Alika tidak pernah menyangka kehidupannya akan kembali dihadapkan pada dilema yang begitu menyakitkan. Dalam satu malam penuh emosi, Arlan, yang selama ini menjadi tempatnya bersandar, mabuk berat dan terlibat one night stand dengannya.
Terry yang sejak lama mengejar Arlan, memaksa Alika untuk menutup rapat kejadian itu. Terry menekankan, Alika berasal dari kalangan bawah, tak pantas bersanding dengan Arlan, apalagi sejak awal ibu Arlan tidak menyukai Alika.
Pengalaman pahit Alika menikah tanpa restu keluarga di masa lalu membuatnya memilih diam dan memendam rahasia itu sendirian. Ketika Arlan terbangun dari mabuknya, Terry dengan liciknya mengklaim bahwa ia yang tidur dengan Arlan, menciptakan kebohongan yang membuat Alika semakin terpojok.
Di tengah dilema itu, Alika dihadapkan pada dua pilihan sulit: tetap berada di sisi Adriel sebagai ibu asuhnya tanpa mengungkapkan kebenaran, atau mengungkapkan segalanya dengan risiko kehilangan semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Tak Bisa Mengubah
Bagas terdiam sejenak. Ia tahu Widi masih menolak pernikahan ini.
"Saya tidak akan membohongi Anda, Pak. Istri saya memang masih menolak. Tapi saya percaya bahwa Alika akan membuktikan dirinya." Ia menoleh pada Alika, lalu melanjutkan, "Dan saya percaya Arlan bisa melindungi keluarganya, sama seperti saya melindungi keluarga kami."
Arya terdiam, lalu menatap putrinya. "Alika, kau yakin ingin menikahi Arlan?"
Alika mengangguk mantap. "Aku yakin, Pak."
Arya kembali menghela napas, lalu tersenyum kecil. "Baiklah, kalau begitu, aku merestui kalian."
Arlan tersenyum lega, sementara Alika tampak berkaca-kaca. Bagas pun merasa seolah beban yang selama ini ia pikul akhirnya terangkat. Namun, ia tahu, perjalanan mereka masih panjang. Restu dari Arya hanyalah awal dari tantangan yang lebih besar di masa depan.
***
Bagas duduk di ruang kerja rumahnya, menatap kosong secangkir kopi yang mulai mendingin di tangannya. Setelah pertemuannya dengan Arya, pikirannya terus dipenuhi dengan ingatan masa lalu. Ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa pria yang dulu menolongnya ternyata adalah ayah dari wanita yang selama ini ditolak mentah-mentah oleh istrinya.
Saat langkah kaki terdengar mendekat, ia mengangkat kepala. Widi muncul dengan wajah tak terbaca, jelas masih kesal karena Arlan bersikeras menikahi Alika.
"Ada apa, Pa? Kenapa tiba-tiba ingin bicara?" tanya Widi, duduk di seberangnya dengan tangan bersedekap.
Bagas menghela napas panjang. "Aku baru saja bertemu seseorang yang sudah lama kucari," katanya, suaranya terdengar dalam.
Widi mengernyit. "Siapa?"
"Arya," jawab Bagas, menatap mata istrinya lekat-lekat. "Ayah Alika."
Widi terdiam sejenak, lalu mendengus sinis. "Dan apa hubungannya denganku? Apa itu mengubah fakta bahwa Alika bukan wanita yang pantas untuk Arlan?"
Bagas menggenggam tangannya sendiri, mencoba mengendalikan emosinya. "Dulu, aku hampir putus sekolah karena tidak mampu membayar ujian. Aku bekerja siang malam, sampai suatu hari hampir pingsan di depan toko seseorang. Orang itu adalah Arya. Dia membayarkan uang sekolahku, lalu membantuku menemukan jalan ke kota untuk kuliah dan bekerja."
