Greyna Joivandex, gadis berusia 18 tahun, dipaksa menikah dengan Sebastian Ferederick, direktur kaya berusia 28 tahun, oleh ibunya. Pernikahan yang terpaksa ini membawa Greyna ke dalam dunia yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dengan kekayaan dan kekuasaan yang melimpah, Sebastian tampaknya memiliki segalanya, tetapi di balik penampilannya yang sempurna, terdapat rahasia dan konflik yang dapat menghancurkan pernikahan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ameliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pura-pura amnesia?
"Kinnn.....ayolah," rengek gadis itu sambil bergelayut manja di lengannya.
"Enggak, udah cukup," ucap Kin dengan nada tegas. "Lo pikir kecelakaan kedua kalinya lo bakal selamat? Lo enggak kapok-kapok ngeprank malaikat maut ya."
Gadis itu memandang Kin dengan mata yang berkilauan. "Asal lo tau, waktu lo kecelakaan, nyawa kita semua mau kecabut, tau enggak?" ucap Kin, menatapnya dengan serius. "Mana pura-pura amnesia lagi, mau lo apa dah?" Kin menggelengkan kepalanya, bingung.
"Gue pengen balikan sama suami gue, anjir itu doang," ucap gadis itu dengan nada yang sedikit manja.
Kin menjitak dahi gadis itu. "Sadar, sadar. Dari awal tindakan lo udah salah. Pokoknya lo enggak akan boleh ikutan balapan lagi. Ngeri gue," ucapnya sambil merinding.
"Ah, katanya lo abang gue, masa gini aja gue enggak diizinin," ucap gadis itu, duduk di ban bekas yang dijadikan sebagai kursi.
"Justru itu karena gue udah nganggep lo adik gue, maka dari itu lo harus berhenti buat balapan," ucap Kin dengan nada yang tegas. "Kalo nonton gue izinin, tapi kalo ikut balapan... BIG NO."
"Sayang, Papa pulang!" teriak Xander saat masuk ke dalam rumah, dengan suara yang ceria dan penuh semangat.
"Papa!!!!" teriak ketiga putri kembarnya, dengan suara yang sama cerianya, dan berlari menuju Xander untuk memeluknya.
"Ohhhh, anak Papa, berikan Papa pelukan, untuk mengisi tenaga," ucap Xander sambil berjongkok dan merentangkan kedua tangannya, dengan senyum yang hangat dan penuh kasih sayang.
Ketiga putri kecilnya memeluknya dengan hangat, dan Xander merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan dan kepuasan. Inilah keluarga yang Xander punya, yang selalu membuatnya ingin pulang ke rumah untuk menemui ketiga anaknya.
"Sayang, kemarilah!" teriak Friska, yang berada di dapur, dengan suara yang ramah dan mengundang.
Xander melepas pelukannya dan berkata, "Ayo, pergi lihat Mamy!" sambil mengandeng tangan mungil anaknya.
"Sayang, duduklah dengan rapi di kursi masing-masing, oke?" pinta Friska, yang dituruti oleh ketiga anaknya dengan patuh dan ceria.
"Sayang, duduklah dengan rapi di kursi masing-masing, oke?" pinta Friska, yang dituruti oleh ketiga anaknya yang berusia 4 tahun dengan patuh dan ceria.
Violet, Rose, dan Lily duduk dengan rapi, menikmati pancake yang hangat dan lezat. Xander menatap mereka dengan senyum yang hangat dan penuh kasih sayang.
"Violet, Rose, Lily, makan dengan pelan, Sayang. Nanti kalian tersedak," ucap Xander, menatap ketiganya dengan mata yang penuh perhatian.
"Ini, minumlah," ucap Friska, menyerahkan segelas Teh hijau kepada Xander. Ia memijat bahu dan kepala Xander secara bergantian, membuat Xander merasa santai dan nyaman.
"Terima kasih, Sayang," ucap Xander, memejamkan matanya dan menikmati pijatan istrinya.
"Mamy, aku juga mau," ucap Rose, segera memijat lengan besar Xander dengan tangan mungilnya.
"Ahh, baiknya anak Papa," ucap Xander, mengelus rambut Rose dengan lembut.
Violet dan Lily menatap satu sama lain, lalu ikut juga memijat Xander dengan tangan mungil mereka. Xander merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan dan kepuasan rasa lelahnya hilang seketika, melihat ketiga anaknya yang ceria dan penuh kasih sayang.
Inilah alasan kenapa Xander bertahan bekerja dengan Tian, demi memanjakan mereka berempat. Sebenarnya, pekerjaannya tidak sulit, tetapi Tian lah yang mempersulit, karena jika ada pekerjaan kantor, semua akan diserahkan kepada Xander jika Tian sedang tidak mood bekerja.
Namun, ada satu hal baik, gajinya yang tidak pernah kurang, apa lagi dipotong. Xander merasa bersyukur memiliki pekerjaan yang stabil dan memungkinkannya untuk memanjakan keluarganya.
"Grey," suara asing itu memanggilnya dari dapur, membuat Grey terdiam di tempat.
"Anjir, mampus gue," batin Grey memainkan kukunya.
