Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta bertepuk sebelah tangan
Juan duduk di sebuah kursi sembari mengamati Amara yang sibuk menyusun obat-obatan pada tempatnya.
Tubuhnya yang mungil tampak begitu gesit saat bergerak. Didukung dengan tangan dan kaki yang cekatan, Amara begitu cepat menyelesaikan pekerjaannya.
Jilbab yang menutupi kepala seolah tak menjadi penghalangi baginya untuk bergerak. Juan selalu merasa nyaman saat berada di samping Amara melebihi rasa nyaman yang ia dapat saat bersama kekasihnya.
Bersama Amara Ia mendapatkan keteduhan hati. Bahkan suara gadis itu kian hari kian terdengar merdu menyapa telinganya..
Diam-diam Juan tersenyum geli melihat Amara berjinjit-jinjit. Gadis cantik itu memaksakan tubuh mungilnya untuk mengambil sesuatu meski tak sampai.
Amara menoleh ke belakang dan menatap Juan yang tengah duduk mengamatinya sambil bersedekap dada. "Juan ,,," panggilnya dengan nada manja.
Juan bergeming. Ia mengedikkan dagu sambil menaikkan alisnya, seolah mengisyaratkan agar Amara mengatakan keinginannya.
"Bisa bantu aku mengambil kotak itu?" tunjuk Amara pada sebuah kotak yang tak bisa ia raih.
"Kau bilang hanya ingin aku menemanimu, tapi kenapa kau malah ingin aku membantumu juga, hah?" tanya Juan dengan nada memprotes.
Amara memberengut sedih. "Kau tidak mau membantuku?"
Juan mendesah pelan. "Iya, iya, aku bantu," ucap Juan seraya bangkit, lantas berjalan mendekati Amara dengan malas. "Yang ini?" tanyanya sambil menunjuk sebuah kotak.
"Iya." Amara menjawab sambil mengangguk mantap. Sesaat kemudian ia menerima kotak itu dari tangan Juan dengan pandangan mata berbinar senang. "Terima kasih ,,," ucapnya riang sambil nyengir.
"Hemmm," Juan hanya menggumam sebagai jawaban.
"Eitt," Amara menarik kemeja Juan saat lelaki itu melangkah hendak kembali ke kursinya.
Juan menoleh dan menatap Amara dengan wajah malas. "Apa lagi?"
"Lagi ,,,."
Juan mendesah pelan, lantas berbalik badan dan mendekati rak. "Yang mana?" tanyanya sambil mengangkat tangan, siap untuk mengambilkan barang yang Amara inginkan.
"Yang itu, itu dan itu. Terus yang sebelah situ juga," jawab Amara sambil menunjuk beberapa macam warna kotak seenaknya.
Juan menurunkan tangannya lalu berkacak pinggang. "Tuh, kan. Sudah di kasih hati minta jantung pula! Ngelunjak lama-lama, ya!" ketusnya sambil menggeleng pelan. "Banyak amat situnya."
"Kan memang itu yang aku perluin ,,,."
"Enggak, enggak! Enak aja main suruh-suruh. Ambil aja sendiri!"
"Kan aku nggak nyampe."
Juan menghela napas kasar lalu bergerak membungkukkan badan. Sontak Amara langsung melotot kaget saat Juan merengkuh kaki lalu membopongnya.
"Juan! Apa-apaan ini! Turunin nggak!" teriak Amara panik sambil gelagapan mencari pegangan. Berada dalam rengkuhan Juan sontak membuatnya gemetaran. Takut jika tiba-tiba pria itu menjatuhkannya.
"Aku tidak mau terus-terusan kau suruh. Sekarang ambil saja sendiri kotak itu! Pilihan sendiri mana yang kau inginkan."
"Tapi nggak harus digendong juga, kali!"
"Jadi ngambil, nggak? Kalau nggak mau ya udah, aku turunin, nih!"
"Eh, bentar-bentar! Jangan ngambekan, dong."
"Cepat! Jangan dilama-lamain! Kayaknya suka banget lama-lama aku gendong," goda Juan di bawah sana sambil mengulum senyumnya.
