Panggilan Emran, sang papa yang meminta Ghani kembali ke Indonesia sebulan yang lalu ternyata untuk membicarakan perihal pernikahan yang sudah direncanakan Emran sejak lama. Ancaman Emran membuat Ghani tak bisa berkutik.
Ghani terpaksa menyembunyikan status pernikahannya dari sang kekasih.
Bagi Khalisa bukan sebuah keberuntungan bertemu dengan Ghani kembali setelah tak pernah bertukar kabar selama tujuh belas tahun.
Bisakah Khalisa bertahan dengan pernikahan tanpa cinta ini, sedang suaminya masih mencintai perempuan lain.
***
"Kamu sendiri yang membuatmu terjebak." Ghani sudah berdiri di depannya, menyalahkan semua yang terjadi pada Khalisa. "Kalau kamu tidak menyetujui lamaran Papa tidak akan terjebak seperti ini." Sangat jelas kekesalan lelaki itu ditujukan padanya.
"Kalau kamu bisa menahan Papamu untuk tidak melamarku semua ini tidak akan terjadi Gha, kamu memanfaatkanku agar masih bisa menikmati kekayaan yang Papamu berikan."
"Benar, aku akan menyiksamu dengan menjadi istriku, Kha." Suara tawa yang menyeramkan keluar dari mulut lelaki itu. Membuat Khalisa bergidik ngeri, berlari ke ranjang menyelimuti seluruh tubuh. Ghani kemudian pergi meninggalkan kamar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilawati_2393, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05
"Tom, tolong siapkan rumah kemaren. Gue gak bisa membawa Kha pulang ke rumah. Nanti Mama Papa bisa curiga." Ucap Ghani pada sepupu yang menjadi asistennya selama ini. Lelaki itu yang mengurus segala keperluannya. Termasuk rahasia hubungannya dengan Clara yang masih berlanjut.
"Sekarang di mana Kha? Lo meninggalkannya lagi?" Berang Tomi dari seberang telepon.
"Iya, dia sedang menangis di kamar. Kha menderita karena gue Tom."
"Gha, jangan terlalu sering membuatnya menangis. Kha tidak pernah meneteskan air mata saat bersama ayah ibunya."
"Bagaimana Clara Tom, dia sedang menunggu gue menikahinya."
"Ingat Gha, lo sudah menjadi suami sah Khalisa, sedang Clara bukanlah siapa-siapa. Ingat ada mama papa dan orang tua Kha yang harus lo jaga hatinya. Terlebih Kha, dia tidak bersalah. Sama seperti lo, dia juga tertekan dengan pernikahan ini."
"Siapkan dua kamar, gue akan membawanya pulang besok pagi. Tutup mulut lo dari mama papa."
"Iya."
Tomi menghela napas kasar atas kelakuan adik sepupunya yang gila itu.
"Kalau Ghani tidak bisa menjagamu, aku akan menggantikannya menjagamu Kha." Janji Tomi pada dirinya sendiri.
***
Setelah melewati tiga hari yang menyedihkan, Ghani membawanya pulang tapi tidak ke rumah orang tuanya atau mertuanya. Rumah Ghani sendiri, oh Tuhan ternyata Khalisa akan tetap menjadi orang-orangan sawah untuk Ghani. Hanya tameng bukan teman bicara atau apapun, bisa-bisa dia hanya dijadikannya pembantu di sini.
Ya Allah masak pun Khalisa tidak bisa, mana gak ada pembantu di sini. Rumahnya memang tidak terlalu besar, hanya ada dua kamar yang sudah disiapkan. Artinya dia akan tidur di kamar terpisah dengan Ghani, itu akan lebih baik untuknya.
"Gha, apa aku boleh ambil pakaian ke rumah dulu, naik taksi aja biar gak mengganggumu."
Ghani menggelengkan kepala, itu artinya lelaki itu tidak mengizinkan. Ke rumah orang tuanya pun tak boleh. Siksaan seperti apa ini, berapa lama Khalisa mampu bertahan bersama lelaki tampan itu. Mungkin semua ini agar Ghani bisa dengan cepat melepaskannya. Semoga saja, meskipun ada ketakutan menjadi janda.
Hidup sendiri lebih baik dibanding menikah tapi rasa sendiri, huhu.. Sakit sungguh sakit.
Setelah sholat isya Khalisa beranjak ke dapur mencari-cari yang bisa dimakan untuk menyelamatkan perut. Dia memutuskan untuk memasak mie instan, hanya itu yang Khalisa bisa. Dia menyalakan kompor dan mengambil panci. Tapi Ghani datang mematikan kompor yang baru saja menyala.
"Jangan menyentuh barang-barang di rumahku." Dengan kasarnya Ghani berucap.
"Ya Allah Gha, aku cuma lapar tidak mengambil barangmu apapun." Air mata Khalisa luruh mendengar Ghani membentaknya lagi. Gadis itu berlari ke kamar dan menguncinya.
