Update setiap hari jam 07:00
Aditiya Iskandar, seorang Menteri Pertahanan berusia 60 tahun, memiliki satu obsesi rahasia—game MMORPG di HP berjudul CLO. Selama enam bulan terakhir, ia mencuri waktu di sela-sela tugas kenegaraannya untuk bermain, bahkan sampai begadang demi event-item langka.
Namun, saat ia terbangun setelah membeli item di game, ia mendapati dirinya bukan lagi seorang pejabat tinggi, melainkan Nijar Nielson, seorang Bocil 13 tahun yang merupakan NPC pedagang toko kelontong di dunia game yang ia mainkan!
dalam tubuh boci
Bisakah Aditiya menemukan cara untuk kembali ke dunia nyata, atau harus menerima nasibnya sebagai penjual potion selamanya?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rodiat_Df, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari sekutu
Saat Nijar, Jay, dan Reiner berjalan menuju pintu depan rumah, bayangan samar yang sejak tadi memperhatikan mereka dari balik pohon perlahan menghilang ke dalam kegelapan.
Di lorong rumah, langkah mereka terhenti ketika bertemu dengan seorang pria berwibawa yang mengenakan mantel panjang khas bangsawan. Matanya tajam dan sorotannya dingin—Duke Bruno Erling, ayah Reiner.
Reiner langsung terlihat canggung. Ia menundukkan kepala sedikit, tangannya mengepal di samping tubuhnya.
Jay, yang memang sudah mengenal Duke Bruno karena ayahnya bekerja untuk raja, langsung menyapanya. "Selamat malam, Duke Bruno. Lama tidak bertemu."
Bruno mengangguk kecil. "Jay, putra Marquis Randolph, ya? Sudah lama tidak melihatmu. Kau semakin mirip ayahmu."
Jay tersenyum bangga. "Terima kasih, Duke Bruno. Kami tadi sedang latihan untuk seleksi pertandingan petarung di sekolah."
Bruno mengangkat alis. "Seleksi petarung murni, ya? Menarik." Matanya lalu beralih ke Nijar, yang berdiri di samping Jay.
Jay segera memperkenalkan Nijar. "Oh, ini Nijar, dia juga ikut dalam seleksi."
Bruno menatap Nijar sejenak, seolah menilai sesuatu dari anak itu, lalu mengangguk. "Aku sudah mendengar namanya."
Reiner masih diam, tak berani menatap ayahnya. Seolah mereka berdua adalah dua orang asing. Bruno pun tidak menunjukkan perhatian khusus pada putranya dan bersiap melanjutkan langkahnya.
"Aku ada urusan lain. Permisi." katanya, berjalan melewati mereka tanpa sedikit pun melirik Reiner.
Namun, baru beberapa langkah berlalu, Reiner mengepalkan tangannya lebih kuat dan akhirnya memberanikan diri untuk berbicara.
"Ayah..." suaranya sedikit bergetar.
Bruno menghentikan langkahnya. Tapi ia tidak menoleh, hanya berdiri diam, menunggu.
Reiner menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan lebih tegas. "Jika aku berhasil mencapai final... aku ingin berbicara denganmu. Dan aku berharap kau bisa mempercayaiku."
Bruno terdiam sejenak, lalu akhirnya menjawab tanpa menoleh. "Aku akan menunggunya."
Kemudian, ia melanjutkan langkahnya dan menghilang di lorong.
Reiner menghembuskan napas panjang. Ia merasa dadanya lebih ringan sekarang. Dan dengan jawaban ayahnya yang singkat itu, ada semangat baru dalam dirinya.
Jay menepuk bahunya sambil tersenyum. "Sepertinya kau punya alasan besar untuk menang, ya?"
Nijar juga tersenyum. "Semoga kau sampai ke final, Reiner."
Reiner tersenyum kecil. "Aku pasti sampai ke final."
Sementara itu, Bruno yang semakin menjauh bergumam pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Jika Nijar yang membuat Reiner lebih berani... aku sangat berterima kasih kepadanya."
