Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEGELISAHAN LOLI
Sesampainya di rumah, Angga langsung menghampiri Ratna yang sedang duduk di ruang tengah dengan wajah masam. Ia tahu, tindakannya tadi di acara ulang tahun Arka sudah membuat suasana menjadi canggung, dan Angga tidak bisa lagi diam.
"Ibu, kenapa sih Ibu masih saja mencoba mengganggu Amira?" tanya Angga, mencoba tetap tenang meskipun nada suaranya sedikit meninggi.
Ratna menatap Angga dengan tajam. "Mengganggu? Aku nggak mengganggu! Aku hanya ingin Arka tinggal di sini, di rumah ayahnya. Apa itu salah?"
Angga menghela napas panjang. "Ibu, Arka masih kecil. Wajar saja Amira menolak. Dia butuh ibunya. Dan kalaupun aku ingin lebih dekat dengan Arka, itu harus dilakukan dengan cara yang baik, bukan dengan memaksakan sesuatu."
Ratna berdiri dari tempat duduknya dengan wajah kesal. "Kamu itu terlalu lembek, Angga! Itu anakmu, darah dagingmu. Kamu punya hak untuk membesarkannya!"
"Benar, Bu. Tapi membesarkan anak tidak hanya soal hak, tapi juga soal kesiapan dan kenyamanan. Jangan memaksakan sesuatu yang malah membuat semuanya jadi lebih sulit," jawab Angga tegas.
Ratna tidak menjawab. Ia hanya mendengus kesal sambil melipat tangannya. Melihat situasi semakin memanas, Angga memilih untuk mengakhiri percakapan.
"Sudahlah, Bu. Aku nggak mau terus berdebat. Aku keluar sebentar untuk menenangkan pikiran," katanya sambil mengambil jaketnya.
Ratna tidak menjawab, hanya melirik tajam saat Angga melangkah keluar rumah.
Angga mengendarai motornya menuju rumah Anjani. Ia merasa butuh seseorang untuk diajak berbicara, seseorang yang bisa membuatnya merasa lebih ringan. Sesampainya di rumah Anjani, ia mengetuk pintu pelan.
Anjani membukakan pintu dengan senyum ramah, meskipun terlihat sedikit terkejut. "Mas Angga? ada apa?"
Angga tersenyum kecil. "Aku cuma ingin ngajak kamu keluar sebentar. Mungkin cari makanan atau minuman. Aku butuh teman bicara."
Anjani mengangguk tanpa banyak tanya. "Tunggu sebentar ya, aku ambil tas."
Setelah Anjani siap, mereka berdua naik motor Angga menuju sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan yang cukup sepi. Angga memesan kopi hitam, sementara Anjani memesan teh manis hangat.
"Kalau ada masalah lebih baik berbagi cerita mungkin aku bisa sedikit membantu mu, Mas," ucap Anjani membuka percakapan.
Angga tersenyum pahit. "Ini soal Ibu ku yang membuat keributan di rumah Amira tadi. Ibu begitu ingin Arka tinggal di rumah. Aku tahu maksudnya baik, tapi caranya itu terlalu memaksakan."
Anjani mengangguk pelan. "Mungkin Bu Ratna merasa kehilangan banyak hal. Dia ingin lebih dekat dengan Arka, walaupun caranya nggak benar."
"Ya, aku paham. Tapi aku nggak mau memperkeruh hubungan dengan Amira lagi. Aku sudah cukup banyak salah di masa lalu. Aku ingin memperbaiki semuanya, walaupun mungkin itu nggak akan cukup," ujar Angga dengan nada menyesal.
Anjani menatap Angga dengan lembut. "Mas Angga, aku yakin Amira juga tahu bahwa Mas sedang berusaha. Mungkin perlu waktu, tapi yang penting Mas tetap konsisten dengan niat baik itu."
Angga tersenyum tipis. "Kamu selalu tahu cara membuat ku merasa lebih baik. Makasih ya, Anjani."
" Sama-sama, Mas."
Mereka berdua menghabiskan waktu malam itu dengan mengobrol santai, membahas banyak hal hingga suasana hati Angga sedikit membaik.
Meskipun Anjani berusaha terlihat tenang, ada sedikit rasa cemburu yang muncul di hatinya. Ia tahu betul bahwa perhatian Angga kepada Amira dan Arka tidak akan pernah hilang. Meskipun ia mencoba menerima kenyataan itu, terkadang perasaan tidak bisa sepenuhnya dikendalikan.
Ketika Angga mengantar Anjani pulang, Anjani berkata dengan nada bercanda, "Mas Angga, jangan terlalu keras pada diri sendiri ya. Nanti malah lupa kalau ada orang yang juga peduli sama Mas."
Angga tertawa kecil, meskipun tidak terlalu mengerti maksud Anjani. "Makasih, Anjani. Kamu teman yang baik."
