Walaupun identitasnya adalah seorang Tuan Muda dari keluarga Dong yang terkenal di dunia kultivator, tapi Fangxuan menjalani kehidupan yang begitu sulit karena tidak memiliki jiwa martial seperti murid sekte yang lainnya.
Hidupnya terlunta-lunta seperti pengemis jalanan. Fangxuan juga sering dihina, diremehkan, bahkan dianggap sampah oleh keluarganya sendiri.
Mereka malu memiliki penerus yang tidak mempunyai bakat apapun. Padahal, keluarganya adalah keluarga terhebat nomor satu di kota Donghae.
Karena malu terhadap gunjingan orang, tetua sekte Tombak Api mengutus seorang guru untuk melenyapkan nyawa Fangxuan dengan cara membuangnya ke lembah Kematian Jianmeng.
Namun, nasib baik masih berpihak padanya. Fangxuan diselamatkan oleh seorang Petapa tua. Bukan hanya itu, Petapa tua tersebut juga mengangkatnya sebagai murid satu-satunya dan mewariskan seluruh ilmu kanuragan yang dimilikinya.
"Aku akan membalas mereka semua yang selama ini menindas ku. Tunggulah ajal kalian!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lienmachan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 4
Bab 4~Seorang Murid
"Aaaaaaarrrrrrrrrrggggjhhhhh!"
Tubuh Fangxuan jatuh terlentang karena tak dapat menahan rasa sakit seperti terbakar api. Matanya terpejam seiring detak jantung yang perlahan berhenti berdetak.
"Apa aku akhirnya mati?!" gumamnya dalam hati.
Sementara kakek Yaoshan masih terlihat tenang melihat pemuda yang kini sedang menutup mata karena ulahnya tadi.
"Fangxuan ... Fangxuan! Kau masih bisa bertahan?!" Terdengar suara kakek Yaoshan memenuhi telinganya hingga Fangxuan pun mengerutkan mata sebelum membukanya.
Pemuda itu lantas bergerak duduk setelah merasakan tubuhnya baik-baik saja, tidak panas seperti tadi. "Apa aku masih hidup? Aku belum mati 'kan, Kek?!"
Pertanyaan konyol itu kembali terlontar sehingga kakek tergelak lepas. "Haish, bocah. Belum apa-apa kau sudah menyerah dengan mengatakan kematian!"
Fangxuan meringis sambil menggaruk kepalanya tak gatal. Namun, sedetik kemudian ia mengerutkan kening karena tak merasakan sakit apapun di bagian tubuhnya.
Tangannya meraba ke seluruh bagian tubuh yang terluka kemudian menuju wajahnya yang masih terasa sakit sebelumnya. Rasa sakit yang sempat dirasakannya itu kini menghilang seiring kulit wajah yang berubah mulus kembali.
Padahal sebelumnya, sebagian wajah Fangxuan hancur karena tergores bebatuan serta ranting-ranting pepohonan.
"Apa ini? Lukaku sembuh total?!" desisnya sembari menatap wajah kakek Yaoshan tak percaya.
"Aku melakukan teknik pengobatan padamu, namanya ilmu pengganti tubuh. Bagaimana? Apa masih terasa sakit?!" tanya kakek.
Fangxuan segera membungkuk dengan tangan terkepal seperti memberi hormat. "Terima kasih atas pertolongan Guru! Berkat kebaikan Anda, aku bisa merasakan jika tubuhku sangat sehat dan kuat."
"Bagus jika begitu. Berarti sekarang kau siap untuk pelatihan, bukan?!"
Dong Fangxuan mengangguk pasti.
Kakek berdiri dengan menekuk kedua lutut sedikit memasang kuda-kuda, setelah itu menggerakkan kedua tangan dan mendorongnya kuat. "Hiyaaaaa!"
Tak cukup sampai di situ, kedua kakinya melayang ke udara, mengibaskan tendangan hingga terdengar bunyi 'wush' dari gerakan cepatnya.
Fangxuan terus memperhatikan agar segera bisa mengikuti gerakan yang kakek ajarkan saat ini.
Tak cukup sampai di situ, dengan lihainya kakek bergerak ke sana ke mari sembari menggerakkan kedua tangan dan kaki. Melompat, menerjang, melayang lalu memukul tinju ke tanah sehingga menimbulkan getaran yang cukup dahsyat.
Goa yang dihuni seperti mau rubuh akibat kekuatan yang dikeluarkan kakek Yaoshan.
"Itu adalah jurus mengguncang bumi." ujarnya tanpa menatap.
Dong Fangxuan mengangguk-anggukan kepala mendengar penjelasan kakek Yaoshan. Untuk pertama kalinya ia melihat seseorang memperlihatkan jurus hebat kepadanya secara langsung.
Fangxuan terharu.
Katanya tubuhnya lemah, tapi mengapa ketika kakek Yaoshan memperlihatkan jurus-jurusnya, tubuh Fangxuan bereaksi? Apa karena ia melihatnya secara langsung?
"Guru, itu__"
Kakek Yaoshan menyeringai penuh arti, kemudian memutar kedua tangan membentuk gumpalan seperti bola kecil berwarna putih. Gumpalan bola putih tersebut berputar searah, lalu melesat cepat menabrak dada Fangxuan dengan keras hingga pemuda itu menjerit keras.
