"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pertengkaran antar sahabat
Haifa berbaring di kasurnya, menatap langit-langit kamar dengan bosan. "Ah, gabut banget," gumamnya sambil memeluk bantal.
Setelah beberapa saat, dia mendesah panjang. "Hmm... telepon Maya aja, deh," ucapnya sambil meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Jari-jarinya lincah menekan nomor sahabatnya.
"Assalamu'alaikum, Halo, May! Yuk, kita ke mall. Aku bosan banget di rumah," ajaknya dengan nada antusias.
"Waalaikumussalam, Haifa. Kamu mau ke mall? Dibolehin nggak sama Ummi dan Abi kamu, Fa?" tanya Maya ragu, suaranya penuh kehati-hatian.
Haifa terkekeh santai. "Tenang aja, May. Aku udah sehat kok. Ummi dan Abi pasti izinin aku. Lagi pula, aku udah lama nggak keluar rumah."
Maya menghela napas lega di seberang sana. "Yaudah kalau gitu, aku siap-siap dulu ya. Nanti aku jemput kamu," jawab Maya.
"Eh, jangan! Biar aku aja yang jemput," potong Haifa cepat.
"Baiklah, tapi hati-hati ya, jangan ngebut. Kamu baru sembuh, Fa," Maya memperingatkan dengan nada cemas.
"Iya, Nyonya! Siap dilaksanakan," jawab Haifa sambil tertawa kecil.
"Haifa! Jangan panggil aku Nyonya, dasar kamu!" balas Maya sambil terkekeh.
"Yaudah, aku siap-siap dulu ya. Bye, May," ucap Haifa sebelum menutup telepon.
Haifa segera bangkit dan mulai bersiap. Dia memilih jubah hitam elegan yang dipadukan dengan kerudung pashmina yang sederhana namun anggun. Setelah memastikan penampilannya rapi di depan cermin, dia tersenyum puas.
"Perfect," gumamnya, lalu turun ke lantai bawah dengan langkah ringan.
"Non, pelan-pelan jalannya! Jangan buru-buru," tegur Bibi Iyem yang melihat Haifa dengan wajah khawatir.
"Iya, Bi. Haifa santai kok," balas Haifa sambil tersenyum menenangkan.
Dia melangkah keluar rumah dan masuk ke mobil Lamborghini putihnya yang berkilau di bawah sinar matahari. Namun, belum sempat dia menyalakan mesin, Bib Iyem muncul di pintu rumah dengan tatapan penuh khawatir.
"Non Haifa! Ingat pesan Bibik, hati-hati ya. Jangan ngebut!" seru Bib Iyem lagi.
"Siap, Bib. Doain Haifa selamat sampai tujuan ya," ucap Haifa sambil tersenyum lembut.
Mobil itu pun melaju perlahan meninggalkan halaman rumah. Sambil menggenggam kemudi, Haifa menghela napas panjang.
"Akhirnya aku bebas!" seru Haifa penuh semangat sambil menghirup udara segar dari jendela mobilnya yang terbuka. Senyumnya lebar, menikmati momen kebebasan setelah lama merasa terkurung di rumah. Namun, lamunan bahagianya seketika buyar.
"Tiiitttt! Tiiitttt!" Klakson motor sport memekik keras, membuat Haifa panik.
"Aaa!" Dia buru-buru menginjak rem mobilnya, menghentikan kendaraan tepat sebelum terjadi tabrakan.
Haifa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Alhamdulillah, hampir saja ketabrak," gumamnya, tubuhnya masih sedikit gemetar.
Namun, seorang pria dengan motor sport itu turun dari motornya dan berjalan mendekati mobil Haifa dengan langkah arogan. Wajahnya tampak kesal.
"Hey, cegil! Lo hampir nabrak gue tadi!" teriak pria itu.
Haifa menatapnya dengan bingung sambil membuka kaca mobil. "M-maaf, aku nggak sengaja...," ucapnya pelan. Tapi begitu dia melihat wajah pria itu, matanya melebar. "Nathan?! Kamu yang nolongin aku di bandara waktu itu, kan?"
