Tiga gadis desa yang memiliki pemikiran sama, tidak mau menikah muda layaknya gadis desa pada umumnya. Mereka sepakat membuat rencana hidup untuk mengubah citra gadis desa yang hanya bisa masak, macak dan manak di usia muda, menjadi perempuan pintar, santun, dan mandiri.
Nayratih, dan Pratiwi terlahir dari keluarga berada, yang tak ingin anak mereka menikah muda. Kedua orang tua mereka sudah berencana menyekolahkan ke luar kota. Terlebih Nayratih dan Pratiwi dianugerahi otak encer, sehingga peluang untuk mewujudkan citra perempuan desa yang baru terbuka lebar.
Tapi tidak dengan, Mina, gadis manis ini tidak mendapat dukungan keluarga untuk sekolah lebih tinggi, cukup SMA saja, dan orang tuanya sudah menyiapkan calon suami untuk Mina.
Bagaimana perjuangan ketiga gadis itu mewujudkan rencana hidup yang mereka impikan? ikuti kisah mereka dalam novel ini.
Siapkan tisu maupun camilan.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGAKUAN
Nanti malam aku kos kamu.
Begitu jawaban Mina, pesan dikirim kapan dibalas kapan, bahkan Tiwi sudah tak menunggu balasan Mina. Mulai kecewa dengan sikap Mina. Harusnya kalau ada masalah, orang yang pertama kali ia temui adalah Tiwi dan Nay. Bukankah mereka sudah mengaku keluarga. Kenapa harus mengambil jalan sendiri yang belum tentu baik untuk Mina.
Meski kecewa, Tiwi tetap Tiwi yang masih menganggap Mina sebagai sahabat, ia pun membalas pesan Mina, aku tunggu.
Pulang kuliah ia tak mampir ke mana-mana, hanya membeli camilan untuk menemani curhat mereka. Siska mengajak jalan-jalan ke mall di tolak Tiwi demi kedatangan Mina.
Selepas Maghrib, Tiwi terus menunggu Mina. Sang sahabat tidak memberi jawaban ditanya datang kapan, apalagi hujan. Tiwi semakin cemas, jadi ke sini apa tidak.
Menjelang jam 9, ada sebuah mobil sedan hitam mewah, berhenti di depan pagar kos. Tiwi melihatnya, dan dia kaget karena yang keluar adalah sang sahabat, Mina.
Mencoba berpikir positif, itu adalah taksi online. Tapi kok aneh keluar dari kursi depan, pasti Mina duduk di sebelah sopir, kan? Emang wajar ya duduk samping sopir di taksi online? Ah Tiwi kacau.
"Siapa?' tanya Tiwi dengan bersidekap, sinis juga.
Tahu respon Mina, hanya tersenyum dan langsung masuk kamar Tiwi, sembari membawa paper bag berisi makanan.
"Ngapain bawa makanan begini? Ini mahal loh!" sindir Tiwi jutek. Mina masih tersenyum, mungkin paham bila sang sahabat sedang marah. Tak perlu diambil hati.
"Makan aja! Ini halal kok, dapatnya juga halal, daei suamiku!"
Jeder terkewer kewer. Tiwi melongo, rasanya jantung Tiwi tiba-tiba berhenti seketika. Pengumuman macam itu dari mulut Mina.
"Kaget ya? Aku sendiri saja kaget dengan status istri orang. Lebih tepatnya istri kedua!"
Makin lebar saja mata Tiwi, serasa bakal copot. Saking kagetnya. "Min?"
Aneh saja, Mina menjelaskannya to the point dan lagi ekspresinya biasa, datar, tanpa ada air mata. Gila gak sih.
"Aku salah, Wi. Aku salah banget, tapi aku kepepet!"
Baiknya Tiwi, tak memotong dengan segala perdebatan sebelum Mina menyelesaikan penjelasannya.
"Kamu tahu kan, ayahku kena kanker hati, Risma dipulangkan oleh Pak Samsul. Keluargaku butuh duit, dan yah aku mau menjadi istri kedua demi duit. Kejam ya ternyata dunia ini. Aku gak nyangka bakal menjalani kehidupan kelam seperti ini."
Tiwi masih diam, dengan menatap Mina intens. Ia masih tak percaya. Ini mimpi gak sih. Kenapa sang sahabat bisa mengaku tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun.
"Kenapa kamu gak nangis cerita begini?" tanya Tiwi, justru dirinya malah yang berkaca-kaca. Kecewa, marah, iba bercampur jadi satu dalam benak Tiwi. Garis takdir sekejam ini kenapa dia gak bisa bantu sang sahabat.
"Udah capek menangis, Wi! Bahkan tiap sebelum tidur, aku menangis sendiri. Kenapa aku yang menjalani takdir seperti ini."
"Min, aku...aku gak percaya kamu seperti ini!" Tiwi sampai menggelengkan kepala dan memijitnya.
"Jangan kamu, Wi. Sampai detik ini pun aku gak percaya aku jadi perempuan seperti ini."
