Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Can We? Episode 33.
...« Empat sekawan berkumpul lagi »...
Sesuai arahan si kecil, Gavan duduk di kafe bagian out door. Sedangkan Arasya dan teman-temannya berada di bagian dalam. Saling bertukar cerita setelah hampir sebulan mereka tidak bertemu.
Arasya yang duduk menghadap luar bisa leluasa melihat Gavan. Lelaki tersebut ternyata sudah fokus pada tablet yang dibawanya, sama sekali tidak terganggu dengan suasana sekitar. Setelah memastikan bahwa Gavan sudah nyaman di sana, Arasya kembali pada obrolan teman-temannya.
“Kamu masih inget sama Dayon gak, Ra?” Voni mengajukan pertanyaan, dan dua teman lainnya langsung menatap Arasya. Menunggu jawaban dari si empunya dengan tidak sabar.
“Inget kok. Aku gak ketemu dia lagi setelah hari itu. Emangnya kenapa?” Jawab Arasya yang membuat teman-temannya berseru kecewa. Tidak ada yang menarik dari sudut pandang Arasya.
“Kata kamu dia ganteng, kenapa gak tukar nomer waktu itu? Siapa tahu Dayon jodohmu kan, Ra.” Kata Dina yang asal bicara.
Meskipun tidak tahu apakah hal tersebut adalah benar, Voni mengangguk setuju. “Kayaknya emang jodoh sih. Soalnya kemarin aku lihat dia di rumahnya, aku sapa eh kita keterusan ngobrolnya. Dan kalian tahu? Setelah selesai ngobrol, dia minta nomer Arasya. Gimana nih, Ra? Aku belum kasih karena aku harus minta persetujuan kamu dulu.” Ocehnya panjang. Beralih lagi menunggu jawaban si pemeran utama.
“Ya gapapa, kasih aja.” Jawab Arasya santai. Membuat ketiga temannya berseru, tidak kuat menahan kepolosan Arasya yang kelewatan itu.
“Terus gimana villa Mas Gavan, Ra?” Elsa kembali melancarkan aksi keingintahuannya dengan mengganti topik.
Arasya menepuk keningnya. “Aku lupa. Aku gak pernah tanyain villanya ke Mas Gavan habis hari itu.” Ia bahkan sampai melupakan hal tersebut saking banyaknya kejadian yang menimpa Arasya baru-baru ini.
“Tanyain pas pulang nanti, Ra. Siapa tahu kita diundang tumpengan ke sana, ‘kan.” Ujar Voni yang mengundang tatapan sinis dari Dina.
“Makan siang kita pindah tempat, ya.” Usul Dina yang diangguki teman-temannya.
Mereka melanjutkan obrolan ringan sampai waktu menunjukkan siang hari. Sesuai kesepakatan, mereka akan berpindah tempat menuju sebuah restoran untuk makan siang. Dan setelahnya menuju ke salah satu rumah dari mereka untuk bersantai sampai malam, hanya saja masih belum diputuskan di mana mereka akan berakhir.
“Mas.” Panggil Arasya lirih. Menunggu Gavan menyelesaikan sambungan teleponnya.
“Adek, masih di sini, ‘kan? Nanti kalau udah selesai, kamu telpon Mas, ya. Sekarang Mas di ajak makan siang sama Kak Kaya. Mas pergi dulu, ya.” Saat Gavan mulai berbicara, ajakan yang tadinya akan Arasya ungkapkan tertelan habis ke tenggorokan.
Arasya mengangguk sambil menatap Gavan yang sibuk membereskan barang-barang bawaan. “Iya. Hati-hati.” Ujarnya tidak sesuai niat awal.
“Ini, pakai ini buat jajan. Beliin yang lain juga kalau masih lapar.” Gavan menyerahkan sebuah kartu berwarna hitam.
“Enggak. Aku gak beli apa-apa kok. Udah sana, ditungguin sama Kak Kaya, ‘kan.” Tolak Arasya sambil mendorong uluran tangan Gavan.
Gavan tidak mengindahkan tolakan tersebut. Ia secara paksa menaruh kartunya ke dalam tas kecil Arasya. Setelah melewati debat kecil, akhirnya Arasya menyerah. Gavan pun pamit pada si kecil dan pergi dari cafe tersebut. Meninggalkan Arasya bersama nyeri di dadanya.
“Lah, kok Mas Gavan pergi, Ra?” Voni muncul entah dari mana. Membuyarkan lamunan Arasya yang hampir meratapi sakitnya.
“Oh ...” Arasya menggaruk bagian pipinya. “Naik taxi aja, yuk. Aku dikasih kartu atm Mas, disuruh traktir kalian makan sekalian.”