Di Kediaman Raja
Di dalam kamar yang remang-remang, bayangan samar berdiri di balik jendela, berbicara dengan suara tenang namun misterius.
Raja mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu tersenyum tipis. "Jadi seperti itu, sangat menarik. Aku akan memberikan hadiah yang spesial untuk kali ini."
Bayangan itu perlahan menghilang, seakan melebur dengan kegelapan malam.
Tak lama setelah itu, suara ketukan terdengar dari pintu kamar. Seorang pelayan berbicara dengan nada hormat, "Yang Mulia, utusan dari Kerajaan Kuranji sudah tiba."
Raja menarik napas dalam dan berbalik, "Baiklah, bawa mereka ke ruang pertemuan."
Ruang Pertemuan Rahasia di Istana Kemiren
Dalam ruangan yang dijaga ketat, Raja Kemiren duduk di kursinya yang megah, menatap utusan dari Kerajaan Kuranji Armand silas dengan tatapan penuh wibawa. Suasana di dalam ruangan terasa tegang, dengan hanya suara kayu yang berderak di perapian yang terdengar di latar belakang.
Raja Kemiren membuka pembicaraan dengan nada tenang, "Seperti yang kau ketahui, tawaran aliansi ini bukan hanya tentang keuntungan ekonomi atau militer semata. Ini adalah respons terhadap ancaman yang semakin nyata terhadap keamanan nasional kita."
Utusan Kuranji Armand silas tetap menjaga ekspresinya tetap netral, namun dia tertarik dengan kata-kata raja. "Sumber ancaman seperti apa yang Yang Mulia maksud? Apakah ancaman itu berasal dari luar atau dari dalam negeri?"
Raja Kemiren menyandarkan tubuhnya pada kursi dan menjawab dengan tenang, "Ancaman bisa datang dari mana saja. Beberapa datang dari dalam, beberapa dari luar. Tapi dalam hal ini, kita berbicara tentang ancaman eksternal yang semakin lama semakin terlihat nyata."
Armand menatap raja dengan penuh selidik. "Apakah maksud Yang Mulia adalah… Kekaisaran?"
Raja Kemiren tidak ragu sedikit pun saat menjawab. "Iya."
Armand terlihat sedikit terkejut. Ia tidak menyangka raja akan begitu terbuka menyebutkan Kekaisaran sebagai ancaman. Biasanya, kerajaan-kerajaan kecil menghindari menyebut Kekaisaran secara langsung, apalagi dalam percakapan resmi seperti ini.
Setelah beberapa saat hening, utusan itu akhirnya berbicara dengan nada hati-hati. "Yang Mulia, dengan segala hormat… pernyataan seperti itu cukup berbahaya. Kekaisaran memiliki mata dan telinga di mana-mana. Apa yang membuatmu begitu yakin hingga berani mengatakan ini secara terbuka?"
Raja Kemiren tersenyum tipis, "Karena aku sudah cukup lama melihat bagaimana mereka memperlakukan kita. Kemiren dan kerajaan lain di sekitarnya terus diperlakukan tidak adil. Keputusan mereka semakin menunjukkan niat untuk memperketat kendali atas kita, bukan untuk membantu kita berkembang. Mereka ingin kita tunduk, bukan berdiri sejajar."
Armand menghela napas dalam. "Aku tidak bisa menyangkalnya… Tapi apakah tiga kerajaan lainnya melihat hal yang sama?"
Raja Kemiren menatapnya dengan percaya diri. "Besok pagi, pergilah ke dermaga. Aku akan menunjukkan sesuatu yang akan mengubah cara pandangmu… dan cara pandang mereka juga."
Utusan Kuranji Armand silas terdiam beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, Yang Mulia. Aku akan datang besok pagi. Aku ingin tahu apa yang membuatmu begitu yakin bahwa aliansi ini harus terbentuk."
Raja Kemiren mengangguk puas. "Bagus. Aku menunggumu di sana."
Dengan itu, utusan Kuranji bangkit dari kursinya dan meninggalkan ruangan. Sementara itu, Raja Kemiren kembali bersandar dan tersenyum tipis. "Aliansi ini… hanya masalah waktu."