"Ish, apaan sih! Kamu kali yang modus!" gerutu Amara sambil menjangkau barang yang ingin diambilnya.
"Nggak ada ahlak memang. Orang aku ngebantunya tulus, malah dikatain modus."
Amara tersenyum. Sudah lengkap barang yang dibutuhkannya, ia pun menunduk menatap Juan. "Aku sudah berhasil ambil kotaknya, sekarang turunkan aku, ya," pintanya kemudian.
Juan segera menurunkan Amara dengan perlahan. Entah mengapa tiba-tiba keduanya merasa canggung saat saling berpandangan. Sama-sama kikuk, kemudian saling membuang muka.
"Emmm, a-aku akan bergerak cepat biar pulangnya bisa cepat." Suara Amara terdengar gugup saat mengatakannya. sementara Juan hanya mengangguk mengiyakan. Pria itu lantas kembali ke kursinya, sedang Amara kembali melanjutkan pekerjaannya .
***
"Silahkan," ucap pelayan kedai dengan ramah saat mengantarkan bakso pesanan Amara dan Juan ke meja mereka.
"Terima kasih ,,," balas Amara girang sembari tersenyum. Ia menarik satu mangkok lalu mengangsurkannya ke depan Juan, dan satu mangkok lagi untuk dirinya sendiri. "Hemmm ,,, mantap." ucapnya seraya menghirup aroma dari uap bakso yang masih mengepul.
"Aromanya sedap, ya," ujar Juan sambil menyodorkan sendok dan garpu pada Amara.
"Terima kasih." Amara menerima sendok itu dan langsung menancapkan garpunya pada salah satu bakso.
Juan hanya geleng-geleng kepala menatap Amara yang tampak tergesa-gesa menyantap baksonya.
"Huhah, panas." Amara mengibas-ngibaskan tangan ke arah mulutnya yang ternganga, seolah sedang menghantarkan angin ke mulutnya yang kepanasan.
"Pelan-pelan Mara! Nggak perlu buru-buru!" Juan yang panik segera meraih tisu lalu menempelkannya di mulut Amara. "Muntahkan disini!" titahnya dengan tangan yang menadah.
"Jangan! Sayang, tau," tolak Amara sembari tetap mengunyah bakso di dalam mulutnya. Ditepisnya tangan Juan agar menjauh dari mulutnya. "Sudah, aku tak apa-apa," ucapnya meyakinkan.
Juan menarik tangannya dan menatap Amara penuh kemarahan. "Kenapa harus menyiksa mulutmu seperti itu? Kau bisa minta tambah kalau merasa belum kenyang."
"Benarkah?" tanya Amara sambil mengerlingkan mata. Entah mengapa walaupun Juan marah ia justru semakin suka. Sebab di balik kemarahan Juan, selalu mengandung sejejak kepedulian pada dirinya. "Ah, senangnya. Tapi sayangnya aku tak serakus itu. Semangkuk saja bagiku sudah cukup, kok."
Amara menyuapkan kuah bakso ke mulut lantas mengecap rasanya. "Ah masih kurang pedas," ucapnya. Lalu ia menambahkan sambalnya lagi.
"Kau terlihat seperti sedang kelaparan. Berapa hari kau tak makan?" tanya Juan dengan nada mengejek.
Amara yang sedang mengunyah itu seketika berhenti. Ia mengangkat pandangan dan menatap Juan dengan mimik kesal. "Kau mengejekku?" tanyanya dengan bibir manyun.
"Bukan mengejek. Kau jelas-jelas terlihat sedang kelaparan!"
"Hehe, aku memang belum makan sejak sarapan pagi tadi," jawab Amara sambil nyengir.
"Cih, tebakanku benar, kan! Kau terlihat seperti seminggu tidak makan!"
"Hey! Aku hanya melewatkan makan siang! Bukannya seminggu tidak makan!" protes Amara dengan mulut penuh makanan. Hingga membuat bibirnya kotor oleh sisa makanan.
Juan hanya mendesah pelan, menatap sahabatnya itu sambil menggeleng heean. Ia kembali meraih tisu dan menyapukannya di bibir Amara. Gadis itu hanya nyengir dan pasrah saat Juan membersihkan cemong di mulutnya.