"Kenapa gak cerita. Aku punya warisan, Min. Setidaknya bisa kamu pinjam dulu."
"Pinjam? Terus aku bisa mengembalikan uang sebanyak itu kapan, Wi. Di saat kamu butuh, tapi aku belum bayar hutang, pasti aku akan merepotkan kamu."
"Ya tapi bukan dengan cara seperti ini, Min. Kalau kamu nanti ketahuan istri pertama bagaimana? Asli, Min. Aku gak setuju cara kamu. Kamu sendiri wanita, caramu seperti ini pasti akan menyakiti wanita lain."
"Justru aku disuruh istri pertama."
Tiwi menutup mulutnya rapat. Kok bisa? Sejak kapan ada istri pertama dengan legowo meminta suaminya menikah lagi. Sebaik-baiknya wanita yang memikirkan akhirat tidak akan mungkin memberikan madu dalam rumah tangganya. Poligami memang diperbolehkan, tapi alangkah baiknya merawat amanah tanpa ada madu. Kalau pun saat ini diizinkan, apakah bisa menjamin suatu hari tetap sama. Hati orang mana ada yang tahu.
"Gak mungkin. Gak ada wanita di dunia ini yang mau dimadu, Mina!"
"Ada, dan itu bosku."
"Agak lain bos kamu."
"Memang, sampai aku terjebak dalam rencananya."
"Rencana? Kamu dijebak?"
Mina menggeleng. Ia pun menceritakan kronologi nya menjadi istri kedua, bahkan ia menunjukkan foto surat perjanjian yang sudah ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Kepala Tiwi semakin berat, sumpah pusing. Ternyata ada ya alur cerita kehidupan seperti ini. Berat cuy. Kamu punya uang, kamu bisa membeli hidup seseorang.
"Gila!"
"Banget. Cuma sudah terlanjur tinggal menjalani."
"Hati kalian ini terbuat dari apa sih? Pernikahan kalian permainkan demi uang. Bahkan bayi dalam kandungan pun nanti akan diperjual belikan juga. Otak kamu waras gak sih, Min!" Tiwi mulai emosi setelah membaca perjanjian itu.
"Jadi orang jangan segoblok itu. Kamu tahu karma kan, Min?"
"Iya aku tahu!"
"Kamu mikirin orang tua kamu gak? Seandainya mereka tahu apa mereka gak marah, kamu berkorban demi mereka dengan menjual harga diri!"
"Mereka gak akan marah, Wi. Mereka gak akan juga terimakasih, kamu tahu ayahku bagaimana. Yang penting uang. Dulu saja, kita sudah mengingatkan jangan mabuk-mabukkan tapi ternyata masih saja mabuk, hingga efeknya aku yang menanggung. Sebenarnya apa salah aku sampai aku harus menjalani takdir seperti ini."
"Ini memang bukan salah kamu, tapi otak kamu yang harusnya dibenerin dulu. Ubah pola pikir agar hidup kalian tidak terfokus masalah uang."
"Kamu gampang ngomong gitu, Wi. Karena kamu gak mengalami."
"Iya memang aku gak mengalami dan jangan sampai mengalami, tapi kamu harusnya pakai otak kamu. Kalau kamu kepepet setidaknya kamu bilang aku, uangku masih ada Mina! Aku sudah bilang kalau ada apa-apa bilang, kita pikir sama-sama agar ada solusi yang baik. Bukan kayak gini, kamu ngerti gak sih!"
Tok tok
"Wi, jangan keras-keras ya. Besok aku ujian nih!" pertengkaran mereka mengganggu tetangga kos Tiwi, mau tak mau debat malam ini harus slow motion.
"Iya, Mbak!" sahut Tiwi dengan mengatur nafas, "Maaf!" ucapnya sembil menatap jengkel Mina.
"Aku gak tahu ya Min, kayaknya aku gak ada gunanya jadi sahabat kamu."
"Ya maaf, Wi. Sungguh, aku tak mau ada yang dirugikan dari persahabatan kita."
Tiwi tertawa sinis, "Gak ada yang dirugikan? Maksud kamu? Masalah kamu ini gak merugikan kita bertiga? Kamu salah. Sejak kamu ke sini, pakai baju branded bahkan ponsel kamu apel tergigit, aku jadi kepikiran kamu. Dari mana kamu dapat semua barang itu. Aku cerita sama Nay, dan dia juga sedih, ternyata omongan mama Nay benar."
"Tentang?"
"Kamu dididik menjadi pelakor. Bahkan aku menilai kamu dididik menjadi pelac*r."
"Tiwi!" percayalah, sekejam apapun takdir menjadi istri kedua akan kalah dengan ucapan Tiwi, sang sahabat. Tak menyangka Tiwi akan menyalahkannya sampai serendah ini.
Marah? Mina memaklumi.
Menyebut pelac*r itu sungguh keterlaluan. Mina sakit hati akan hal itu. Sungguh, ia tak mengira Tiwi bisa tega menyebutnya seperti itu.