Bagiamana jika kehidupan seorang mafia yang terkenal akan ganas, angkuh atau Monster ternyata memiliki kisah yang sungguh menyedihkan?
Bagaimana seorang wanita yang hanyalah penulis buku anak-anak bisa merubah total kehidupan gelap dari seorang mafia yang mendapat julukan Monster? Bagai kegelapan bertemu dengan cahaya terang, begitulah kisah Maxi Ed Tommaso dan Nadine Chysara yang di pertemukan tanpa kesengajaan.
~~~~~~~~~~~
✨MOHON DUKUNGANNYA ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
O200DMM – BAB 05
MAFIA VS PENULIS 2
Bibir Nadine bergetar, dia tidak tahu dan tidak mengenal siapa sebenarnya pria di sampingnya saat ini, siapa dia?
Melihat wanita di depannya mulai sedikit tenang dan ketakutan. “Good!” Maxi menjauhkan kembali pisau yang hendak menyayat leher Nadine. Memasukannya kembali ke dasbor mobil.
Nadine bisa membuang nafas lega, dadanya naik turun tak karuan, mungkin kini dia terlihat berantakan dengan rambut yang menempel di kulit leher serta wajahnya akibat keringat yang membasahi seluruh kulitnya. Nadine memilih diam sambil menunduk, sekarang dia bingung dan khawatir dengan keadaan sahabatnya? Dan bagaimana keadaan keluarganya di rumah panti, terutama Kakak Yunita-- sosok wanita yang sudah Nadine anggap seperti kakak kandungnya sendiri. Wanita itu cacat dan terus duduk di kursi roda tanpa bisa menggerakkan kakinya dikarenakan kecelakaan yang sempat menimpanya dulu, namun untungnya ia masih bisa berbicara. Dan iya, kakak Yunita juga pengidap penyakit jantung yang cukup berbahaya.
“What your name?” suara Maxi membuyarkan rasa bingung Nadine, namun wanita itu tetap enggan menatapnya.
“Aliya.” Jawab Nadine berbohong karena dia tidak ingin pria asing itu mengetahui dirinya lebih dalam. Meski itu hal yang sia-sia.
“What your name?” Maxi mulai menekan suaranya sendiri dan fokus ke depan. Sementara anak buahnya yang tengah menyetir hanya bisa diam tanpa berkutik saat bosnya tengah berbicara, jika tidak maka lidahnya bisa hilang dalam sekejap.
Nadine masih menunduk sembari menyatukan kedua tangannya, “Aliya.” Masih berani meski tubuhnya gemetar, namun dia bukanlah wanita lemah. Dia takut, tapi dia juga marah dengan pria bernama Maxi tersebut, ada kata-kata yang mengatakan-- jangan pernah menunjukkan kelemahan mu kepada siapapun.
Tangan Maxi mulai mengepal ketika dia tidak suka kebohongan, namun apa ini? Seorang wanita dengan polosnya membohongi dirinya tanpa rasa takut.
“Aku katakan sekali lagi, siapa namamu?” Maxi menoleh ke Nadine dengan wajah berkerut marah seolah dia memberikan peringatan keras.
Nadine menoleh dan menatap balik penuh kemarahan. “Sudah aku bilang, namaku ALIYA!” sentak Nadine di akhir kalimatnya.
“LIE!” sentak Maxi yang kini langsung meremas rambut Nadine dan menjambak nya sampai kepala Nadine mendongak.
“Kamu tidak tahu sedang berurusan dengan siapa?” suara seram itu keluar. Jika ucapan seperti itu sudah keluar dari mulut Maxi, maka lawan bicaranya akan menunduk. Tapi Nadine tidak peduli meski pria itu menekannya dengan tatapan tajam bak silet.
Bukannya takut, Nadine malah tersenyum miring penuh keberanian. “Dan kamu juga tidak tahu sedang berurusan dengan wanita seperti apa?!”
