujuan pertamanya pagi itu. Tempat yang biasanya ramai itu tidak ada lagi menyisakan apa pun. Hanya ia seorang diri. Duduk meratap di atas pohon. Sembari memakan apel sepuasnya. Manis sekali, namun tak mampu menyembuhkan kenyataan pahit. Hingga yang terasa adalah hambar. Lanjut ke kebun jeruk, anggur dan beri. Sama saja. Rasa manis itu tetap terasa hambar. Terlampau dalam relungnya terjebak derita tak berujung.

Saat perjalanan kembali ke tempat Finley, Cashel melihat kelinci melompat di depannya. Ayahnya sering berburu kelinci untuknya. Salah satu makanan favoritnya. Terpikirkan, mungkin saja dengan memakai daging kelinci perasaannya akan membaik. Ia juga berniat berbagi dengan Finley, sekaligus cara menawarkannya sebagai seseorang yang sama-sama gengsi.

Ekspresinya berubah kusut, sebab mengingat dirinya tidak pandai berburu. Lebih tepatnya belum diajarkan cara berburu.

"Kenapa kau melamun di situ?"

Cashel tersentak karena suara seseorang yang tiba-tiba terdengar dari sampingnya.

"Aku ingin makan kelinci."

"Tangkaplah. Bukan malah melamun," ketus Finley.

Wajah gadis itu masih terlihat mengantuk. Sepertinya ia baru bangun.

"Maukah kamu menemaniku mencari tombak. Untukmu juga. Sebagai pelindung juga. Kita tidak tahu, binatang buas bisa datang kapan saja. Oleh karena itu, kita butuh senjata." Cashel memberi usul.

Ada raut wajah ketakutan pada Finley setelah mendengar kata binatang buas. Namun, ia juga masih trauma jika harus masuk lagi ke desa. Di sana, ada mayat bergelimpangan di mana-mana. Dengan tubuh-tubuh yang telah hancur.

"Tidak bisakah kamu sendiri yang mencarinya?" tanya Finley mencari opsi lain.

"Apa kau sudah gila? Untuk apa kau selamat jika tidak berguna? Untuk apa aku berusaha mencari sendiri. Jika hanya membawa tombak untuk diriku sendiri, artinya aku yang akan terus melindungimu. Jika aku membawakanmu tombak juga, untuk apa aku berusaha sendiri dengan hasil yang juga kau yang dapatkan?"

"Aku tak memintamu untuk melindungiku. Aku juga tak memintamu membawakanku tombak, dasar mata kucing cacat!"

"Lalu maumu apa? Membiarkan binatang buas memakanmu?" tanya Cashel malas.

Suasana panas terjadi. Keributan yang selalu terjadi ketika desa masih normal, kini terjadi setelah desa hancur lebur. Hubungan Finley dan Cashel memang akan selalu begitu. Tak peduli apa pun yang terjadi dengan dunia.

Musuh bebuyutan tetaplah musuh bebuyutan.

"Itu tidak lebih menakutkan dibanding hujan kristal kemarin, yang bahkan tidak bisa melukai kita. Bisa apa hewan yang bisa dibunuh hanya dengan benda tajam. Dengan kayu-kayu kering juga bisa digunakan," jawab Finley mencari pembelaan.

"Kenapa kamu keras kepala sekali? Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Tunjukkan bagaimana kamu memperlakukan adikmu. Kau anak sulung. Sudah pasti tahu caranya jadi dewasa. Kau bahwa lebih tua darimu. Tapi dari kemarin kamu selalu menampakkan diri sebagai sosok yang lebih belia ada adik bungsumu!" Tegas Cashel.

"Sejak kapan kau jadi sok bijak gitu mengaturku. Aku tak pernah memilih untuk selamat dan menjalani semua sisa-sisa harapan ini denganmu. Aku tak pernah berhenti untuk membencimu. Selalu begitu. Kenapa harus kau? Kenapa aku tidak ikut mati juga bersama keluargaku? Aku hanya tak ingin melihat tubuh-tubuh kaku itu lagi dan sekarang kamu mengajakku untuk ke tempat mengerikan itu lagi."

