Kecelakaan menjadikan tertulisnya takdir baru untuk seorang Annasya Atthallah. Berselang dua bulan setelah kecelakaan, gadis yang biasa dipanggil Nasya itu dipinang oleh orang tua lelaki yang merupakan korban kecelakaan.
Airil Ezaz Pradipta, terpaksa menyetujui perjodohan yang diam-diam dilakukan oleh kedua orang tuanya. Tidak ada yang kurang dari seorang Nasya. Namun dirinya yang divonis lumpuh seumur hidup menjadikan Airil merasa tidak pantas bersanding dengan perempuan yang begitu sempurna.
Lelaki yang dulunya hangat itu berubah dingin ketika bersama Nasya. Mampukah Nasya meruntuhkan tembok es itu dan melelehkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 5
Melupakan masalah pribadinya Nasya melakukan meeting internal bersama Pak Hamdi, manajer keuangan di perusahaannya. Sudah dikatakan, dunianya harus baik-baik saja walau pernikahannya berantakan.
Nasya memeriksa perencanaan anggaran yang Pak Hamdi buat.
“Kami telah melakukan peninjauan dan beberapa perubahan berdasarkan perkembangan terkini. Saya percaya kita bisa mencapai peningkatan pendapatan di tahun depan. Namun, ada beberapa area di mana pengeluaran perlu diperhatikan lebih lanjut untuk meningkatkan efisiensi.”
“Meminimalisir biaya operasional?" Ujar Nasya yang diangguki pria paruh baya itu.
“Saya melihat ada beberapa peluang untuk mengurangi biaya operasional, terutama di sektor teknologi informasi. Saya sedang mempertimbangkan migrasi ke sistem yang lebih efisien dan terpadu. Sehingga dapat mengurangi biaya pemeliharaan jangka panjang,” jelas Pak Hamdi.
Nasya mengangguk kecil, "saya lihat analisis biaya manfaat serta potensi penghematan dan manfaat jangka panjang dari rencana migrasi ini sudah cukup matang. Mari kita atur waktu untuk presentasi. Selain itu tolong Bapak buatkan proyeksi anggaran yang lebih rinci untuk departemen keuangan?”
“Baik Bu Nasya, saya akan menyusun proyeksi anggaran yang lebih rinci berdasarkan inisiatif dan proyek yang direncanakan. Akan segera saya kirimkan untuk dievaluasi.”
“Terima kasih," ucap Nasya tersenyum. Setelahnya wanita itu kembali membenamkan kepala ke meja.
“Kak Na,” panggil Nefa pelan.
“Hm,” Nasya mengangkat wajahnya dan terkejut melihat keberadaan Nefa di ruangannya.
“Mana tangannya yang sakit?” Tanya Nefa to the point.
“Sakit? Tangan apa?” Tanya Nasya bingung.
“Tadi tangan Kakak kena meja kan?”
“Oh, cuma memar sedikit.” Jawab Nasya, sedetik kemudian perempuan itu melongo. “Kamu tahu darimana tanganku memar?”
“Kan sudah Nefa bilang, sebenarnya Abang Nefa yang satu itu baik. Buktinya mengutus Nefa kesini.” Selorohnya mengeluarkan makanan dari baper bag dan memberikan salep memar.
“Emang Kakak ngapain jadi Bang Airil marah?" Nefa kembali bertanya melihat kakak iparnya yang terdiam sendu.
“Mengelus kepalanya kayak mengelus kepala kucing.” Nasya mempraktekkan di kepalanya sendiri yang membuat Nefa menyemburkan tawa.
“Kakak nekat banget sih.”
“Ini kerjaan Yara yang ngajarin Kakak,” beritahu Nasya.
“Tapi bagus, Nefa mendukung. Pokoknya Kakak jangan menyerah, genit-genitin aja terus sampai hatinya lumer.” Ujar Nefa sangat bersemangat.
...🍀🍀🍀...
Tiba di apartemen Nasya langsung membersihkan diri. Kemudian memasak nasi goreng untuk makan malam.
"Aku gak disiapin makan?"
Nasya melirik suaminya yang baru pulang lalu menggeleng, melanjutkan makannya kembali.
"Aku lapar."
Nasya beranjak, mengambilkan sarapan pagi tadi yang tidak termakan.
"Kau mau meracuniku dengan makanan yang tidak layak dimakan manusia!!" Ketus Airil.
"Itu masih layak kok. Biasanya juga gak pernah makan masakanku, buat apa aku masak banyak-banyak." Jawab Nasya dengan bahasa sehalus dan setenang mungkin.
"Dasar istri tidak berguna!!" Decak Airil, membawa kursi rodanya meninggalkan ruang makan.
Nasya terkikik selepas suaminya menghilang di balik pintu kamar. Perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu menyiapkan nasi goreng dengan suwiran daging ayam, bakso dan sosis. Lalu mengantarkannya ke kamar Airil.