Melihat senyum miring dan keberanian Nadine sudah membuat Maxi terpikat bahkan semakin penasaran dengan wanita bernyali besar. “Aku pastikan kamu akan menyesali semua ucapanmu.” Kata Maxi.
“Aku akan menunggunya.” Balas Nadine seperti sudah pasrah. Sudahlah hidupnya begitu susah saat pertama kalinya dia ingin hidup tenang sebagai seorang penulis. Dan kini, saat semuanya berjalan sempurna, sosok pria asing malah menculiknya paksa.
Perlahan Maxi mulai melepaskan remasan di rambut Nadine, lalu kembali duduk bersandar sambil menyalakan cerutunya, tidak peduli meski asap memenuhi isi mobil, toh jendelanya juga bolong. Sementara Nadine masih menatap datar ke depan dan air matanya sudah mengering.
“Kamu cukup berani.” antara pujian atau peringatan Maxi masih fokus dengan cerutu dan jalanan.
“Thank you.” pria itu menoleh ke arah Nadine setelah mendengar balasan yang menurutnya bukanlah pujian, menatapnya dengan seksama hingga wanita itu juga ikut menatap datar wajah pria yang memiliki julukan Monster Mafia.
“Aku akan menghilangkan keberanian mu itu. Camkan baik-baik.” Ancam Maxi berusaha menahan pitam nya sendiri. Dia menginginkan wanita itu, jangan sampai dia kelewat marah hingga membunuhnya.
Ancaman Maxi tidak membuat Nadine goyah sedikitpun, malahan dia masih sibuk memikirkan keadaan teman-temannya yang saat ini entah di bawa kemana mereka.
-‘Ya Tuhan, tolong aku.’ Batin Nadine sembari menatap keluar jendela.
...***...
Mansion Maxi Chicago
Nadine melihat pria pembunuh tadi turun lebih dahulu tanpa berbicara lagi dengannya, sampai dua anak buah Maxi mulai menyuruh dan memaksanya turun dari mobil.
“Lepaskan aku, jangan menyentuhku.” Teriak Nadine meronta ketika Maxi mulai berjalan mendekat tepat di hadapannya. Sementara kedua lengan tangannya di pegang erat oleh anak buah Maxi.
Nadine menatap penuh kebencian pada Maxi.
“Tutup matanya.”
Seketika Nadine mulai panik mendengar arahan Maxi untuk anak buahnya. Sebisa mungkin ia meronta meminta dilepaskan, hingga pada akhirnya kedua matanya mulai ditutupi oleh kain merah, lalu orang-orang tadi mulai memaksanya berjalan dan mengunci kedua lengannya.
Nadine merasa bahwa rumah yang saat ini dia masuki sangatlah luas dan besar. Nadine juga berusaha mengingat setiap langkah yang dia lewati, belokan yang sangat ribet seperti sebuah labirin. Apakah dia berada di sebuah rumah atau labirin?
Beberapa menit kemudian, orang-orang tadi mulai mendorong paksa Nadine untuk masuk ke dalam ruangan, menutup pintu di belakangnya rapat-rapat. Dengan cepat Nadine mulai melepaskan tali di area matanya saat tangannya sudah terbebas.
sangat kasar Nadine membuang kain merah tadi ke sembarang arah, lalu menatap ke depan dimana sosok pria tampan dengan pakaian yang sama hanya saja jasnya sudah terlepas. pria itu duduk di sofa hitam melengkung, dengan sebuah meja kaca juga sebuah anggur merah di atas meja.
Nadine masih berdiri canggung ketika sorot mata Maxi terus memandanginya dari atas kebawah seakan menelusuri setiap lekuk tubuhnya. Memang, Nadine tidaklah gadis pemilik tubuh sexy, kurus dengan p******a montok karena suntikan, lebih tepatnya dia pemilik tubuh ideal dengan bulatan yang alami sehingga tubuhnya tanpa sadar sudah membuat para pria hidung belang di luar sana terangsang. Termasuk Maxi.
