Can We?

Can We?

Can We? Episode 01.

...« Masa iya itu canggung? »...

Semua gosip sudah melewati telinga kiri menuju telinga kanan milik Arasya Bianalika, seorang gadis berumur duapuluh tahun. Tidak dipungkiri jika ia merasa risih meskipun gosip yang di bahas itu bukan tentangnya. Memang sebuah kesalahan besar bagi Arasya karena bergabung ke dalam grup besar komplek perumahannya, yang diisi ibu-ibu biang gosip tempo lalu.

“Dek, mau ke mana?”

Arasya yang fokus pada ponselnya segera mendongak, menatap ke arah samping di mana tetangganya sedang membersihkan motor.

Arasya berdeham membasahi tenggorokannya sebelum menjawab. “Mau jalan.” Ia menjawab sekenanya.

“Sama siapa? Mas anterin aja.”

Siulan terdengar menyusul setelah pria itu bergegas masuk ke rumah. Tanpa mendengar terlebih dahulu jawaban yang di berikan oleh si empunya.

“Mau ke mana, Dek? Tumben banget keluar rumah.”

Arasya mengerucutkan bibirnya saat pria lain keluar dari rumah bersama seorang wanita. Pria tersebut adalah adik dari pria sebelumnya, sedang wanita yang tersenyum ke arahnya sembari melambaikan tangan adalah istrinya.

“Kalian mau kemana? Nebeng aja deh aku. Malu ih sama Mas Gavan.” Bisik Arasya pada keduanya.

“Jangan lupa kamu masih kecil sering minta di gendong Mas Gavan ya, Dek Ara. Sekarang boro-boro, di sapa aja langsung kabur. Ngapain dah.” Ujar Devan Janala sembari menggelengkan kepalanya, lalu membuka pintu mobil depan miliknya agar sang istri masuk terlebih dahulu.

“Iya lho, Dek. Mas Gavan masuk mau siap-siap nganterin kamu. Kok malah kamunya nebeng kita. Di tunggu aja ya, Dek? Gapapa ih, Mas Gavan gak gigit kayak Mas Devan kok.” Ucap Senaza Qioriva.

Wanita tersebut tertawa geli saat pipinya di cubit pelan oleh sang suami. Membuat Arasya mendengus sebal melihat adegan romansa di depan matanya.

“Kamu ada jaket gak, Dek?” Gavan Janala-- keluar dari rumah secara terburu-buru dengan membawa sebuah jaket hitam dan dua helm.

“Tujuannya ke mana, Dek? Jauh gak? Ini pake dulu kalau jauh.” Tanya Gavan bertubi-tubi.

Halaman antara rumah Arasya dan rumah keluarga Janala memang tidak memiliki batas. Hanya ada tugu besar di depan yang memisahkan gerbang milik Arasya dan keluarga Janala.

“Eh, anu---” belum sempat Arasya menolak, Gavan sudah lebih dulu memakaikan jaket hitam tersebut padanya.

“Udah sih, Dek. Nurut aja sama orang tua.” Goda Devan yang masih di samping mobil, sepertinya masih enggan meninggalkan pertunjukan gratis didepannya.

“Ayo, lewat sini aja.” Gavan dengan cekatan menarik Arasya untuk mendekat ke arah motornya. Mencoba untuk diam di tengah-tengah perdebatan antara adiknya dan Arasya.

Gavan tanpa kesusahan memakaikan helm untuk Arasya, tentu setelah merapikan anak rambut gadis itu agar tidak mengganggu mata.

“Wah, Mas Gavan, gawat. Lihat tuh adeknya ampe kayak patung. Kaku amat.” Devan lagi-lagi meluncurkan kalimat godaan.

Arasya hampir akan membela diri sebelum Gavan mendahului.

“Kamu mending berangkat sana deh. Adek jadi takut kalau kamu gitu.” Peringat Gavan yang langsung diberi hormat oleh Devan.

“Siap laksanakan.” Tentu ada rasa ketar-ketir yang hinggap, karena itulah Devan segera berlari kecil memasuki mobilnya.

“Ayo naik.” Ajak Gavan pada Arasya. Ia sudah siap mengendarai motor maticnya untuk mengantar tetangganya itu.

Arasya masih tidak banyak bicara. Menaiki jok belakang kemudian melingkarkan tangannya ke perut Gavan, berpegangan.

“Duluan Kak Sena!” pamit Arasya kelewat riang, seperti mengejek Devan yang sengaja tidak disebutnya.

“WAH, AWAS KAMU DEK!” teriak Devan saat Arasya menjulurkan lidah ke arahnya, mengejek.

Lalu motor yang dikendarai Gavan lebih dulu keluar dari halaman rumah. Gavan hanya menggelengkan kepalanya mendengar teriakan Devan. Seperti bocah saja.

“Ke mana ini, Dek?” tanya Gavan.