"Mas, aku masuk ya." Izin Nasya mengetuk pintu kamar Airil. Tidak ada jawaban, jadilah perempuan itu langsung saja masuk.
"Mau apalagi kau di kamarku?" Geram Airil yang masih emosi karena tidak diberi makan. Pria itu baru keluar dari bathroom, hanya menggunakan handuk yang melilit di pinggangnya.
Nasya yang terkejut mengatur ekspresi wajahnya agar tetap tenang.
"Mau jadi istri yang berguna," jawab Nasya tanpa dosa usai memutus urat malunya.
Mendorong kursi roda ke depan meja rias. Kemudian mengeringkan rambut sang suami dengan handuk kecil.
"Kau sengaja ingin menjamah tubuhku, hah!!" Sarkas Airil. Berhadapan dengan Nasya pria itu tidak pernah bersikap lembut.
"Tadinya tidak terpikirkan seperti itu. Tapi sekarang ada," perempuan itu tersenyum genit berbisik di telinga Airil.
"Minggir!!" Usir Airil, menjalankan kursi rodanya mundur dan tidak sengaja mengenai jari-jari kaki Nasya.
"Aarrgh!!" Nasya menjerit kesakitan, tubuhnya lemas karena rasa nyeri.
"Nasya," Airil memajukan kursi roda untuk menghindari kaki Nasya.
"Huuhh!!" Nasya mengipas-ngipasi kakinya sambil menahan air mata agar tidak terjatuh.
"Dimana salep yang dibelikan Nefa tadi?" Airil mendudukkan Nasya di pangkuannya, menjalankan kursi roda ke tempat tidur.
"Dalam tas," lirih Nasya dengan suara pelan. Berpindah ke tempat tidur kemudian memeluk lututnya yang lemas.
Airil bergegas membawa kursi rodanya ke kamar sebelah. Tubuhnya sempat bergetar karena serangan panik.
Pria itu kembali dengan membawakan air putih dan salep untuk Nasya. "Minum dulu, baru nanti diolesi kakinya biar nggak bengkak."
Nasya mengambil air putih dan meminumnya dengan sekali teguk. "Makan Mas, aku ke kamar." Tunjuknya pada nasi goreng yang terhidang di meja kemudian kembali ke kamar.
Airil hanya bisa mengangguk di tengah rasa bersalahnya. Sungguh dia tidak pernah berniat menyakiti Nasya dengan sengaja.
"Manusia kuat boleh nangis kok, karena bukan robot." Gumam Nasya mengingatkan dirinya sambil mengoleskan salep ke jari-jari kakinya yang terasa remuk. Tak terasa air matanya berjatuhan.
Di kamarnya Airil menatap sepiring nasi goreng dengan perasaan hampa.
"Kalau merasa bersalah Abang harusnya bersikap lebih lembut dan hangat. Bukan malah menutup diri, Nefa kasihan sama Kak Na. Abang egois tahu gak sih, yang terpaksa nikah itu bukan cuma Abang." Omel Nefa dari sambungan telepon.
"Dia kalau cerai dari Abang masih bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik, Nefa. Apa yang bisa diharapkan dari Abang yang cacat ini. Abang bahkan nggak bisa ngelindungin dia, yang ada setiap hari hanya menyakiti perasaannya."
"Abang kayak orang bodoh deh, Bang Airil itu bisa bayar seratus bodyguard buat ngelindungin Kak Na." Decak gadis yang berasal dari seberang telepon sana.
"Ngomong sama kamu bikin Abang tambah pusing." Adik sepupunya itu seperti memiliki insting kuat, tahu saja kalau dia baru membuat masalah.
"Nanti Nefa paketin obat pusing yang banyak," jawab Nefa kesal.
Keesokan paginya Nasya sudah bersikap seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk Airil. Untuk masalah jari kakinya yang terlindas ban kursi roda memang bengkak. Ia hanya tidak bisa menggunakan sepatu. Selebihnya Nasya masih bisa beraktivitas dengan normal.
"Kakimu gimana?" Airil membuka percakapan lebih dulu. Tidak menunggu Nasya mengajaknya sarapan.
"Sedikit bengkak," Nasya menjawab jujur.
Tangannya dengan cekatan menyajikan sup ayam dengan kuah kuning yang kaya rempah. Potongan ayam, mie, tauge, irisan daun seledri, dan bawang goreng ikut mengisi mangkuk.
"Aku sudah buatkan janji dengan dokter spesialis ortopedi jam sepuluh siang."
Nasya menganga lebar, apa katanya? dokter spesialis ortopedi. Dia ini tidak mengalami cedera serius.
"Jadi ini caramu meminta maaf Mas, aku tidak perlu semua itu. Terima kasih atas niat baikmu," ucap Nasya ketus. Memakan sarapannya tanpa bicara lagi.
sabar ya sa
key diamm
sblm.terkmabat