Cerita ini mengisahkan sepasang suami isteri yang sudah dua tahun lamanya menikah namun tidak kunjung diberikan momongan.
Mereka adalah Ayana dan Zulfahmi.
Namun karena desakan sang ibu yang sudah sangat mendambakan seorang cucu dari keturunan anak lelakinya, akhirnya sang ibu menyarankan untuk menjodohkan Fahmi oleh anak dari sahabat lamanya yang memiliki anak bernama Sarah agar bisa berpoligami untuk menjadi isteri keduanya
Rencana poligami menimbulkan pro dan kontra antara banyak pihak.
Terutama bagi Ayana dan Fahmi sendiri.
Ayana yang notabenenya anak yatim piatu dan tidak memiliki saudara sama sekali, harus berbesar hati dengan rencana yang mampu mengguncangkan jiwanya yang ia rasakan seorang diri.
Bagaimanakah kelanjutan kisah Ayana dan Fahmi?
Apakah Ayana akan menerima dipoligami dan menerima dengan ikhlas karena di madu dan tinggal bersama madunya?
Ikuti kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mahkota Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Terdalam
"Yakin, Kakak bisa? Lalu, bagaimana dengan Pesantren?" Tanya Fahmi.
Zidan menarik nafas panjangnya.
"Itu akan menjadi urusanku, yang terpenting kita berikan yang terbaik untuk Ayana sesegera mungkin!" Jawab Zidan.
"Kalau begitu, sekarang juga kita bawa Ayana ke Rumah Sakit." Titah Bu Fatimah.
Fahmi mendekati Zidan lalu berbisik.
"Kak, tolong jaga Ayana sepenuh hati. Biar bagaimanapun, ia adalah teman Kakak sejak kecil. Apakah kakak tega melupakan begitu saja kenangan-kenangan kakak dimasa-masa itu? Anggap saja, Ayana ini adik kandungmu. Jadi, kamu bisa menjaga dan merawatnya tanpa ada kecanggungan. Aku mohon! Aku sangat menyayangi dia!" Bisik Fahmi kepada Zidan.
Zidan tampak berpikir sejenak dan mencerna apa yang dikatakan oleh adiknya tersebut.
"Tapi, Fahmi! Aku dan dia bukan mahrom! Mana pantas aku seperti itu?" Protes Zidan.
"Please, Kak! Kita harus bertanggungjawab atas amanah dari Kyai Akbar." Ucap Fahmi.
Zidan tidak menjawab ucapan Fahmi, ia begitu bingung harus bertindak apa nantinya.
"Sudah, cepat! Bawa Ayana ke Rumah Sakit!" Ucap Bu Fatimah membuyarkan perbincangan mereka.
Dengan segera Fahmi dan Zidan membawa Ayana ke Rumah Sakit. Diikuti Bu Fatimah mengekori dibelakangnya.
***
"Untuk sementara waktu, ibu Ayana harus dirawat disini dulu ya, Pak. Karena, kondisinya cukup parah." Titah sang dokter kepada Fahmi.
"Baik, dokter. Lakukan yang terbaik untuk isteri saya!" Jawab Fahmi.
"Baik, Pak. Kami akan usahakan sebaik mungkin." Sahut sang dokter.
Fahmi mengangguk dan mempercayakan kepada dokter.
Dokter pergi meninggalkan Fahmi, Zidan dan Bu Fatimah.
"Bu, aku tidak bisa menjaga Ayana. Apakah Ibu dan Kak Zidan bisa?" Ucap Fahmi hendak duduk dibangku panjang.
Zidan dan Bu Fatimah saling pandang.
"Sudah, kamu tenang saja, Fahmi. Kamu istirahat saja dulu. Kamu juga kan harus bertugas. Jangan sampai kamu kelelahan dan berdampak buruk bagi nyawa orang banyak." Ucap Bu Fatimah.
"Sebenarnya aku ingin sekali menjaga Ayana. Tapi, aku tidak bisa izin mendadak. Dan kebetulan, tidak ada yang back up. Jadi, mau tidak mau, aku harus tetap pergi bertugas." Jelas Fahmi.
"Kami mengerti, Fahmi. Pulanglah, dan segera beristirahat. Aku akan menjaga Ayana. Kamu tidak perlu khawatir." Sahut Zidan.