"Sini, sayang," suara itu memanggilnya lagi, membuat Grey dengan takut mendekat ke dapur.
Ia melihat rambut dan baju Tian yang acak-acakan, dan wajahnya yang terlihat lelah.
"Kenapa kamu pulangnya larut banget?" tanya Tian, mencoba menyembunyikan rasa khawatirnya.
Tian menarik Grey dan segera memeluk pinggangnya, ia butuh sandaran untuk saat ini.
Grey hanya diam sambil mengelus rambut Tian, merasa tidak tahu apa yang harus dikatakan.
"Masalahnya berat ya?" ucap Grey sambil menarik wajah Tian agar menatap dirinya.
Tian mengangguk dengan wajah lelah seperti belum tidur satu hari, kantong matanya terlihat menghitam.
"Yaudah, ayo ke atas," ucap Grey, memapah Tian ke kamar atas.
Tian tidak mengucapkan apa-apa, hanya membiarkan dirinya dipapah oleh Grey, merasa lelah dan tidak berdaya.
Setelah membaringkan Tian, Grey segera melepas jas dan sepatunya satu persatu "Udah makan?" tanya Grey, melepas dasi Tian dengan lembut.
"Enggak, aku mau langsung tidur aja," kata Tian tanpa membuka matanya, suaranya lelah.
"Yaudah, good night Sayang," ucap Grey, mencium kening Tian dengan lembut. "Aku mau bersih-bersih dulu."
Grey membawa handuk ke kamar mandi dan menyalakan shower. Air hangat mengguyur tubuhnya, membuatnya merasa segar dan rileks.
"Aghhh, seharian ini aku udah luntang-lanting kemana-mana," kata Grey, menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan.
Hari itu adalah hari Minggu, dan Grey bangun pagi untuk membuat sarapan sederhana. Setelah membuat sarapan, Grey kembali ke kamar dan tidak menemukan keberadaan Tian.
"Kemana lagi tuh orang? Mandi kah?" Grey mengambil baju ganti lalu pergi mandi di kamar lain.
Tian turun dari tangga dan melihat makanan yang tertata rapi di meja makan. Ia melihat sekeliling mencari istrinya.
"Kemana dia?" ucap Tian, menggaruk dahinya dengan bingung.
Tian melihat catatan yang menempel di dinding. "Suamiku tercinta, sarapan aja duluan, kalo nunggu aku keburu laper ^^"
Tian terkekeh melihat isi catatan itu, lalu segera duduk dan memakan sarapannya. Tidak lama, Grey datang dengan baju olahraganya, ikut duduk di depan Tian.
"Pagi sayang," sapa Grey dengan senyum manis, membuat matanya tertutup saat tersenyum.
"Pagi juga sayang, mau kemana?" tanya Tian.
"Oh, ini aku janjian sama temen kuliah aku hari ini mau ngegym, mau ikut?" tawar Grey.
Tian menggeleng. "Enggak, aku dirumah aja, ada beberapa urusan yang harus diselesaikan." Grey mengangguk mengerti, memakan makanannya dengan santai.
"Rey, enggak seru lo ah," omel Belva yang sedang berjalan di atas treadmill. "Katanya mau ngegym, malah ngadem."
"Tau tuhhh," tambah El yang sedang melakukan pull-up di bar latihan.
Grey dengan tatapan malas menatap keduanya. "Kan kalian yang ngajak, gue mah maunya cuci mata doang," ucapnya sambil memainkan barbel 1kg itu. "Eh malah lo booking, enggak semangat gue."
Belva menggelengkan kepalanya. "Lah, bener-bener dah."
Tiga jam berlalu, mereka sudah selesai bergelut dengan macam-macam latihan untuk tubuhnya. Mereka semua merasa lelah, tetapi puas dengan hasil latihan keduanya.
"Belva, bagi sampo!" teriak El dari kamar mandi sebelah.
Belva tertawa dan melempar sampo dari atas. sampo itu mendarat di kepala El dengan suara "thud" yang keras.
"Ih, enggak sopan lo! Untung samponya plastik, coba kalo botol, udah geger otak gue!" ucap El manut-manut sambil mengusap sampo yang menempel di kepalanya.
Belva tertawa keras dan mengatakan, "Haha, dasar kismin sampo aja enggak punya!"
"Enak aja ngatain gue kismin, lo belum pernah naik komodo kan?" ucap El dengan nada yang sedikit kesal. "Kapan-kapan gue bawa lo ke pulau punya gue biar lo tau seberapa kaya gue."
Belva menggelengkan kepalanya dan mengatakan, "Yahhh, lo El, enggak bisa di ajak bercanda."
Grey yang sedang menunggu mereka di luar hanya memutar bola matanya dengan malas. Ia telah menunggu selama beberapa menit dan mulai merasa bosan.
"Kapan mereka selesai?" gumam Grey pada dirinya sendiri. Ia melihat jam tangannya untuk kesekian kalinya dan menghela napas dengan sabar.
semangat
Kalo berkenan boleh singgah ke "Pesan Masa Lalu" dan berikan ulasan di sana🤩