Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.
Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ditolak
“Ayo bersih-bersih dulu, lebih cepat kita selesai, lebih cepat pulangnya!” Suara Rizal memerintah, terdengar tegas dan penuh semangat, seolah menjadi komando bagi seluruh tim di puncak Dieng. Semua bawahannya bergerak dengan sigap, mengikuti perintahnya layaknya anak bebek yang mengikuti induknya.
“Aye-aye, ketua!” seru mereka serempak, suasana menjadi riuh dengan tawa dan kekocakan mereka yang mengikuti instruksi Rizal.
Di kejauhan, Malik berdiri diam, memperhatikan Mikaya yang berjalan pelan di depan. Gadis keturunan Indo-Jepang itu mengenakan bandana di kepalanya, tampak imut namun juga memiliki aura kesendirian yang kuat.
“Ada apa?” tanya Malik, langkahnya mengikutinya, suara penuh keingintahuan.
Mikaya berhenti sejenak, menoleh ke belakang. “Em... Malik, makasih,” ujarnya, dengan suara yang agak terputus-putus. Malik mengernyitkan kening, bingung. “Aku masih ada di sini karena kamu tolong aku pas aku kepeleset,” lanjut Mikaya, matanya menatap tanah, seakan tak berani menatap langsung Malik.
“Ah, itu ya. Ga masalah kok,” jawab Malik sambil tersenyum ramah, meskipun ada rasa canggung di hatinya. “Ada lagi?”
Mikaya menghela napas kecil, dengan langkah yang lebih berat, dia mencoba melanjutkan. “Em, itu… aku… aku suka kamu,” katanya pelan, hampir seperti bisikan, wajahnya menunduk dengan malu. Dia mengintip wajah Malik lewat helai rambutnya yang menutupi matanya, seolah takut akan reaksi yang akan muncul.
Malik terdiam sejenak. Kata-kata Mikaya menggantung di udara, tak bisa dipahami seketika. Pikirannya terasa kosong, pikiran yang biasanya cepat, kini mendekapnya dalam kebingungan.
“Jadi?” Mikaya akhirnya bertanya setelah beberapa detik keduanya terdiam. Suara lebih pelan, namun tidak bisa menyembunyikan sedikit rasa penasaran yang terpancar di wajahnya.
“Ah, terima kasih, Mikaya,” jawab Malik, suara canggungnya jelas terdengar. “Tapi maaf, aku… aku menyukai orang lain.”
Mikaya mengangkat wajahnya, namun raut wajahnya sudah berubah. Ada kekecewaan yang menggurat di matanya, walau ia mencoba menyembunyikan perasaannya. “Oh, gitu ya… oke deh,” jawabnya sambil tersenyum tipis, namun senyum itu tampak dipaksakan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Mikaya berjalan menjauh dari Malik.
Malik hanya bisa berdiri diam, menatap punggung Mikaya yang semakin menjauh. Ada rasa tidak enak yang menghantuinya. Dia tahu perasaan Mikaya, tapi dia juga tahu betul, dirinya tidak bisa memberi lebih dari sekadar pertemanan. Malik menatap langit yang terbentang luas di atas gunung Dieng, birunya langit itu begitu memesona, namun seolah tak bisa menghapus kegelisahan di dalam hatinya.
Dari jarak jauh, Malik melihat Naima sedang tertawa bersama beberapa rekan pendaki lainnya. Raut wajah Naima begitu ceria, jauh berbeda dari saat mereka berdua berada bersama. Naima tampak bebas, tak ada lagi bayangan kesedihan atau kerisauan yang menghantui wajahnya. Malik merenung sejenak, merenungkan betapa dalamnya perbedaan itu, dan betapa dia ingin berada lebih dekat dengan Naima, tanpa ada kerumitan yang menghalangi.
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, menyelimuti ruangan dengan hawa yang mencekam. Di ruang tamu rumah Malik, Abraham duduk dengan wajah serius, tampak memikirkan kata-kata yang baru saja ia ucapkan.
“Aku tidak bisa memutuskannya sendiri, karena yang akan menjalaninya adalah Naima. Jika Naima setuju, aku pun setuju,” ujar Abraham, suaranya berat, penuh tanggung jawab. Tatapannya penuh makna, seolah ia ingin Malik menyadari besarnya keputusan yang sedang dihadapi. “Kau tahu bukan apa yang harus kau lakukan?”
Malik mengangguk pelan, merasa beban itu menekan dadanya lebih berat. “Meyakinkan Naima,” jawabnya, pelan namun jelas. Malam itu, keputusan yang akan menentukan banyak hal terletak di tangannya.