"Baiklah kalau begitu aku pulang dulu. Oh iya, apakah sebaiknya Ibu juga pulang saja? Supaya beristirahat dan mengambil beberapa pakaian. Besok sebelum aku berangkat bertugas, aku akan mampir mengantarkan Ibu dan melihat keadaan Ayana sementara." Pinta Fahmi kepada Bu Fatimah.
Bu Fatimah menoleh kearah Zidan. Zidan memberikan isyarat mengangguk untuk mengiyakan.
"Kamu sendiri tidak apa-apa, Zidan?" Tanya Bu Fatimah untuk memastikan.
"Tidak apa-apa, Bu. Ibu tenang saja. Aku besok bisa izin tidak masuk sementara atau datang ke Pesantren siang harinya." Jawab Zidan.
"Baiklah kalau begitu. Kamu juga sempatkan untuk beristirahat ya, walau hanya sebentar bersandar dibangku ini." Perintah Bu Fatimah kepada Zidan, dengan menunjuk kearah bangku panjang di pinggir lorong rumah sakit.
Zidan mengangguk tanda mengiyakan.
"Ayo, Bu." Ajak Fahmi dengan menarik tangan Bu Fatimah.
"Kak, tolong jaga Ayana ya. Kalau ada apa-apa, segera berkabar. Terima kasih ya kak, maaf merepotkan!" Imbuh Fahmi kepada Zidan.
"Santai saja."
***
"Za, ayo sadar. Maaf ya gara-gara aku kamu menjadi seperti ini. Semua salahku." Zidan duduk disamping ranjang Ayana.
Ayana masih belum sadar karena tubuhnya begitu sangat lemah.
Namun, untuk luka-lukanya telah diobati oleh dokter.
Zidan terlihat khawatir ketika melihat keadaan Ayana kala itu.
Pandangannya kosong, entah apa yang sedang ia pikirkan.
Tidak lama kemudian, Ayana terbangun.
Ia membuka matanya sedikit demi sedikit, pandangannya masih terasa buram, dan kepalanya masih sangat pusing.
"Mas.. Mas.." Ayana memanggil-manggil nama Fahmi.
Dengan segera Zidan lebih mendekati Ayana.
"Za, kamu sudah bangun?" Tanya Zidan kepada Ayana.
Zidan merasa senang ketika Ayana sudah membuka matanya.
Ayana melirik kearah Zidan dengan tatapan dingin.
"Dimana Mas Fahmi? Tanya Ayana kepada Zidan.
Zidan berusaha untuk menyentuh tangan Ayana, namun dengan cepat Ayana langsung menarik tangannya.
"Fahmi istirahat dirumah sebentar, Za. Sekalian mengantarkan Ibu pulang. Besok, Fahmi dan Ibu akan kesini lagi." Jelas Zidan.
Ayana membuang muka, agar ia tidak melihat wajah Zidan.
"Kamu pulang saja, Kak." Perintah Ayana dengan nada cueknya.
Zidan mengerutkan dahinya.
"Kenapa aku disuruh pulang? Aku disuruh Fahmi dan Ibu untuk menjaga kamu disini." Jelas Zidan.
Ayana menarik nafas panjangnya.
"Aku tidak ingin merepotkan kamu!" Jawab Ayana.
"Aku tidak merasa direpotkan, Za. Aku malah senang bisa menemani kamu disini."
"Omong kosong!" Hardik Ayana.
"Za? Kamu marah sama aku?" Tanya Zidan penasaran.
"Lebih baik kamu tinggalkan aku. Aku tidak butuh ditemani sama kamu. Kamu punya kehidupan sendiri. Anggap saja kamu tidak pernah mengenalku. Jadi, kamu tidak perlu lagi sungkan-sungkan kepadaku." Tegas Ayana tanpa disadari sudut matanya telah dibasahi oleh bulir-bulir bening yang hendak menetes.
Zidan terdiam. Ia mengakui semua ini salahnya.
"Za, aku minta maaf. Aku memang salah. Aku mohon, maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi." Zidan berusaha meyakinkan Ayana.
Ayana mengusap air matanya yang sudah membasahi pipinya menggunakan tangannya.
"Za, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkan aku? Aku akan melakukannya." Imbuh Zidan kembali.
Ayana menoleh kearah Zidan dengan tatapan tajamnya.