Nathan, yang awalnya kesal, tiba-tiba terkejut saat mengenali Haifa. "Lah, Haifa?! Ini kamu?" tanyanya, nadanya berubah dari marah menjadi heran.
Haifa mengangguk. "Maaf ya, Nath. Aku tadi terlalu senang, sampai nggak fokus. Baru kali ini aku bisa keluar rumah setelah sekian lama. Rumah itu... menyebalkan," ucapnya, berusaha menjelaskan dengan wajah penuh penyesalan.
Nathan memandang Haifa dengan seringai nakal, matanya menyala dengan ide usil. "Hmm, gue bakal maafin lo... tapi ada syaratnya," ucapnya, nadanya menggoda.
Haifa menatapnya curiga. "Syarat apa, Nathan? Jangan macam-macam," jawabnya cepat.
Nathan menyeringai lebih lebar. "Lo harus ngabulin satu permintaan gue."
Haifa mengerutkan kening. "Permintaan apa?" tanyanya waspada.
Dengan nada sok serius, Nathan menjawab, "Gue mau lo jadi pacar gue."
"Apa?!" Mata Haifa membelalak kaget. Tanpa berpikir panjang, dia keluar dari mobilnya dan langsung menendang bokong Nathan.
"Aduh! Sakit, Fa!" keluh Nathan, memegangi bagian yang ditendang.
Haifa berdiri di depannya dengan tangan berkacak pinggang. "Berani-beraninya kamu bilang begitu, Nathan! Walaupun kamu pernah bantu aku, permintaan kamu ini benar-benar keterlaluan!" ucapnya penuh emosi.
Nathan hanya bisa meringis, tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa lagi, Haifa sudah masuk ke mobilnya dan menutup pintu dengan tegas.
"Fa! Gue cuma bercanda! Jangan marah dong!" seru Nathan panik sambil mencoba mendekati mobil Haifa.
Namun, Haifa tak menggubrisnya. Dia langsung menginjak pedal gas dan melaju pergi meninggalkan Nathan di pinggir jalan.
Nathan menggaruk-garuk kepala sambil menghela napas panjang. "Yah, salah ngomong gue. Gimana coba caranya deketin dia sekarang?" gumamnya frustrasi, menatap motor sportnya dengan penuh penyesalan.
......................
"Ngeselin banget tuh anak, masa dia minta aku jadi pacarnya," gumam Haifa dengan nada kesal sambil memutar kemudi mobilnya ke arah sebuah apartemen.
Dia memperhatikan sekeliling. "Mana ya... Maya?" gumamnya, matanya mencari-cari.
Dari kejauhan, terlihat seorang gadis melambaikan tangan dengan semangat. "Haifa!!" teriak Maya sambil berlari kecil mendekati mobil.
"Huhhh... enak juga yaa, bisa duduk di mobil kamu, Fa," kata Maya sambil terkekeh begitu masuk ke dalam.
"Ah, biasa aja kali," balas Haifa ringan, meski sudut bibirnya terangkat sedikit.
Mereka melaju menuju mal, dan begitu sampai, Haifa memarkirkan mobilnya. "Let's go, kita shopping, May!" ajak Haifa antusias.
Namun, langkahnya mendadak terhenti. Pandangannya terpaku pada seseorang di kejauhan. "Hahh!! Nathan?" ucapnya pelan, hampir tak percaya.
Maya yang menyadari perubahan ekspresi Haifa segera bertanya, "Lo ngeliat apa, Fa?"
"Itu... cowok yang nolongin aku di bandara. Video dia kan viral waktu itu," jawab Haifa, matanya tak lepas dari sosok Nathan.
Maya mengikuti arah pandangan Haifa dan langsung mengenali pria itu. "Oh iya, bener! Itu dia," sahut Maya. Namun, ekspresinya berubah tegang ketika melihat situasi yang berlangsung.
Dari kejauhan, terdengar suara pria lain yang penuh amarah. "Lo kurang ajar nyakitin perasaan adik gue ya!!" teriak seseorang dengan emosi yang meluap.
Itu Nevano. Dia berjalan cepat ke arah Nathan dengan wajah penuh kemarahan.