Voni yang sempat keheranan langsung berubah kegirangan saat traktiran menjemput di depan mata. “Oke deh, yuk!” ajaknya bersemangat.
Mereka yang awalnya akan menumpang pada mobil Gavan akhirnya berubah haluan. Termasuk Arasya yang ikut serta menaiki taxi online menuju tempat selanjutnya.
Sesampainya di sana, Arasya dan teman-temannya memesan banyak menu makan siang tanpa malu-malu. Tidak ada kata sungkan karena si pemilik kartu yang membiayai tak ada di sekitar mereka.
“Ini beneran ‘kan, Ra? Jangan ditarik lagi, ya. Kita terlanjur pesen banyak makanan. Dompetku gak kuat nanggungnya kalau kamu tiba-tiba berubah pikiran. ” Voni tak bisa menutup mulutnya barang sejenak. Seperti sengaja agar Arasya tidak memikirkan sesuatu yang membuat temannya itu melamun.
Arasya mengangguk sambil tersenyum. “Enggak kok, tenang aja. Gak mungkin aku tarik lagi, aku juga gak punya uang buat bayar makan sebanyak itu. Yang penting ada ini. Jadi, aman-aman aja.” Katanya sambil mengayunkan kartu hitam milik Gavan.
Meja yang mereka pilih adalah meja bundar, memperlancar mereka untuk mengobrol dari segala penjuru. Lebih tepatnya melanjutkan acara gosip yang kebanyakan tidak terlalu penting itu. Namun membuat masing-masing dari mereka seperti mendapat informasi yang mencengangkan.
“Lah ...” Elsa menunjuk ke arah depan restoran. Menampilkan sosok familiar sedang melangkah masuk ke area restoran.
“Eh? Bukannya itu Mas Gavan? Sama siapa tuh? Kok sama cewek, Ra?” Dina menyipitkan matanya demi bisa melihat jelas siluet yang ditunjuk Elsa itu.
“Ra!” Voni menepuk pundak Arasya. “Jangan bilang itu pacar Mas Gavan?!”
Arasya kembali menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan dari Voni. Dan reaksi ketiganya sama-sama terkejut sambil tetap mengawasi pergerakan Gavan dan perempuan itu. “Itu Kak Fikaya. Gak tahu udah pacaran atau belum, tapi mereka lagi deket.” Jelas Arasya.
“Tapi kok kamu biasa aja, Ra?”
Arasya menatap Elsa dengan ekspresi bingung. “Maksudnya? Emang aku harus gimana?”
“Ya sapa atuh, Ra. Dia ‘kan calon Kakak Ipar kamu. Apalagi di sana ada Mas Gavan juga. Sekalian kita bilang makasih.”
Dina langsung mencengkeram tangan Voni agar tidak melakukan tindakan yang belum memiliki izin dari Arasya. Memang temannya ini tidak peka sama sekali. Ia saja yang hanya sekilas melihat raut Arasya, sudah paham betul bahwa Arasya sedang tidak nyaman.
“Anu ... Aku sedikit gak ... Eh, belum deket sama Kak Fikaya.” Jawaban gagap Arasya membuat Dina, Voni, dan Elsa saling bersitatap.
“Kamu cemburu, Ra?” celetuk Elsa yang dihadiahi tepukan oleh Dina. Menegur mulut Elsa yang terlalu blak-blakan dan tidak disaring.
“Wajar itu mah, El. Coba bayangin Masmu punya pacar, emang kamu bisa langsung deket sama pacar Masmu? Canggung tahu. Aku dulu sama pacarnya Kak Lina juga gitu!” bela Dina.
Arasya lamat-lamat menatap Dina, kemudian beralih pada Elsa. “Aku enggak canggung, Din. Aku juga enggak cemburu, El. Cuma, kalau aku ketemu mereka berdua aku pilih diem aja. Dan semisal aku diajak mereka jalan-jalan lagi, aku bakal tolak.”
“Lagi? Jadi kamu pernah jalan-jalan sama mereka? Aku tebak, kamu pasti jadi obat nyamuk ya? Makanya kamu gak bisa deket sama pacar Mas Gavan, soalnya mereka berdua sibuk sendiri.” Tebakan Voni benar-benar menampar tepat di ulu hati Arasya.
“Iya. Aku sempet bingung. Mereka beda, gak kayak Mas Devan sama Kak Sena pas ngajak aku jalan bertiga. Aku gak pernah ada di posisi kayak yang kamu bilang, Von. Gapapa ‘kan aku gak deket sama pacar Mas Gavan?”
......« Terima kasih sudah membaca »......