"Karena kita akan selamanya bersama. Harapan untuk bertemu orang lain itu kecil sekali kemungkinannya. Hutan lebat itu nyaris tak berujung. Penjelajah hutan yang dulu pernah mencoba mencari pemukiman lain tak pernah menemukannya. Sekali pun ia kembali satu tahun kemudian. Artinya apa? Artinya kita akan terus bersama di sini. Anggap aku bukan Cashel jika itu terus mengganggumu. Kita harus menjadi kuat, Finley! Jika suatu saat benar-benar ada orang lain yang kita temui, kau boleh mengikuti orang itu dan meninggalkanku atau aku yang mengikuti orang itu dan meninggalkanmu. Bukankah sejak awal begitu? Kita bersama hanya karena tidak ada lagi orang lain di sini. Atau di mana pun yang kita ketahui."

Mentari beranjak cerah. Tubuh kedua remaja tersebut masih menyisakan darah kental. Penampilan kotor, penuh cemong, rambut berantakan, bau keringat, pakaian lusuh.

"Aku butuh waktu untuk menghilangkan ketakutanku. Kita bisa masuk setelah aku merasa lebih baik."

"Dasar gadis jelek. Bodoh pula!"

"Hei, berhenti memanggilku seperti itu mata kucing sialan. Kamu yang memaksa, kamu pula yang tidak menerima."

"Lupakan saja, sialan! Jika menunggu berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Mayat-mayat itu akan membusuk. Itu menjadi lebih buruk lagi! Ikuti aku sekarang! Dapatkan tombak dan semua akan baik-baik saja!" Tegas Cashel belum menyerah.

Finley terdiam. Cashel benar. Jika menunggu terlalu lama, maka kondisi mayat-mayat itu akan lebih buruk. Bibir Finley bergetar, hendak menangis lagi. Banyak sekali jalan buntu. Tak ada yang mudah. Di mana lagi ia bisa menemukan tawa itu. Bagaimana mungkin ia bisa bersenda gurau dan berbagi tawa jika seseorang yang akan bersamanya seterusnya adalah Cashel. Anak nakal yang suka berbuat onar. Walaupun Finley mengetahui sisi lain lelaki itu, ternyata ia bijak dan cerdas. Juga mendapatkan sedikit informasi dari mimpinya. Tentang hujan kristal kemarin. Ya, di dalam mimpinya, semua orang mati. Kecuali Ia dan Finley. Lantas benar-benar terjadi, sesuai dengan apa yang dimimpikan itu.

"Dasar menyebalkan! Baru membayangkan ke depannya saja sangat berat. Kembalikan keluargaku! Dasar hujan kristal sialan!"

Tangisan Finley tumpah lagi. Sedangkan Cashel, menatap tajam pada Finley.

"Gadis jelek, bodoh, cengeng pula! Tidak adakah manusia yang lebih baik lagi untuk menemaniku selain gadis menyusahkan sepertimu. Egois! keras kepala!"

"Kau juga seperti itu!"

"Benar. Tapi aku lebih tahu tempat. Tidak sepertimu! Kita harus ke desa sekarang! Tak ada gunanya menangis. Dasar merepotkan. Itu tidak akan membantumu hidup lebih lama. Karena cara bertahan hidup dengan berlatih menjadi lebih kuat."

"Kau tidak mau sendiri, 'kan? Tapi aku lebih ingin menyusul ibu dan adik-adikku. Tinggal saja sendiri di sini! Lakukan apa pun yang kau suka!"

"ARGHHH!" Cashel berseru kesal sambil menjambak rambutnya keras-keras.

Benar-benar situasi sulit. Seharusnya, mereka membutuhkan orang ketiga. Sebagai air yang akan menyiram dua api yang saling menyulut itu.

"Kamu sungguh tidak mau ke desa, Finley?" tanya Cashel memastikan setelah meredam emosi.

Finley terdiam. Tidak menjawab pertanyaan Cashel. Hingga beberapa menit berlalu.

"Baiklah. Ada tebing tak berdasar di sana. Karena kamu tidak mau bertahan hidup dan aku tidak mau sendirian, maka marilah kita lompat bersama."

1
mochamad ribut
lanjut
adie_izzati
Permulaan yang baik👍👍
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
total 3 replies
Ucu Borneo.
nice...
Chira Amaive: 🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍🤍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!