"Santai dulu, bro. Kita teman," ucap Nathan mencoba menenangkan, meski tubuhnya tetap siaga.
"Lo bilang teman?! Nggak ada teman yang nyakitin adik temannya!!" balas Nevano tajam, sebelum melayangkan pukulan keras ke wajah Nathan.
"Arghhh!" Nathan mundur selangkah sambil mengusap darah di sudut bibirnya. Tatapan matanya berubah tajam. Dengan gerakan cepat, dia membalas pukulan Nevano.
"Berani-beraninya lo nyerang gue!" Nathan balas menghajar Nevano. Pertarungan pun tak bisa dihindari. Keduanya saling menyerang dengan emosi yang meledak-ledak.
Haifa yang menyaksikan semuanya dari kejauhan, wajahnya berubah panik. "Astaghfirullah! Mereka berantem! Maya, aku harus pisahin mereka!" ucapnya terburu-buru berlari.
"Haifa! Jangan ikut campur, tunggu aku cari security!" balas Maya sambil berlari ke arah lain.
Haifa mengabaikannya. Dia mendekati kedua pria itu, mencoba memisahkan mereka yang masih saling memukul tanpa ampun.
"Berhenti!! Stop!!" teriak Haifa dengan lantang, mencoba menarik perhatian mereka. Namun, Nathan yang tak sadar dengan keberadaannya, secara refleks mengayunkan tangan untuk menepis, dan pukulan itu mengenai Haifa.
"Ahh!" Haifa terjatuh ke lantai dengan tubuh meringis kesakitan.
"Haifa!!!" Nathan langsung berhenti, wajahnya berubah panik ketika menyadari apa yang terjadi. "Astaga, Haifa! Gue nggak sengaja!" ucapnya penuh rasa bersalah.
Haifa memegang lengannya yang memar, berusaha menahan sakit. "Aduh... auu...," rintihnya, wajahnya pucat.
Nathan berlutut di dekatnya, terlihat panik. "Maaf, Haifa. Gue nggak tau itu lo! Gue nggak sengaja, sumpah!" ucapnya, suaranya bergetar.
Nevano juga menghentikan serangannya, memandang Haifa dengan raut bersalah. "Lo nggak apa-apa, Fa? ."
Haifa mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka berhenti bicara. "Aku nggak peduli siapa yang salah. Kalian tuh kenapa sih, harusnya bisa ngobrol baik-baik, bukan malah berantem kayak anak kecil!" ucapnya dengan suara tegas, meski tubuhnya masih sakit.
"hmmm... maafkan gue fa" ucap nathan merasa bersalah.
"Ayo kita ke klinik, Fa!" ucap Nathan sambil mencoba membantu Haifa bangkit.
"No, no... aku bisa sendiri," jawab Haifa tegas, meskipun raut wajahnya jelas menunjukkan rasa sakit.
Nevano yang melihat kondisi Haifa langsung mengambil ponselnya dan menelpon seseorang. "Halo, Zayn? Lo ke sini sekarang. Haifa terluka," ucap Nevano tanpa basa-basi.
Di seberang telepon, suara Gus Zayn terdengar penuh perhatian. "Baik, gue ke sana sekarang. Lo share lock!" balasnya sebelum menutup telepon.
Melihat itu, Nathan menjadi kesal. "Ngapain lo nelpon Zayn segala? Gue juga bisa jagain Haifa!" ucapnya dengan nada emosi.
Tak lama, security datang bersama Maya. "Eh, ada apa ini?" tanya salah satu security sambil menatap ke arah mereka.
Haifa buru-buru menjawab, meski suaranya lemah. "Sudah, Pak. Nggak ada apa-apa. Mereka sudah damai," katanya sambil memaksakan senyum.
Security itu akhirnya pergi, tetapi Nathan dan Nevano kembali berdebat. "Gue nelpon Zayn biar Haifa dibawa ke klinik sama dia, bukan sama lo!" ucap Nevano dengan tajam sambil mengusap bibirnya yang berdarah.