"Sebegitu tidak dianggap kah aku Gha, padahal dulu kita sangat dekat, apa kamu sudah lupa padaku. Hanya kebenciankah yang ada di hatimu." Posisinya serba salah sekarang, ingin belajar jadi istri yang baik tapi tidak diterima. Dia sudah berusaha ikhlas menerima pernikahan ini. Tapi Ghani membuat usahanya jadi tidak mudah.
Ghani mengamati istrinya yang menghilang di balik pintu sambil tersenyum. Menahan senyum di depan perempuan itu lebih sulit dibanding menahan rindu pada Clara.
"Maaf Kha sudah menyakitimu seperti ini. Kamu tidak boleh kelelahan. Jangan menangis lagi."
Ghani mengambil kunci mobil lalu pergi untuk membeli makan malam untuknya dan Khalisa. Lagi-lagi dia meninggalkan Khalisa dalam keadaan menangis.
Tidak apa Kha, bersabarlah lebih baik sakit perut dari pada terus sakit hati. Khalisa bergeming dalam hati, jari lentiknya mengirim pesan pada sang sepupu, Anindi. Dia memiliki toko kue yang tidak jauh dari rumah Ghani, itu akan membuat perutnya tertolong.
Kha : Nin, aku kangen kue buatanmu bolehkah kirimkan untuk cemilanku lebih banyak.
Anindi : Akan aku kirim sekarang Kha.
Cepat sekali Anindi membalas pesannya, senyuman mengambang di bibir ranum Khalisa. Setelah mengirim alamat rumahnya Khalisa menunggu kue pesanannya datang, lumayan untuk mengganjal perut, gumamnya.
Khalisa berlari keluar rumah setelah mendapat telepon dari ojol yang mengantarkan kue dari Anindi. Setelahnya dia segera kembali ke kamar. Syukurlah Ghani tidak melihatnya, entah pergi kemana suaminya itu, rumah sangat sepi. Walau Ghani adapun rumah tetap sepi. Tak terpikir untuk bisa menghangatkan rumah ini kalau sikap Ghani saja sangat dingin padanya.
Hanya kamar ini tempat yang boleh Khalisa sentuh, selain itu tidak ada yang boleh. Yah tak apa yang penting dapat kamar tidur, walau di rumah suami sendiri tapi serasa di penjara, huuhh pilu menyayat hati.
Aktivitas mengunyah Khalisa terhenti saat terdengar suara pintu di ketuk. Ghani muncul setelah Khalisa berteriak mengatakan kalau pintu tidak dikunci.
Lelaki itu merebut brownis yang hampir habis separo di kotaknya. "Kamu makan terlalu banyak Kha, tidak baik."
"Aku lapar." Khalisa menundukkan wajahnya sendu.
"Ayo makan. Sudah kubelikan." Ghani menarik tangan Khalisa, membawanya ke meja makan. "Makanlah sampai kamu kenyang."
Khalisa menyuap nasi sambil berlinang air mata sampai nasi di piring ludes. Sakit sekali rasanya seperti ini bingung, tidak dapat berbuat apa-apa. Perkataan Ghani selalu saja menyakitkan, menusuk hati.
"Apa saja yang boleh aku lakukan di rumah ini, agar tidak melakukan kesalahan lagi?" Pertanyaan ini sudah seperti babu yang tak berani berkutik pada majikannya. Bukan tidak berani, hanya menghargai Ghani sebagai suami sampai lelaki itu menceraikannya.
"Tidak ada, kau tidak perlu melakukan apapun."
Khalisa mengangguk kemudian kembali ke kamar, nikmatilah penderitaan ini sambil tersenyum Kha. Toh minggu depan sudah mulai bekerja juga, tidak masalah bertahan beberapa hari lagi.
Ghani kembali masuk ke kamarnya dengan membawa segelas susu. "Minum susunya dulu baru tidur."
Setelah mengambil gelas yang diberikan Ghani dan membuatnya tandas segera Khalisa mengembalikan gelas kosong itu. Ada hangat yang menjalar di hati atas perhatian Ghani. Khalisa memang harus rutin minum susu dua kali sehari, karena badannya yang mudah drop.
"Terimakasih."
"Istirahatlah, aku ada di kamar sebelah." Ucap Ghani sambil menyelimuti, Khalisa tidak meminta apapun lagi karena pasti akan ditolaknya segala permintaan.
Kenapa dia jadi begitu perhatian seperti ini, kadang marah, kadang baik. Sulit diartikan atas segala sikapnya. Gha sekarang bukan orang yang dikenalnya dulu.
Saat terbangun keadaan lampu kamar mati, baterai ponselnya full, meja di kamar rapi tidak seperti saat dia mau tidur. Khalisa ingat tidak mematikan lampu, pasti Ghani yang melakukannya. Setelah selesai mandi dan sholat subuh Khalsia keluar kamar karena mencium aroma masakan yang membuat perutnya lapar.
Yaah cacing ini memberontak lagi, tak bisa diajak kompromi. Dari belakang Khalisa mengamati tangan kanan Ghani sedang memegang spatula, tangan kirinya memegang penggorengan, gerakan tangannya begitu lincah seperti sudah sangat mahir. Hampir membuat Khalisa tak percaya anak Emran yang dianggap membangkang itu ternyata punya keahlian memasak.