"Aaaaarrrgghhh!"
Dada Fangxuan terasa sesak seperti dihantam batu besar, namun anehnya itu tak membuatnya ambruk ke tanah. Napasnya memburu seperti sudah berlari jauh dengan keringat bercucur deras.
"Apa yang kau lakukan padaku, Guru?!" Pemuda itu bertanya tak sabar.
Kakek Yaoshan tersenyum menanggapi. "Itu cukup untuk membuat segel di tubuhmu terbuka. Dengan begitu, lautan spiritmu akan kembali normal dan kau akan segera bisa berkultivasi." sahutnya yakin.
"Segel? Maksud Guru, tubuhku tersegel hingga aku tidak bisa melakukan kultivasi seperti yang lain?!" Fangxuan bertanya cemas.
Kakek Yaoshan mengangguk pasti. "Ya, kau benar. Tapi jangan khawatir, aku sudah membukanya dan mengobati lautan spiritmu. Setelah meditasi selama sebulan penuh, kekuatan tubuhmu akan meningkat. Kau akan berada di ranah jiwa martial tingkat satu," jelasnya.
Mendengar itu membuat Fangxuan senang. Dengan begitu ia bisa membalas dendam kepada orang-orang yang dulu merendahkan dan menyiksanya. "Baik, Kek. Umm, maksudku, Guru. Aku akan melakukan meditasi sesuai perintah Guru."
"Karena kau resmi jadi muridku, gulungan ini ku serahkan padamu!" Kakek melemparkan gulungan kuno jurus rahasia pada Fangxuan yang langsung ditangkapnya.
Tentu saja Fangxuan menyambutnya dengan gembira.
"Ingat, Fangxuan, jangan keluar goa apapun alasannya. Selama setahun penuh, kau harus sudah menguasai seluruh jurus-jurus yang ada di dalam buku rahasia tujuh bintang ini!" titah kakek Yaoshan.
"Baik, Guru, sesuai perintah Anda."
•
•
Sekte Tombak Api.
Di aula sekte Tombak Api sedang diadakan pertemuan besar. Para tetua kecuali tetua ke dua datang menghadiri pertemuan tersebut.
Mereka berkumpul menjadi satu untuk membahas ujian kesetaraan para murid yang diadakan bulan depan.
Selain untuk melatih kekuatan tubuh, ujian tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan jiwa martial mereka ke level yang lebih tinggi.
Yang menariknya adalah, bukan cuma murid sekte Tombak Api saja yang ikut serta, melainkan seluruh murid di sekte sekitar kota Donghae bisa mengikuti ujian kesetaraan tersebut.
Para pendekar muda berbakat lainnya bisa ikut serta tanpa kecuali. Dengan begitu, ujian kesetaraan murid ini menjadi jauh lebih menarik dibandingkan ujian-ujian sebelumnya.
"Jin Yang, bagaimana persiapan untuk ujian nanti?" Tetua pertama bertanya.
Guru Jin segera mengepalkan tangan memberi hormat lalu menjawab pertanyaan tersebut. "Persiapan untuk ujian kesetaraan murid sudah mencapai hampir lima puluh persen, Tetua."
"Oh, jadi sudah setengah jalan rupanya. Bagus," puji tetua pertama. "Baiklah, aku percayakan sepenuhnya padamu. Tapi ingat, aku tidak ingin mendengar hal apapun yang akan merusak ujian tersebut!"
"Tentu, Tetua!" Guru Jin pun membungkuk lalu undur diri untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan padanya.
Selepas kepergian guru Jin, tetua pertama memanggil seseorang untuk datang ke ruangan pribadinya.
Seorang wanita muda berusia sekitar delapan belas tahun menunduk hormat di hadapan tetua pertama segera setelah masuk ke dalam ruangan.
Mereka terlibat pembicaraan serius tanpa diketahui atau didengarkan orang lain.
Tetua pertama menyeringai penuh arti ketika memberikan perintah pada gadis tersebut. Setelah itu, ia menyuruhnya pergi lagi ke suatu tempat.
"Ingat, Gu Xi, jangan ada yang melihatmu melakukannya! Jika hal ini sampai bocor ke telinga yang lain, maka bersiaplah untuk mati saat itu juga!" ancamnya kemudian.
Gu Xi menunduk hormat sembari mengepalkan kedua tangan di depan dada. Setelah itu, ia pergi dengan cara menghilang tiba-tiba seperti sebuah bayangan. Melesat tanpa terlihat jelas.
Tetua pertama Dong Jun mengelus janggut panjangnya yang sudah memutih sambil menatap ke luar jendela. Pria tua itu sedang memikirkan sesuatu saat ini.
Tak lama kemudian seseorang datang menghampiri sambil membawa sebuah bungkusan di tangan.
Kain hitam dengan darah segar masih menetes dari sesuatu yang dibungkusnya itu. Bau amis darah tercium menyeruak sampai menusuk Indra penciuman, tapi itu justru membuat tetua pertama senang.
"Tetua, hamba sudah melaksanan perintah Anda!"
Tetua pertama Dong Jun berbalik badan menghadap orang tersebut, lalu tertawa lepas setelahnya. "Hahaha, bagus, kau memang muridku."
...Bersambung .......
Lanjutkan 👍👍👍