"Menikahlah dengan Difa. Sepertinya dia jodoh yang tepat untukmu." Titah Ayana kepada Zidan.
Zidan mengerutkan dahinya. Ia tidak percaya jika Ayana berbicara seperti itu.
"Apa, Za? Tidak salah kamu bicara seperti itu? Aku tidak mau, Za. Aku tidak mencintainya." Tegas Zidan.
Ayana tersenyum simpul.
"Yakin tidak mencintainya?" Ayana kembali membuang muka.
Zidan berusaha untuk menjelaskan kepada Ayana. Ia sangat bingung.
"Za, adakah syarat yang lain kecuali itu?" Tanya Zidan kembali.
"Tidak ada, hanya itu."
"Za, aku mohon. Jangan membuat syarat seperti itu. Aku tidak mencintainya, aku mencintai yang lain, tapi bukan dia..." Jelas Zidan dengan terpaksa menyentuh dan menggenggam tangan Ayana.
Ayana segera melepaskan genggaman tangan Zidan.
Namun, tenaga Zidan lebih kuat, sehingga tangan Ayana dengan pasrah tetap digenggam oleh Zidan.
"Siapa?" Tanya Ayana dengan memalingkan wajahnya kearah Zidan.
Zidan menarik nafasnya dan mencium tangan Ayana dengan lembut.
"Kamu, Za. Aku mencintai dan menyayangi kamu. Sampai kapanpun, aku rela tidak menikah, semua hanya karena kamu." Zidan menciumi tangan Ayana berulang-ulang.
Tanpa terasa air mata Ayana kembali membasahi pipinya.
"Kak, aku sudah menikah. Bahkan aku sekarang menjadi adik iparmu. Jangan terlalu berpikir secara berlebihan. Tidak akan mungkin kita bersatu!" Tegas Ayana dengan mata sembabnya dan suara bergetar.
Zidan menggelengkan kepalanya.
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Za. Takdir Allah itu nyata, kita tidak dapat mengubahnya. Jodoh, takdir, kematian, dan rezeki sudah diatur oleh Allah." Jelas Zidan dengan perasaan yang sudah campur aduk.
Ayana kembali menangis meratapi nasibnya kini.
"Aku tahu, Za. Dari lubuk hati kamu yang paling dalam, kamu juga mencintai dan menyayangi aku. Hanya saja, kamu menyembunyikan perasaan itu semua." Imbuh Zidan tampak dapat membaca pikiran Ayana.
Ayana menatap tajam manik-manik mata Zidan. Keduanya saling berpandangan dengan perasaan bergemuruh.
"Tidak perlu dijawab, Za. Aku sudah mengetahui jawabannya. Cepat atau lambat, aku yakin kita pasti akan bersatu. Semua itu hanya menunggu waktu." Ucap Zidan meyakinkan Ayana.
Ayana melepaskan genggaman tangan Zidan yang sedari tadi tanpa sadar keduanya saling bersentuhan.
Zidan sudah tidak memikirkan bahwa Ayana adalah bukan mahromnya. Namun, ia lebih memikirkan perasaannya kala itu.
"Kita tidak akan pernah bersatu. Sejak awal, kamulah yang tidak bisa memperjuangkan hubungan kita. Mungkin aku dulu yang terlalu nyaman dan terlalu berharap kepada kamu. Nyatanya, kamu diam saja dan tidak ada itikad baik untuk lebih serius." Ungkap Ayana kembali.
Zidan menunduk dan menyesali hidupnya. Kalau saja, sepulang dari Kairo ia langsung datang ke Pesantren Kyai Akbar hanya seorang diri saja. Mungkin saat ini yang dihadapannya adalah isterinya.
"Dan sekarang, kamu baru akan memperjuangkannya? Semua sudah terlambat, aku sudah menjadi milik orang lain. Aku mohon, lupakan saja perasaanmu terhadapku. Aku akan fokus pada keluarga kecilku." Imbuh Ayana kembali.
Zidan membisu, lagi-lagi ia menyesalinya. Nasi sudah menjadi bubur, tidak mungkin waktu dapat diputar kembali.
"Aku akan menunggu kamu sampai kapanpun! Aku berjanji kepadamu!" Ungkap Zidan dengan perasaan yang teramat dalam.
Ayana menghela napasnya. Ia membuang mukanya kembali.
"Cukup! Menjauhlah dariku!"