Merasa risih, Nadine terus menggerakkan kedua tangannya agar mantel coklat yang dia kenakan bisa lebih menutupi tubuhnya.
Tiba-tiba Maxi terseringai sambil menuangkan wine di gelas. Nadine berpikir bahwa pria itu sudah sangat gila.
“Nadine Chysara! Usia 28 Tahun, seorang yatim piatu dan penulis buku anak-anak. Sangat di sayangkan gagal menjadi seorang dokter karena takut dengan darah. CK, sangat menarik!” jelas Maxi yang mengetahui semua kehidupan Nadine.
Wanita cantik yang awalnya memasang wajah garang, kini menjadi keheranan saat Maxi menebak benar tentang semua data dirinya. Bagaimana bisa?
“Ba-bagaimana kamu bisa tahu? Siapa kamu sebenarnya? Jika kamu pembunuh maka bunuh saja aku sekarang juga.” Balas Nadine yang sangat kebingungan akan semua pertanyaan-pertanyaan di dalam pikirannya mengenai pria asing itu.
Maxi masih tersenyum smirk sambil menatap Nadine yang hanya berdiri saja, sementara dia duduk sambil menikmati segelas wine di tangannya.
“Menurutmu siapa aku?!” pria itu mulai meletakkan tangan kanannya di atas sandaran sofa.
Pertanyaan konyol. Bahkan Nadine sama sekali tidak mengenalnya, dan untuk apa juga dia harus menembaknya, toh dia tidak mungkin akan selamat.
“Kamu... Kalian adalah seorang pembunuh. Membunuh orang yang lebih lemah dari kalian, cih. Menjijikan.” Ejek Nadine.
Maxi tertawa mendengarnya, lalu pria itu berhenti dan menatapnya, beranjak dari sofa setelah meletakkan gelas dari tangannya. Sementara Nadine mulai mengambil langkah mundur dan waspada saat pria pembunuh tadi sudah berdiri tegap.
“Bagaimana jika tebakan mu benar?” Nadine semakin getir mendengarnya, jika tebakannya benar maka.... Tidak salah lagi, pria di depannya itu adalah seorang pembunuh kaya dan tampan seperti--- Mafia.
Nadine melangkah mundur dengan sangat pelan sebelum pria itu melakukan hal yang tidak-tidak.
Maxi mulai melepaskan satu persatu kancing kemejanya lalu membuka kemeja putih tadi dan membuangnya ke lantai. Nadine berpaling ketika dia menyadari bahwa pria itu sudah bertelanjang dada. Sebuah tatto gambar tengkorak, belati, tulisan bahasa Latin serta gambaran seperti monster yang memenuhi tubuh sebelah kiri Maxi hingga ke tukang selangka nya. Tatto tadi seperti gambaran sebuah Monster yang tersiksa. Mungkin.
...°°°...
Hai! Saya kembali dengan cerita baru. Kali ini tentang Mafia monster yang ternyata memiliki kisah kelam dengan keluarganya sehingga si gadis penulis ikut sedih melihatnya.
Semoga kalian suka dengan cerita ini. Dan mohon dukungan kalian, saya sangat membutuhkannya 🙏😔
Don't forget to Like and Coment
Thanks and See ya ^^
kl menyukai ,kenapa nggak d ulangi n lanjut next yg lebih hot.
( berimajinasi itu indah.. wk wk wkk )
kl sekarang mau kabur,apa nggak puyeng liat jalur melarikan dirinya.jauuuub dr kota.awak d ganggu pemuda2 rese LG lho.
tadinya baca cerita luna almo dulu sih..untuk maxi nadine ini ditengah udah mau menyerah krn alurnya lambat ya..tapi penasaran jadi ttp aku baca..dan kesimpulannya bagus banget walaupun banyak bab yang menguras emosi..terimakasih kak author..