Widi tampak terkejut, tapi ekspresinya segera mengeras. "Lalu? Jadi karena itu kita harus menerima Alika?"
Bagas menggeleng. "Aku hanya ingin kau tahu, orang yang kau pandang rendah itu adalah orang yang berjasa dalam hidupku. Tanpa dia, mungkin aku tak akan bisa berada di posisi seperti sekarang."
Widi menggigit bibirnya, ekspresinya bimbang. Namun, harga dirinya terlalu tinggi untuk langsung mengakui kesalahannya. "Itu urusan kalian berdua. Tapi aku tetap tidak setuju dengan pernikahan ini."
Bagas menatap istrinya dengan kecewa. "Apakah kau begitu membenci Alika hanya karena latar belakangnya? Padahal, kau bahkan belum benar-benar mengenalnya."
Widi mengalihkan pandangannya. Ada sedikit kegelisahan di matanya, namun ia tetap bersikeras. "Itu tak bisa mengubah kenyataan bahwa Alika tak mampu menjadi istri yang baik hingga suaminya berselingkuh dengan ibu kandungnya," tegasnya sebelum akhirnya berdiri dan meninggalkan ruangan.
Bagas menghela napas panjang. Setidaknya, untuk pertama kalinya, Widi tidak langsung menolak mentah-mentah. Ia tahu, ini mungkin awal dari perubahan.
***
Malam itu, setelah percakapan dengan Bagas, Widi duduk sendiri di ruang keluarga.
Cahaya lampu yang temaram membentuk bayangan panjang di dinding, menciptakan suasana sunyi yang hanya dipecahkan oleh detak jam di sudut ruangan. Secangkir teh di meja kecil di sampingnya sudah mendingin, tapi Widi tak berniat menyentuhnya. Pandangannya menerawang ke arah jendela, tapi pikirannya melayang jauh.
"Bagas mungkin bisa menerima Alika setelah mengetahui siapa ayah wanita itu. Namun, bagiku, itu tak cukup untuk mengubah penilaianku. Arya memang pria baik, dan aku menghormati Bagas yang merasa berutang budi pada pria itu. Tapi, alasan ini tidak cukup bagiku untuk merestui pernikahan Arlan dengan Alika.Tidak!" gumamnya lalu membuang napas kasar.
Latar belakang wanita itu masih terlalu sulit untuk ia terima.
"Alika berasal dari keluarga yang berantakan, ayahnya pria baik, mungkin, tapi ibunya? Seorang wanita yang mengkhianati rumah tangganya sendiri. Tega merebut suami putrinya sendiri. Di mana moralnya? Lalu ada skandalnya dengan Terry, itu semua tak bisa aku abaikan begitu saja."
Kini, Alika sedang mengandung anak Arlan, dan bagi Widi, itu terasa seperti sebuah perangkap.
Ia menghela napas panjang, jemarinya meremas kain di pangkuannya. "Pernikahan bukan hanya soal cinta atau tanggung jawab. Itu soal kestabilan, soal kemampuan menghadapi badai yang pasti datang dalam kehidupan rumah tangga. Aku tak yakin Alika cukup kuat untuk itu."
Ia tak ingin Arlan mengulangi kesalahan seperti yang pernah terjadi dalam keluarganya dulu. "Putraku memiliki masa depan yang gemilang, jalan yang telah aku rancang dengan penuh perhitungan. Aku tak bisa membiarkan Alika menjadi bagian dari masa depan itu hanya karena sebuah kehamilan."
Matanya meredup.
Tidak, ia belum bisa merestui pernikahan ini.
***
Di Ruang Keluarga
Alika duduk di sofa dengan Adriel yang bersandar di pangkuannya. Bocah kecil itu sudah mulai mengantuk, jemarinya yang mungil mencengkeram baju Alika seakan takut terlepas. Alika membelai rambut Adriel dengan lembut, menenangkan anak itu agar tertidur dengan nyaman.