Beberapa menit kemudian, Gus Zayn tiba dengan langkah cepat dan wajah penuh kekhawatiran. "Haifa!!" panggilnya, matanya langsung tertuju pada luka di lengan adiknya.
Haifa menoleh, meskipun terlihat tidak nyaman. "Ngapain Kakak ke sini? Aku nggak apa-apa kok," ucapnya mencoba menenangkan.
Gus Zayn memandangnya tajam, ekspresinya antara khawatir dan marah. "Ya Allah, berdarah begini kamu bilang nggak apa-apa?" ucapnya sambil memeriksa luka di lengan Haifa.
Haifa hanya terdiam, merasa canggung. "Aku beneran nggak apa-apa, Kak," katanya pelan.
Namun, Gus Zayn tidak menghiraukannya. Dengan tegas, dia mengangkat tubuh Haifa ke dalam pelukannya, membuat haifa terkejut. "Kak! Aku malu, jangan kayak gini!" protes Haifa, wajahnya memerah karena diperhatikan banyak orang.
Gus Zayn tetap tidak peduli. "Diam. Kamu perlu perawatan. Nggak ada tawar-menawar," ucapnya singkat, lalu membawanya menuju mobil.
Haifa akhirnya pasrah. Dia duduk di kursi penumpang sambil melirik Gus Zayn yang memasang sabuk pengaman untuknya.
Rasa malu masih menyelimuti dirinya, tetapi dalam hati dia merasa sedikit lega karena kakaknya ada di sana untuknya.
Setelah memastikan Haifa duduk nyaman di mobil, Gus Zayn berbalik dan berjalan dengan langkah tegas menghampiri Nathan dan Nevano. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat serius.
"Hmm... Siapa yang buat Haifa terluka?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Nathan, yang merasa bersalah, langsung menjawab. "Zayn, gue minta maaf. Gue tadi nggak sengaja..." ucapnya dengan nada penuh penyesalan.
Gus Zayn mengangkat tangannya, menghentikan ucapan Nathan.
"Cukup. Jangan dekatin Haifa lagi. Gue nggak peduli apa masalah kalian berdua, tapi satu hal yang harus lo tau—gue sayang sama Haifa, jadi...jauhin dia," ucapnya tegas, pandangannya tajam menusuk Nathan sebelum dia berbalik dan berjalan menuju mobil.
Maya yang sejak tadi berdiri di situ terkejut mendengar kata-kata Gus Zayn. Dengan mata berbinar, dia berseru, "Hah?! Aku baru pertama kali lihat Gus Zayn secara langsung, dan dia... sangat keren!" ucapnya sambil menggenggam tangan dengan semangat.
Nathan, yang sudah kesal, menoleh tajam ke arah Maya. "Ngapain lo ngefans-ngefans sama cowok nggak jelas kayak Zayn itu!" ucapnya ketus, lalu tanpa menunggu jawaban, dia langsung melajukan motornya dengan cepat, meninggalkan mereka.
Maya terdiam, bingung dengan sikap Nathan yang mendadak meledak-ledak. "Jangan lo pikirin ucapan Nathan," ucap Nevano santai sambil merapikan jaketnya.
Nevano lalu menunjuk mobil putih Haifa. "Mending lo nyusul Haifa ke klinik pakai mobil kerennya itu. Dia pasti butuh teman," ucapnya.
Maya menelan ludah, masih merasa ragu. "O-ouh, oke," jawabnya akhirnya, membuka pintu mobil dengan perlahan.
Namun sebelum Maya benar-benar masuk, Nevano mendekatkan wajahnya ke telinga Maya, berbisik dengan nada dingin. "Dan satu hal lagi... Jangan lo ceritain apa yang barusan lo lihat ke siapa pun. Kalau sampai lo bocorin semuanya... lo bakal kena akibatnya," ancamnya, lalu menyalakan motor dan pergi tanpa menoleh.
Maya berdiri mematung, merinding dengan ancaman itu. "Ih, serem banget!" ucapnya, berusaha menenangkan dirinya. Ia buru-buru masuk ke mobil Haifa dan menyalakan mesin, bertekad untuk segera menyusul Haifa ke klinik.