Berjuang dari titik terendah, Gou Long memapak jalannya sendiri di Dunia Kangow.
Dunia Kangow penuh dengan Kultivator-Kultivator yang tamak dan ingin berkuasa.
Pertarungan, perebutan, pelarian, kelicikan lawan dan berbagai macam rintangan lainnya. Pertemuan dengan orang-orang baru, pencarian akan musuh dan pembalasan dendam.
"Aku akan berdiri di Puncak Dunia Persilatan!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KidOO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB — 005
LIMA TAHUN TELAH BERLALU ....
“....”
Warung arak di Kota Xia Yu, sangat terkenal juga ramai pengunjung. Setiap pelancong selalu melepaskan penat beserta dahaga di warung itu. Selain menjual arak, warung tersebut juga menyediakan penginapan dan hiburan.
Seorang gadis cantik, dengan setelan pakaian merah merona berjalan masuk ke warung tersebut, gadis itu sangat cantik, dengan warna kulit seputih salju, bentuk wajah seperti bulan, lengkungan hidung yang mancung disempurnakan dengan raut mata yang bening bagaikan bintang timur.
Dari pakaian dan raut wajah gadis ini berkesan dari golongan bangsawan dengan sorot mata angkuh. Keangkuhannya tidak berkesan sombong, keangkuhan yang lebih bersifat menguasai.
Gadis itu berhenti sebentar, lalu melirik ke kanan dan ke kiri, dia berjalan ke pojok kanan, kemudian memilih tempat duduk di kursi dan meja kosong yang berada di dekat jendela.
“Paman pelayan! Bawakan arak terbaik, serta makanan terbaik yang kalian miliki,” teriak Murong Qiu, seraya melambaikan tangan pada pelayan.
Murong Qiu, merupakan putri pemilik kota, kepribadiannya yang ramah menutupi raut wajah angkuh, sehingga masyarakat sangat mengenal nona itu. Semenjak kecil, dia sudah mulai berlatih juga mengikuti jalan kultivator, gadis ini memang berbakat dan cerdas didukung dengan sumber daya yang melimpah. Sekarang dia berhasil melatih sampai ke tingkat kultivasi, Ranah Bumi Tahap Awal.
Memang sudah menjadi pengetahuan umum, seniman bela diri akan berhasil mengambil langkah besar bila didukung oleh bakat mumpuni, sumber daya dan artefak/senjata yang baik.
“Pesanan nona telah siap.” Pelayan itu datang tergopoh-gopoh, dengan membawakan pesanan nona tersebut, membungkuk hormat lalu mengundurkan diri.
“Terima kasih!” ucap Nona Murong, sambil tersenyum kecil. Dia mengabaikan semua pendatang ke warung itu, kemudian Murong Qiu mulai menikmati hidangannya.
Beberapa tarikan nafas kemudian ... dua orang tamu laki laki memasuki warung tersebut. Roman mereka garang dan bengis, cambang bauk yang menyatu dengan jenggot tebal, hidung besar beserta mata yang menyorotkan kekejaman.
Yang berjalan di depan, tampak seperti pemimpin, dengan codet besar di pipi kanannya sedikit menambah kegarangan. Mengikuti di belakang, lebih seperti kingkong besar, mulutnya mengembung, rahang gigi sedikit maju ke depan serta ditutupi dengan kumis dan jenggot.
Mereka berdua memakai setelan ungu kehitam-hitaman disertai lambang tengkorak kecil di dada. Masing-masing menggantung pedang di pinggang tanpa menyembunyikan, pakaian mereka yang sedikit lusuh menandakan baru bepergian jauh.
Mata keduanya bersinar, ketika melihat Murong Qiu yang duduk sendirian di sudut kanan warung. Keduanya saling tatap lalu menyunggingkan seringai setan, seakan-akan hati mereka telah bersepakat.
Dengan tatapan nakal sambil tertawa-tawa keduanya berjalan ke meja Murong Qiu.
Suara yang kasar dan serak terdengar. “Nona cantik! ... Biarkan kami menemani makan minum mu, kami jamin bisa memuaskan mu,” ujar si Kingkong Besar, sambil tertawa terbahak-bahak.
Murong Qiu yang sedang asik makan, mengangkat wajah kemudian dia berkata, “Aneh, warung ini biasanya bersih, entah lalat mana yang diterbangkan angin hari ini, membuatku jadi tidak berselera untuk melanjutkan makan.” Dia langsung berhenti dari makan minum.
Kedua pendatang itu sangat geram dan marah, mereka terbiasa berlaku kejam dan sewenang-wenang, salah satunya yang memang berangasan langsung memukul meja dengan keras. Makanan di atas meja berhamburan, sebagian menimpa pakaian dari gadis itu.
Para pengunjung warung yang melihat konflik tersebut bergegas keluar, lalu meninggalkan warung, tidak mau terlibat pertikaian antara ketiganya. Dalam sekejap, warung itu menjadi sepi dan hanya menyisakan beberapa pengunjung saja.
Di pojok sebelah kiri paling ujung, duduk dengan tenang seorang pemuda dengan setelan baju berwarna putih sederhana yang masih menikmati makanan dengan lahap.
Dua meja di depannya, duduk seorang kakek tua dengan setelan pakaian biru yang ditutupi dengan jubah warna ungu. Bersama kakek, itu turut duduk seorang gadis kecil berpakaian merah, sekilas pandang semua orang akan tahu, bahwa itu kakek bersama cucunya. Keduanya asik sendiri, juga tampak acuh tak acuh terhadap pertikaian itu.
