Bagiamana jika kehidupan seorang mafia yang terkenal akan ganas, angkuh atau Monster ternyata memiliki kisah yang sungguh menyedihkan?
Bagaimana seorang wanita yang hanyalah penulis buku anak-anak bisa merubah total kehidupan gelap dari seorang mafia yang mendapat julukan Monster? Bagai kegelapan bertemu dengan cahaya terang, begitulah kisah Maxi Ed Tommaso dan Nadine Chysara yang di pertemukan tanpa kesengajaan.
~~~~~~~~~~~
✨MOHON DUKUNGANNYA ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
O200DMM – BAB 24
SEPARUH CERITA MASA LALU MAXI KECIL
Yang awalnya sibuk berbincang, kini kedua pria tua tadi beralih menatap Maxi yang tidak ada angin atau petir, tersenyum tipis melihat ke tanah.
“Apa ada yang lucu tuan Maxi?” pertanyaan dari Huang Zhong membuyarkan senyuman Maxi dalam sekejap. Ericsson merasa curiga melihat tingkah Maxi barusan, namun dia mencoba mengesampingkan hal tersebut.
“Saya harap kapal anda tidak menipu kami.” Ucap Maxi memberikan peringatan garis keras kepada pria gendut China itu.
“Tentu saja tidak. Percayalah, kita sama-sama membutuhkan! Benar begitu hahahaha!” Ericsson ikut tertawa kecil, bahkan di hadapan Maxi dan Ericsson, Huang Zhong tanpa malu memberikan kecupan di leher wanita bayarannya. Hal itu sudah biasa bagi orang-orang seperti mereka.
“Oh, apa kalian akan datang ke pesta perusahaan Forest malam ini?”
“Ya. Keponakan ku Maxi akan datang.” Tidak ada teguran apapun dari Maxi.
“Wah, saya harap anda membawa pasangan!” ujar Huang Zhong tertawa, lalu pamit pergi bersama beberapa anak buah yang dia bawa.
Ericsson beserta Maxi masih sama-sama memandang ke arah perginya pria China tadi. Angin masih berhembus kencang, beberapa debu pasir juga berhamburan dengan bercampur cahaya matahari.
“Apa kamu mau datang malam ini?” Meski dia selalu memerintah Maxi, tetap saja. Ericsson juga ingin mendengar jawaban dari pria itu.
“Aku akan pergi.”
“Bersama Nadine?” Seketika Maxi menoleh ke pamannya, lalu kembali menatap ke depan.
“Hm.”
Setelah perbincangan ringan. Ericsson memutuskan pergi mengurus perusahaan, sementara Maxi tetap mengurus di bagian kriminal.
...***...
Mansion ErEd
Sepasang kaki berjalan menelusuri salah satu rumah besar di ErEd. Sepasang matanya juga tak hentinya memandang kagum dengan beberapa dekorasi di sana, semuanya terisi lengkap. Tangan kiri Nadine mengusap lembut pinggiran nakas yang sama sekali tidak merasakan ada debu sedikitpun yang menempel di sana. Sangat bersih.
Pelayanan serta penjagaan di sana sangat detail dalam mengurus hal sekecil apapun di rumah tersebut. Bagaimana tidak, bos mereka sangat menyeramkan.
Nadine berharap ada foto Maxi ataupun keluarganya dulu. Tapi dia sama sekali tidak menemukan adanya bingkai foto di setiap meja yang ada, bahkan di dinding pun hanya ada sebuah hiasan saja. Rumah besar itu terlihat sangat sepi, walaupun terdapat orang di dalamnya, namun tetap saja-- Bagi Nadine itu sangat tidak terlihat seperti rumah.
(‘Andai saja bocah 9 Tahun bisa membunuhnya, aku tidak akan menjadi seperti ini.’)
(‘Kakak akan selalu menelfon mu. Jaga diri baik-baik di sana! Aku akan menunggumu kembali!’)
Nadine menutup kedua matanya, dia ingin menangis ketika dia sangat merindukan orang-orang yang ada di rumah panti. Memang, setelah menjadi seorang penulis, Nadine bisa membeli rumah sendiri untuk dia dan kak Yunita tinggali. Tapi karena ia berlibur ke luar negara, alhasil Nadine menitipkan kakak Yunita di panti untuk sementara waktu sampai dia kembali.
Kali ini dia sangat bingung. Ucapan bibi Doray membuatnya antara percaya atau tidak. Maxi sendiri bilang bahwa dia menjadi umpan? Untuk siapa? Dan jika dia tidak bisa kembali hidup-hidup dari negara asing itu, maka Nadine ingin berbicara sekali saja dengan kakak dan sahabatnya.
“Nadine!” gadis itu kembali membuka matanya, mengusap air matanya lalu mulai berbalik dan melihat sosok wanita tua dengan kain tipis panjang yang ia jadikan semacam kerudung.
“Bibi Doray.” Melihat wajah penuh pikiran, segera Doray menghampiri Nadine dengan khawatir.
“Kamu baik-baik saja?” Nadine mengangguk sambil tersenyum.
.
.
.