"Iya, kau harus melakukan itu. Aku tidak bisa membantu banyak. Maaf," ucap Abraham mengakhiri percakapan. Kata-katanya menggantung di udara, dan dengan itu, pertemuan malam itu pun berakhir.
Malik terdiam sesaat, menatap ke luar jendela. Di luar sana, malam semakin larut, namun pikirannya tidak bisa tenang. Apa yang terjadi hari itu? Keputusannya begitu rumit. Di satu sisi, dia tahu bahwa dia tidak bisa mengambil keputusan itu sendiri. Semuanya tergantung pada Naima, gadis yang sudah terlalu lama dia perhatikan, tapi juga terlalu sulit untuk dipahami.
Di ruang makan, Hanum dan Khalid, orang tua Malik, berbicara dengan serius, membicarakan pernikahan yang batal antara Naima dan calon sebelumnya. Abraham menjelaskan bahwa Naima sudah lama merencanakan masa depannya dengan orang itu, namun segala sesuatunya berakhir begitu saja.
Tidak ada lagi informasi lain. Abraham tidak ingin Malik dan keluarganya terlalu mencampuri urusan pribadi Naima. Malik bisa merasakan ketegangan itu di antara mereka, meskipun mereka mencoba tidak mengekspresikannya terlalu jelas. Mereka berbicara tentang Naima, mengorek informasi dan mengutarakan dugaan-dugaan.
Naima dan calon sebelumnya—itu adalah masa lalu yang sulit untuk diungkapkan, dan mungkin juga menjadi luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Malik tahu sedikit tentang hal itu, tetapi tidak pernah cukup untuk memahami sepenuhnya apa yang telah terjadi di antara mereka.
"Sekarang, apa yang sebenarnya terjadi pada Naima dan calon sebelumnya?" Malik bertanya dalam hati, berusaha menemukan jawaban yang tidak bisa didapatkan dari kata-kata.
Malik melangkahkan kakinya dengan ringan, membaur bersama kelompok pendaki lainnya. Meski pikirannya sempat terpecah karena ingatan tentang Naima, ia memutuskan untuk fokus pada tujuan awalnya: menikmati alam dan menghabiskan waktu yang berkualitas di sini. Langit biru dan udara pegunungan yang segar terasa seperti sapuan lembut yang menenangkan hatinya.
“Sini, biar aku bantu,” ucap Malik dengan senyuman ramah, tangannya terulur ke arah Susi yang tengah bergulat dengan kantong plastik besar di tangannya.
Susi menoleh, sedikit terkejut dengan tawaran Malik. “Eh, oke. Ini, Malik,” jawabnya sambil menyerahkan trash bag miliknya yang sudah setengah penuh dengan sampah hasil bersih-bersih di sepanjang jalur pendakian.
“Terima kasih,” ucap Malik sambil menerima kantong plastik itu. Suaranya ringan, penuh keramahan, membuat Susi sedikit terdiam, takjub dengan sikapnya yang selalu tenang. Malik melanjutkan, mengikat kantong dengan rapi sebelum menambahkan sampah baru yang ia pungut dari sekitar jalur.
Susi memperhatikan Malik sejenak, melihat caranya bekerja dengan cekatan. “Kamu kayaknya nggak pernah kelihatan capek ya?” ucapnya, nada suaranya santai tapi penuh rasa penasaran.
Malik menoleh sekilas, memberikan senyuman kecil. “Capek itu soal pikiran, bukan cuma soal tubuh. Kalau kita nikmatin aja apa yang kita lakuin, rasa capeknya nggak akan terlalu terasa.” Ia menunduk, mengambil botol plastik yang tersembunyi di balik semak, kemudian memasukkannya ke trash bag.
“Puitis banget, sih,” balas Susi sambil tertawa kecil. “Nggak nyangka kamu sebijak ini.”
Malik hanya tersenyum simpul, melanjutkan pekerjaannya tanpa menjawab. Tapi di dalam hatinya, ia tahu perkataan itu bukan sekadar jawaban basa-basi. Ada sesuatu yang ia sembunyikan, sesuatu yang ia bawa di hatinya—perasaan yang tak ingin ia akui, bahkan pada dirinya sendiri.
Susi menghela napas, lalu ikut memungut sampah di sekitar, membiarkan keheningan di antara mereka bergulir. Hening, tapi terasa nyaman. Seolah-olah alam di sekitar mereka ikut berbicara, menyampaikan pesan tanpa kata-kata. Angin gunung yang dingin menyapu dedaunan, menciptakan melodi lembut yang mengisi udara.
“Kamu udah berapa lama ikut komunitas mendaki?” tanya Malik sambil mengikat trash bag yang sudah penuh.