Di pojok ujung dekat meja kasir, duduk berhadapan dua orang pria paruh baya yang tampak gagah. Keduanya memakai pakaian ringkas, pakaian tanpa lengan khas para pemburu. Mereka duduk sambil mengetuk-ngetuk meja, sesekali melirik ke arah si gadis yang sedang bertikai dengan kedua pendatang beringas tersebut.
Senyuman di wajah Murong Qiu menghilang, wajahnya memerah menahan amarah. Dengan menampilkan kepercayaan diri yang tinggi, acuh tak acuh dia berkata, “Lalat yang tak mengenal tingginya gunung berhentilah sebelum menyesal.”
Mendengar kata-kata itu, si Kingkong Besar yang memang tidak bisa mengontrol emosi, langsung menyerang Murong Qiu, dia tidak menggunakan tenaga dalam. Pukulan itu lebih seperti ejekan dan juga takut merusak kulit halus gadis tersebut.
Murong Qiu, memang tidak suka memberi belas kasihan pada orang-orang yang tanpa sebab tanpa masalah mencari perkara dengannya, membalas dengan keras. Tenaga dalam dikeluarkan sampai setengahnya.
Si Kingkong Besar yang menyadari itu, menyesal tidak menggunakan tenaga dalam, tapi terlambat sudah. “Baaaam! Bruuuk!” Suara benturan juga patahan kursi dan meja terdengar.
Dia terlempar ke belakang, menghancurkan meja dan kursi yang ada di belakangnya. Darah menetes di sudut bibir pria itu karena terkena hantaman tenaga dalam dan juga tanpa perlindungan sehingga merusak organ dalam.
Pemilik warung yang sudah sejak tadi gemetaran, dalam hati berkata, “Rugi besar hari ini.”
Pemimpinnya yang bercodet mengerutkan dahi, wajah hitam membesi, kemarahan tak dapat ditahan lagi, marah akan kecerobohan pengikutnya, marah karena pengikutnya tumbang dalam satu pukulan.
Mereka berdua memang terkenal dengan Sepasang Iblis Tengkorak. Setiap lawan yang terkena pukulan mereka menyusut, hanya menyisakan tulang dan tengkorak.
Selama ini mereka belum pernah bertemu lawan yang lebih kuat dari mereka, alasannya mudah, karena mereka tidak malu mengeroyok setiap lawan-lawan mereka.
Apalagi, dengan tingkat kultivasi Ranah Bumi Tahap Menengah, tindakan mereka semakin menjadi-jadi. Di Kota Xia Yu khususnya, sangat jarang ditemui kultivator yang berhasil promosi ke Ranah Langit.
Kultivator yang berhasil mencapai tingkat kultivasi Ranah Bumi Tahap Puncak bisa dihitung jari, salah satunya ayah dari Murong Qiu atau Sang Penguasa Kota, Murong Sun.
Dalam kemarahannya, si Codet melemparkan pil penyembuh ke arah si Kingkong Besar, kemudian dia menatap ke arah Murong Qiu seraya berkata, “Gadis sialan! Bersiaplah untuk mampus! ....”
Dia mengeluarkan pedangnya kemudian langsung menusuk ke arah perut Murong Qiu, tusukan yang keji juga ganas. Niatnya, dengan sekali tusuk langsung membuat lawan tidak berdaya.
Murong Qiu yang telah bersiap sejak awal langsung berkelit lalu menangkis dengan pedang. Gadis ini selain telah berkultivasi ke Ranah Bumi Tahap Awal, dia juga berhasil meyakinkan Ilmu Pedang Hujan Embun.
Ketika menangkis, dia langsung membalas dengan tusukan-tusukan ke arah tujuh titik mematikan, tusukan itu membuat si Codet kewalahan menangkis.
Dia mengempos tenaga dalamnya, sekali ayunan dia berhasil menangkis semua tusukan dari Murong Qiu. Pengalaman bertarung yang lebih banyak, tenaga dalam yang lebih unggul satu tahap, menguntungkan si Codet.
Pertarungan pun terus berlanjut sampai seperempat jam. Bulir-bulir keringat sudah menetes di dahi Murong Qiu, nafasnya masih teratur, lawannya juga begitu.
Si Kingkong Besar yang sudah mulai membaik, bersiap-siap agar bisa ikut mengeroyok. Mereka tidak malu, apa pun akan dilakukan asal menang.
Kedua pria yang berpakaian pemburu yang sejak tadi melirik pertarungan itu, akan ikut terjun ke pertarungan jika si Kingkong Besar berani mengeroyok. Mereka tidak lain daripada para pengawal-pengawal kota yang sengaja berpakaian tidak formal. Penguasa Kota sangat menyayangi putri kecilnya, sehingga dia mengirim pengawal secara rahasia tanpa diketahui anak gadis itu.
Pengawal-pengawal ini sangat kuat, kultivasi mereka setingkat dengan si gadis.
Sebelum si Kingkong Besar dan pengawal-pengawal kota ikut terjun, dua potong tulang ayam meluncur deras dan mengetuk tepat di tengah-tengah badan pedang Murong Qiu dan si Muka Codet. Yang menandakan tenaga dalam si Pelempar telah mencapai puncaknya.
Untuk sesaat, pertarungan terhenti, keduanya memalingkan wajah ke arah luncuran tulang ayam. Murong Qiu hanya diam, dan memperlihatkan kerutan di dahi yang menyatukan kedua bulu keningnya.
Si Muka Codet yang berangasan berteriak, “Bocah! kau punya sembilan nyawa? Berani mengganggu kesenanganku!”
Semua pengunjung warung yang belum beranjak juga ikut memalingkan wajah ke arah sudut kiri warung itu.
Terima kasih ini saah satu novel yang baik.
/Facepalm/