Arasya mendekatkan dirinya ke bagian belakang tubuh Gavan. “Ke perpustakaan aja, Mas.”

“Mau ke mana? Mas anterin sampe tujuan.”

Arasya meneguk ludahnya. “Kejauhan kalau Mas anter nanti. Yang lain udah nunggu di perpus kota kok, aku nebeng mereka aja.”

“Mas anterin ya, Dek.” Pinta Gavan mengalun lembut.

Terdengar tidak bisa di bantah, membuat Arasya menghela nafas. “Mau ke pantai kuning itu lho. Tapi beneran ya, aku gak maksa Mas Gavan anterin aku sampai ke sana.”

Suara cempreng Arasya terdengar lucu di telinga Gavan, sehingga ia hanya menanggapi Arasya dengan anggukan dan tawa kecil.

Sampailah keduanya di parkiran perpustakaan kota yang terbilang sangat luas itu. Arasya melambai pada temannya yang juga ikut melambaikan tangan menyambut.

Arasya buru-buru turun dari motor dan mendekati teman-temannya. “Dina, aku gak jadi nebeng kamu, ya. Soalnya Masku maksa nganterin.”

“Eh, aku udah chat kamu tadi, Ra. Aku juga bilang gak bisa nebengin soalnya Kakakku juga maksa ikut.” Dina menunjuk ke belakang dimana ada satu wanita asing tersenyum ke arahnya.

“Halo, Kakak. Aku Arasya, temen Dina.” Arasya mencium tangan kakak dari temannya itu, salim.

“Halo, Arasya. Aku Lina, maaf ya tiba-tiba minta ikut. Kamu gak keberatankan?”

Arasya menggeleng brutal. “Gapapa, Kak! Justru kalo rame-rame malah seru.”

Elsa dan Voni, teman yang lain tertawa kecil melihat aksi Arasya. “Arasya sempet takut kita ajakin ke pantai, Kak Lin. Biasalah, anak rumahan.”

“Eh, tapi itu beneran Masmu, Ra?” Dina bertanya-tanya.

“Iya, tetanggaku itu lho. Yang biasanya main motor atau gak lagi siram tanaman pas kalian ke rumahku.” Jelas Ara sembari menoleh sekilas ke arah Gavan, memastikan.

“Yaudah, yuk. Keburu siang nanti.” Ajak Arasya, tidak enak membuat Gavan menunggu.

Mereka bersiap dengan motor masing-masing. Yang awalnya hanya berempat, kini menjadi berenam. Arasya yang sempat menolak ajakan tersebut kini menjadi semangat. Ini adalah pertama kalinya ia pergi bersama teman-temannya ke tempat yang jauh.

“Mas, maaf nunggu. Beneran ya Mas anter aku sampai ke sana? Nanti gak ditinggal, 'kan? Soalnya temenku ternyata ngajak Kakaknya.”

Arasya naik ke motor lagi, kembali pada posisinya. “Sampe di sana aku beliin es kelapa deh, ya?”

Gavan tertawa kecil, menarik gas motornya perlahan mengikuti rombongan teman Arasya. “Iya, Adek.”

Lalu keduanya hanya diam selama perjalanan. Rasa canggung muncul ke permukaan, bingung juga harus berbicara apalagi. Arasya memilih bungkam saja.

“Dek, peluk Mas. Kenceng lho ini anginnya.”

Arasya buru-buru menuruti perintah Gavan, saking senangnya ia melupakan peraturan tidak tertulis itu saat dibonceng.

Dua jam sudah mereka berliuk-liuk di jalanan, membelah lautan kendaraan dan kemacetan. Arasya menghela nafas lelah, punggung dan bokongnya pegal sekali. Ternyata pergi ke pantai dengan motor sangat menyiksa.

“Capek?” tanya Gavan yang diangguki Arasya.

Pria tersebut hanya tersenyum menanggapi, lalu sibuk melepas helm dan jaket yang di pakai Arasya. Kemudian memasukkannya ke jok motor.

“Halo, Mas. Aku temen Arasya, Dina. Ini Kakakku, Lina.”

Dina yang sudah selesai dengan perlengkapan berkendara segera menghampiri Arasya dan Gavan. Berkenalan.

“Oh iya, saya Gavan. Salam kenal, ya.”

“Saya Elsa, dan ini Voni, Mas.”

Keempat orang itu menjabat tangan Gavan bergantian. “Maaf ya ganggu kalian, nanti saya agak menjauh kok. Tenang aja.”

“Eh, gak perlu, Mas. Gak enak lah. Mending ikut aja, kita udah sewa tempat buat piknik soalnya.”

“Oh, iya! Aku beli dulu deh makanannya, kalian duluan aja.” Arasya yang tersadar jika mendapat bagian untuk membeli makanan langsung berbicara.

“Mas ikut, Dek.”

...« Terima kasih sudah membaca »...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!