“Tahun lalu,” jawab Susi, mengusap sedikit keringat di dahinya. “Awalnya bareng Naima—cewek yang ada di sebelah sana itu,” tambahnya, menunjuk ke arah Naima yang terlihat sedang berbicara dengan Rizal di kejauhan.
“Ah, iya, dia yang sering kelihatan bareng Bang Rizal, kan?” Malik mencoba mengingat, meskipun sosok Naima jelas sekali terekam di benaknya.
“Iya. Ternyata mereka teman SMP. Ketemu lagi di sini,” jelas Susi, sedikit tertawa. “Bang Rizal sih yang paling tahu soal dia. Gw aja awalnya mikir Naima itu ansos, tau nggak? Jarang ngomong. Kalau ngomong ya singkat banget. Paling cuma ngangguk, geleng, atau jawab ‘iya, oke.’ Kadang gw bingung sendiri kalau ngobrol sama dia,” lanjutnya dengan nada geli.
Malik tersenyum kecil, mendengar cerita itu sambil menyusun ulang sampah di trash bag agar lebih rapi. “Oh ya? Pasti lumayan susah ya buat deketin dia?”
“Iya, awalnya sih susah. Tapi sekarang lumayan, kok. Kami jadi deket karena waktu itu gw nggak sengaja liat interaksi dia sama Bang Rizal. Ternyata anaknya suka bercanda juga, cuma ya gitu, kadang bercandanya agak... keterlaluan.” Susi tertawa lagi, mengingat kejadian-kejadian lucu yang pernah terjadi. “Tapi ya, kuncinya cuma satu: lo harus tahu batasan kalau ngomong sama dia.”
Malik mengangguk pelan, menyimak sambil memandang ke arah Naima. Gadis itu tampak serius berbicara dengan Rizal, sesekali tersenyum kecil. Ada sesuatu tentang dirinya yang sulit dijelaskan, sesuatu yang menarik sekaligus membingungkan.
“Biar gw tebak,” lanjut Susi, menatap Malik sambil menyipitkan matanya. “Dari semua pendaki yang gabung sama kita, gw yakin lo belum pernah ngomong sama Naima. Ya kan?”
Malik terdiam sejenak. Senyuman tipis tersungging di wajahnya. “Ah, mungkin,” jawabnya ragu, mencoba menyembunyikan fakta bahwa ia sebenarnya pernah berbicara dengan Naima. Bahkan, ia masih ingat jelas momen ketika gadis itu menangis di depannya. Tapi untuk berbicara dengan Naima seperti Rizal atau Susi? Tidak. Ia tak pernah merasa cukup dekat untuk itu.
“Hah! Tebakan gw benar, kan?” Susi tertawa kecil, merasa puas dengan kesimpulannya. “Naima itu kayak labirin, Malik. Lo harus sabar buat bisa ngerti dia.”
“Labirin, ya?” Malik mengulang kata itu sambil tersenyum samar. Entah kenapa, ia merasa perumpamaan itu pas. Naima memang seperti sebuah teka-teki yang ingin ia pahami, tapi semakin ia mencoba, semakin ia merasa tersesat dalam pikirannya sendiri.
“Lo tertarik, ya, sama dia?” tanya Susi tiba-tiba, nada suaranya menggoda. “Jangan bilang enggak, soalnya gw liat tadi lo sempet curi-curi pandang ke arah dia.”
Malik tersentak, lalu tertawa kecil untuk mengalihkan perhatian. “Enggak kok. Gw cuma penasaran aja. Dia kelihatan... berbeda.”
Susi mengangkat alisnya, seolah tidak percaya. “Berbeda gimana?”
“Entahlah.” Malik mengangkat bahu, berusaha menyembunyikan kebingungannya. “Mungkin cuma perasaan gw aja.”
Susi tersenyum penuh arti, tatapannya penuh rencana. “Mau gw bantu lo ngomong sama dia?” tanyanya dengan nada menggoda.
Malik mengerutkan kening, sedikit bingung, tapi sekaligus ingin. Dia tidak bisa menutupi rasa penasaran dan keinginannya untuk mendekati Naima. Namun, dia juga tahu bahwa langkah itu mungkin membawa konsekuensi. Malik hanya diam, tidak memberikan jawaban pasti.
Susi menatapnya lebih tajam, seolah menilai respons Malik yang setengah ragu. “Oke, diam lo gw anggap iya,” katanya sambil terkekeh. “Ayo ikut gw,” lanjutnya penuh semangat, menarik lengan Malik.
Malik tidak berkomentar, tapi langkahnya mengikuti. Dia mengekor di belakang Susi, merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat dari biasanya. Campuran antara kegugupan dan rasa penasaran menguasai dirinya.
Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"
Ditunggu ya kak