“Terima kasih!” Nadine tersenyum tulus.
Kedua wanita tadi tengah duduk di ruang santai. Sofa panjang warna abu-abu gelap menghadap ke arah dinding kaca mengarah ke rumah Ericsson. Nadine lebih nyaman mengobrol bersama bibi Doray daripada keluarga Maxi yang lainnya.
Begitu juga bibi Doray yang sangat senang jika dia bersama Nadine. Seolah tahu, bahwa Nadine bukanlah wanita sembarangan.
“Saya merindukan kakak saya.” Sejenak Doray menoleh ke Nadine, menarik nafas panjang.
“Maafkan tuan Maxi-- ”
“Kenapa Bibi yang minta maaf? Biarkan dia yang meminta maaf.” Kesal Nadine sehingga dia menyela ucapan Doray. Bukan kesal kepada bibi Doray, hanya saja wanita itu tidak bersalah, Nadine hanya ingin mendengar permintaan maaf dari mulut pria yang sudah menahannya di rumah tersebut.
Bibi Doray tahu, permintaan maaf tidak akan pernah keluar dari bibir Maxi. Seumur hidupnya, pria itu tidak pernah melontarkan kata maaf kepada siapapun. Tidak sekalipun.
“Apa sejak lahir dia seperti itu?” tanya Nadine ngasal sesekali menyeduh teh.
“Tidak. Tuan Maxi cukup ceria ketika dia bermain bersamaku dan nona Ina! Dia sangat senang ketika menceritakan sesuatu yang baru untuknya. Bahkan dia kakak yang pengertian meskipun nona Ina bukanlah adik kandung, tapi pria itu menyayanginya.” Nadine meletakkan gelasnya, menatap bibi Doray yang tersenyum lebar ketika menceritakan masa lalu Maxi.
“Tapi...” Senyuman di bibir Doray hilang, membuang nafas kasarnya.
“Setiap tuan Ericsson maupun nyonya Miia datang. Senyuman tuan Maxi berubah menjadi kecenderungan. Dia dipaksa menjadi seorang anak yang tangguh, berlatih dan belajar! Pembelajaran apapun itu, semuanya tuan Ericsson berikan kepada tuan Maxi.”
Nadine menunduk mencoba mencerna seluruh cerita bibi Doray.
“Sejak kecil, dia juga di ajarkan cara memegang pistol dengan benar, juga cara membidik lawan.” Rasanya sangat sulit di percaya. Nadine benar-benar kehabisan kata-kata ketika dia mendengar hal itu.
Keterkejutan yang luar biasa. Bagaimana tidak, seorang anak yang seharusnya bermain permainan menyenangkan harus melakukan kegiatan yang seharusnya tidak dia pelajari ataupun lihat. Tapi ini...
Bahkan Nadine mulai tidak suka dengan cerita itu. Bukan tidak suka dengan Maxi, ataupun bibi Doray, melainkan cara para orang tua mengajarkan seorang anak-anak yang tidak benar. Bibi Doray yang bercerita pun sudah meneteskan air matanya karena dia jugalah saksi di saat Maxi tengah belajar berat di usia 10 tahun.
“Kenapa mereka tega melakukannya? Apa mereka gila? Jika memang mereka tidak menyayangi nya, kenapa tidak membuang Maxi waktu itu. Itu lebih baik daripada menyiksanya.” Nadine kesal sendiri. Meski dia sangat membenci suaminya itu, tapi tak seorangpun boleh bersikap semena-mena hanya karena mereka masih anak-anak.
“Saya tidak tahu.”
“Apa yang kalian bicarakan?” Bibi Doray tersentak kaget ketika mendengar suara serak dan berat dari arah belakang.
Cepat-cepat bibi Doray berdiri, di susul Nadine yang juga berdiri menatap kehadiran seseorang di sana.
“Maaf. Saya datang karena--”
“Aku memintanya.” Sambung Nadine berbohong.
Maxi masih menatap angkuh ke Nadine, lalo manik matanya bergerak ke bibi Doray.
“Bibi bisa kembali. Sebelum mereka memarahi mu.” Doray mengangguk patuh, bergerak cepat setelah pamit pada Nadine.
Tanpa di sadari oleh Nadine karena terlalu hanyut dalam perbincangan dengan bibi Doray, langit sudah warna orange.
Maxi meletakkan sekantong belanjaan di atas meja yang berada di tengah-tengah mereka berdiri. “Apa isinya?” tanya Nadine sama angkuhnya.
“Kamu lihat sendiri.”
kl menyukai ,kenapa nggak d ulangi n lanjut next yg lebih hot.
( berimajinasi itu indah.. wk wk wkk )
kl sekarang mau kabur,apa nggak puyeng liat jalur melarikan dirinya.jauuuub dr kota.awak d ganggu pemuda2 rese LG lho.
tadinya baca cerita luna almo dulu sih..untuk maxi nadine ini ditengah udah mau menyerah krn alurnya lambat ya..tapi penasaran jadi ttp aku baca..dan kesimpulannya bagus banget walaupun banyak bab yang menguras emosi..terimakasih kak author..