"Kau ini wanita, bisa tidaksih, ja'im sedikit dihadapan lelaki?" Juan meremas tisu kotor itu lalu melemparnya pada bak sampah.
"Kau kan bukan kekasihku, untuk apa aku harus ja'im di depanmu? Kita sudah mengenal sejak SMP, kau tentu tahu seperti apa aku luar dalam."
"Walau aku bukan kekasihmu, tapi aku ini tetap laki-laki! Apa kau tidak menganggap aku sebagai laki-laki?"
"Siapa juga yang mengatakan kalau kau ini wanita?" Amara tertawa saat Juan cemberut. "Aku akan ja'im di depan kekasihku, nanti. Jadi kau tenang saja, ya. Aku masih wanita normal, kok." Amara tersenyum, lalu kembali fokus pada mangkoknya.
"Kau mau mencicipi punyaku? Yang ini lebih enak, loh." Seperti membujuk anak kecil, Juan mengiming-imingi Amara dengan bakso dimangkoknya yang masih utuh.
"Kau saja belum makan, bagaimana kau tahu itu enak?"
"Mau tidak?" Juan mengulang pertanyaannya lagi. Ia menusuk satu bola bakso lalu menyodorkannya pada Amara.
"Mau." Amara menjawab singkat. Ia membuka mulutnya seolah mengisyaratkan agar Juan menyuapinya. "Hemm, beneran enak loh!" serunya. Amara kemudian mengambil bakso dari mangkuknya, lantas menempelkannya di bibir Juan.
Juan menautkan alis selagi menatap bakso di tangan Amara. "Apa ,,,?" tanyanya bingung.
"Buka mulutmu," perintah Amara dengan mata melotot seperti memaksa. Meski awalnya ragu, tapi pada akhirnya pria bersurai hitam itu mengikuti keinginan Amara. "Aaah, anak pintar," sanjung Amara sambil tertawa senang karena pada akhirnya ia berhasil membuat Juan makan.
Juan terlihat kesal karena ditertawakan Amara. Sambil mengunyah, ia meraih tisu kemudian mengusap bibirnya yang basah. "Kau memperlakukan ku seperti anak kecil," gumamnya pelan.
"Lalu menurutmu, kau memperlakukanku seperti apa? Sikapmu bahkan terlalu posesif padaku. Apa kau tau, kau sudah seperti ibuku saja." Amara terkekeh setelah mengucapkannya, seolah perkataannya tadi begitu menggelikan. "Tapi aku suka, karena di balik itu kau begitu tulus menyayangiku."
Juan hanya mencebik melihat Amara tertawa. Diraihnya es teh di sisi kanan, lantas menyeruputnya untuk membasahi tenggorokan.
"Juan ,,," panggil Amara lembut, hingga membuat Juan langsung menatapnya penuh tanda tanya. Perubahan mimik wajah gadis itu begitu tiba-tiba, dari yang semula tertawa geli kini tampak sendu dan menatapnya penuh arti.
"Hemmm," balas Juan. "Apa?" tanyanya kemudian.
"Terima kasih selalu menjadi teman serta pelindungku selama ini, ya."
Juan hanya terpaku sambil menatap jemari selembut sutra milik Amara menggenggam tangannya dengan erat. Tak bisa menjawab dengan kata, ia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Entah Amara sadari atau tidak, tindakannya itu memunculkan desiran lain di dada Juan. Jantungnya mendadak berdebar hebat saat mata Amara menatapnya lekat.
Namun sayang, Amara hanya menganggapnya tak lebih dari seorang teman. Andai gadis itu tahu jika Juan menginginkan lebih, mungkin selama ini Juan tak perlu merasakan cinta bertepuk sebelah tangan.
Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di hati Juan saat ini. Sebuah rasa yang sejak dulu ada dan hingga kini semakin membara. Meski ia memiliki kekasih, namun hati dan perasaan Juan tak pernah berpaling dari Amara. Dialah gadisnya. Amara lah sumber kebahagiaan Juan.
"Maaf," lirih Amara dengan mata yang berkaca-kaca.
"Maaf?" tanya Juan dengan alis yang bertaut. "Maaf untuk apa?"
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