Arlan, yang duduk di seberangnya, memerhatikan pemandangan itu dalam diam. Ada sesuatu dalam cara Alika menjaga Adriel yang membuat dadanya terasa hangat. Setelah beberapa saat, ia akhirnya membuka suara.
"Alika," panggilnya pelan.
Alika menoleh, menatap Arlan yang kini bersandar lebih dekat, sorot matanya serius.
"Aku ingin tahu, seperti apa pernikahan yang kau inginkan?" tanyanya.
Alika terdiam sejenak, lalu menghela napas. Ia tidak pernah memikirkan tentang pernikahan impian seperti gadis-gadis lain. Baginya, yang terpenting adalah bisa menikah secara sah dan melindungi anak-anaknya.
"Sederhana saja," jawabnya lirih. "Tak perlu menghabiskan banyak uang. Asal kita resmi menikah secara hukum dan agama, itu sudah cukup bagiku."
Arlan menatapnya tanpa berkedip, mencoba memahami isi hati wanita di hadapannya. Ia tahu Alika bukan tipe yang suka kemewahan, tapi tetap saja, jawaban itu membuat hatinya sedikit terenyuh.
"Kau yakin?" tanyanya lagi. "Kau tidak ingin pesta atau sesuatu yang lebih spesial?"
Alika tersenyum kecil, menggeleng.
"Yang terpenting adalah kita menikah, bukan seberapa besar pesta yang kita adakan."
Arlan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang sambil tersenyum tipis.
"Baiklah," katanya. "Kalau itu yang kau inginkan, aku akan mengusahakannya. Tapi setidaknya biarkan aku menyiapkan sesuatu yang layak untukmu."
Alika menatap Arlan, melihat ketulusan di matanya. Ia tahu, pria itu ingin melakukan yang terbaik untuknya. Tapi ia hanya berharap satu hal, agar pernikahan ini bukan hanya sebuah tanggung jawab bagi Arlan, melainkan keputusan yang benar-benar ia inginkan.
Alika mengusap pelan punggung Adriel yang mulai terlelap di pangkuannya. Tatapannya masih tertuju pada Arlan yang duduk di seberangnya, tetapi pikirannya mulai melayang ke tempat lain.
Tanpa sadar, ia menghela napas panjang. Hatinya terasa berat. Pernikahan seharusnya menjadi momen bahagia, tetapi ada sesuatu yang menghantui pikirannya.
Ibunya.
Wanita yang telah mengandung, melahirkan, dan membesarkannya, meskipun pada akhirnya juga menghancurkan hatinya.
Alika menggigit bibirnya, mencoba menahan gejolak perasaan yang tiba-tiba muncul. Ia tak pernah ingin memikirkan wanita itu lagi, tetapi di saat seperti ini, bayangan sang ibu justru muncul tanpa diundang.
Arlan, yang sejak tadi memerhatikannya, mengerutkan kening.
"Kau sepertinya memikirkan sesuatu," ujarnya tenang, nada suaranya penuh perhatian.
Alika menoleh, sedikit terkejut karena Arlan bisa menangkap perubahan ekspresinya. Namun, ia tak langsung menjawab. Ada keraguan di matanya, seolah-olah ia sedang mempertimbangkan apakah harus berbicara atau tidak.
Arlan menunggu, tidak memaksa. Ia tahu Alika butuh waktu untuk mengungkapkan isi hatinya. Tetapi, ia juga tahu bahwa ada sesuatu yang membebani wanita itu.
"Apa ini tentang pernikahan kita?" tanyanya lagi, suaranya lebih lembut.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Adric jg sangat membutuhkan figur seorang ibu dan adric sangat nyaman sm alika....
Widi sangat menentang arlan menikah dgn alika krn keluarga alika berantakan..
keputusan arlan tdk bs diganggu gugat akan tetep menikahi alika....
bagas mendengar nama Arya membeku ada apakah dgn bagas dan Arya...