Anjani hanya tersenyum kecil, menyembunyikan rasa yang semakin dalam di hatinya.
Keesokan paginya, suasana di toko mulai terasa hangat. Anjani dan Angga terlihat semakin akrab. Mereka saling berbagi cerita kecil sambil menyelesaikan pekerjaan di toko. Anjani, dengan senyum manisnya, selalu bisa membuat suasana menjadi ceria.
Rika, yang sedang merapikan pajangan di rak depan, tidak tahan untuk menggoda mereka. "Wah, Mas Angga dan Mbak Anjani ini cocok banget ya kalau jadi pasangan," katanya dengan nada bercanda sambil tersenyum lebar.
Angga hanya tersenyum tipis, sedikit malu dengan candaan itu. Sementara Anjani tertawa pelan, mencoba mengalihkan rasa canggung. "Aduh, Mbak Rika, jangan sembarangan ngomong begitu deh. Nanti Mas Angga salah paham," balas Anjani dengan nada bercanda juga.
Namun, di sudut toko, Loli yang sedang merapikan baju-baju tergantung hanya terdiam. Ia berpura-pura sibuk, meskipun pikirannya jauh melayang.
Dalam hati, Loli tidak bisa memungkiri bahwa Anjani adalah wanita yang baik. Sikapnya yang lembut dan sabar bahkan mengingatkannya pada Amira. Namun, Loli merasa ada kekhawatiran yang tidak bisa diabaikan. Ia tidak ingin kisah sedih Amira terulang lagi, terutama jika Anjani nantinya harus menghadapi Ratna yang masih memiliki pandangan sempit soal pasangan untuk Angga.
Loli juga sadar bahwa ia belum benar-benar mengenal siapa dan bagaimana latar belakang Anjani. Sementara Anjani terlihat sederhana, siapa tahu masa lalunya menyimpan sesuatu yang bisa menjadi masalah di masa depan? Loli hanya berharap Angga tidak terlalu cepat terbuai perasaan dan tetap berpikir realistis.
Di sisi lain, Anjani memang belum banyak berbicara tentang kehidupan pribadinya. Ia lebih sering mendengarkan cerita Angga atau membantu pekerjaan di toko. Namun, di balik senyumnya yang tenang, Anjani menyimpan masa lalu yang cukup kompleks. Ia berasal dari keluarga sederhana yang pernah hidup dalam kesulitan finansial. Karena itu, Anjani sangat mandiri dan tidak pernah berharap terlalu banyak dari orang lain.
Meski begitu, Anjani merasa ada kenyamanan saat bersama Angga. Sikap Angga yang hangat dan tanggung jawabnya terhadap keluarga membuat Anjani diam-diam mulai menyimpan rasa, meskipun ia tahu posisi dirinya sebagai karyawan di toko Angga.
Malam harinya, ketika toko sudah tutup dan mereka kembali ke rumah kontrakan, Loli memutuskan untuk berbicara dengan Angga. Setelah makan malam sederhana, Loli menghampiri kakaknya yang sedang duduk di ruang tengah.
"Mas Angga," panggil Loli pelan.
Angga menoleh, tersenyum. "Iya, kenapa, Loli?"
Loli duduk di samping Angga. "Aku mau ngomong soal Mbak Anjani. Mas nggak apa-apa, kan, kalau aku ngomong jujur?"
Angga mengangguk, penasaran. "Tentu aja. Ada apa dengan Anjani?"
"Dia orang yang baik, Mas. Aku bisa lihat itu dari caranya bekerja dan caranya memperlakukan orang lain. Tapi... aku cuma khawatir kalau nanti Ibu nggak setuju atau malah bikin masalah lagi, seperti waktu Mas masih sama Mbak Amira," ujar Loli dengan nada serius.
Angga terdiam sejenak. Ia mengerti kekhawatiran Loli, terutama mengingat sifat ibunya yang sulit menerima orang lain. "Aku paham kekhawatiranmu, Loli. Tapi kali ini, aku akan lebih berhati-hati. Aku nggak mau kejadian masa lalu terulang lagi. Lagipula, aku dan Anjani belum sejauh itu. Kami hanya teman kerja."
Loli mengangguk pelan. "Aku cuma berharap Mas nggak terlalu terburu-buru. Anjani memang baik, tapi kalau Ibu tahu, aku takut akan ada masalah lagi."
Angga tersenyum kecil, mencoba menenangkan adiknya. "Terima kasih, Loli. Aku akan ingat apa yang kamu bilang. Jangan khawatir, ya."
Sementara itu, Ratna yang mendengar percakapan di ruang tengah hanya terdiam di kamarnya.
Ratna masih berharap Angga bisa mendapatkan pasangan yang lebih kaya dan berpengaruh. Baginya, itu adalah satu-satunya cara untuk mengangkat kembali derajat keluarga mereka. Namun, ia juga sadar bahwa Angga semakin sulit dikendalikan.