Diputuskan begitu saja oleh orang yang sudah menjalin kedekatan dengannya selama hampir tujuh tahun, membuat Winda mengambil sebuah keputusan tanpa berpikir panjang.
Dia meminta dinikahi oleh orang asing yang baru saja ditemui di atas sebuah perjanjian.
Akankah pernikahannya dengan lelaki itu terus berlanjut dan Winda dapat menemukan kebahagiaannya?
Ataukah, pernikahan tersebut akan selesai begitu saja, seiring berakhirnya perjanjian yang telah mereka berdua sepakati?
Ikuti kisahnya hanya di lapak kesayangan Anda ini.
Jangan lupa kasih dukungan untuk author, ya. Makasih 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tunjukkan Pesonamu!
"Kita ke makam Papa dulu, Sayang," kata Bisma ketika mereka tengah berjalan melintasi jalan setapak di tengah pemakaman.
"Baik, Ayah."
"Kok, bilangnya sama Arsen Papa, sih, Mas? Harusnya 'kan, Kakek atau Opa?" protes Winda setelah berbalik dan berhenti sejenak menatap Bisma.
Bisma sempat menautkan kedua alisnya, tapi sedetik kemudian lelaki itu tersenyum. "Sudah kuduga. Selain kamu nggak menyimak informasi yang dibacakan penghulu, kamu juga nggak pernah membuka buku nikah kita."
"Maksud Mas Bisma?"
"Dah. Yuk, jalan lagi! Nanti kamu juga bakal tahu sendiri."
Karena Winda masih mematung, Bisma kemudian mendahului langkah wanita itu. Kini, Bisma yang berjalan di depan. Di belakangnya, Arsen mengekor sambil menyeret pelan lengan Winda karena wanita itu sepertinya masih memikirkan perkataan Bisma barusan.
"Pa, kami datang," kata Bisma yang kemudian segera berlutut di atas rerumputan hijau di samping batu nisan yang bertuliskan nama Sanjaya Adiputra.
"Tapi kali ini, kami tidak hanya datang berdua, Pa. Kami juga mengajak Bunda Winda," sambung Arsen seolah memperkenalkan Winda.
"Bunda Winda ini istri Ayah Bisma, Pa. Bunda Winda cantik banget, kayak Mama," lanjutnya sembari menoleh ke arah Winda, lalu tatapan bocah kecil itu kembali tertuju pada batu nisan yang dia pegang.
Tangan kecilnya kemudian bergerak pelan, mengusap batu nisan tersebut. "Papa pasti senang, kan, karena Ayah Bisma sekarang tidak sendirian lagi merawat Arsen? Arsen pun senang, Pa, karena Bunda Winda sangat sayang sama Arsen."
Winda tersenyum mendengar perkataan bocah laki-laki yang sangat menggemaskan baginya itu. Namun, senyum Winda seketika sirna dan berganti dengan tatapan penuh tanya yang tertuju pada Bisma ketika terdengar Arsen kembali bersuara.
"Papa harus bantu Arsen berdoa agar Ayah Bisma dan Bunda Winda bisa segera punya bayi karena Arsen sudah tidak sabar pengen dipanggil Om. Sama seperti Om Nick. Dia bilang, dipanggil Om itu rasanya sangat menyenangkan."
Sementara Bisma dalam hati merutuki Nicholas. Sahabat baiknya yang senang sekali meracuni pikiran Arsen.
"Ayo, kita berdoa, Sayang."
Untuk menghentikan agar Arsen tidak terus berbicara, Bisma segera memimpin berdoa untuk sang papa, sekaligus sang mama yang makamnya berdampingan.
"Apa yang kamu dengar barusan, itulah kebenarannya," kata Bisma, menjawab keingintahuan Winda melalui tatapannya setelah mereka selesai berziarah ke makam papa dan mamanya Bisma.
"Arsen itu adiknya Mas Bisma?" bisik Winda setelah Arsen masuk terlebih dahulu ke dalam mobil. Wanita itu hendak memastikan dan Bisma menjawab dengan anggukan.
"Jadi, Mas Bisma bukan duda?" tanya Winda yang masih tidak percaya.
"Apa tampangku setua itu?" tanya Bisma sambil tangannya mengungkung tubuh Winda pada body mobil.
Winda menggeleng. "Bukan begitu, Mas. Aku mengira Mas Bisma adalah duda karena Arsen manggil Mas dengan sebutan ayah."
"Duda tajir?" tanya Bisma lagi sambil tersenyum nyengir. Senyum, yang baru kali ini dilihat oleh Winda. Bisa jail juga ternyata suaminya itu. Begitu pikir Winda.
"Awalnya iya, saat melihat mobil mewah Mas dan unit apartemen yang Mas Bisma tinggali. Tapi kemudian berubah, ketika Arsen menyebut nama Bos Nick-Bos Nick. Kukira, Mas itu sopirnya," terang Winda sejujurnya.
"Karena itulah aku berani menawarkan perjanjian nikah. Kalau saja aku tahu Mas masih perjaka dan ternyata bukan orang sembarangan, aku nggak mungkin berani kurang ajar," lanjutnya sambil tertunduk, malu.
"Maaf, ya, Mas," pinta Winda setelah kembali mengangkat wajahnya. "Jika Mas merasa nggak nyaman dengan apa yang telah aku lakukan, perjanjian itu masih berlaku —"
"Aku bahkan langsung menyobek surat perjanjian yang kamu berikan malam itu," sahut Bisma dengan tatapan dalamnya. Sementara wajahnya semakin mendekat ke wajah Winda yang kini telah merona karena sedari tadi Bisma terus menatapnya.
Winda mengernyit, membalas tatapan Bisma. Dia pun teringat dengan kejadian malam itu. Setelah mengetik surat perjanjian tersebut di ruang kerja yang dia sangka milik Nicholas, Winda kemudian memberikan surat yang asli pada Bisma. Sementara duplikatnya dia sendiri yang pegang. Dan ketika Bisma menerima lembar putih bermaterai itu, wajah lelaki tersebut terlihat keruh.
Kala itu, Briana tak mau ambil pusing dengan ekspresi Bisma. Dia pikir, wajah Bisma memang sudah setelannya seperti itu. Jika nggak keruh, ya, datar. Sungguh minim ekspresi. Tak seperti sekarang ini, di mana Bisma sudah mulai sering tersenyum meski samar.
Tapi ternyata, laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu tak pernah menganggap pernikahan mereka sebagai pernikahan di atas perjanjian.
"Maksud Mas?" tanya Winda hendak memastikan apa yang sedang dia pikirkan saat ini.
"Aku benci dengan orang yang suka mempermainkan sesuatu yang sakral."
Jawaban Bisma barusan sudah cukup menjelaskan jika apa yang Winda pikirkan benar adanya. Wanita itu pun merasa sangat lega karena dia pun berpikir sama.
"Em ... Mas mau ngapain?" tanya Winda gugup ketika jarak wajah Bisma kini hanya beberapa inci saja dari wajahnya. Winda bahkan dapat merasakan embusan hangat napas Bisma. Dan hal itu membuat jantung Winda tidak baik-baik saja.
"Ya, Tuhan. Jaga jantungku."
Debaran di dada Winda itu semakin mengencang ketika Bisma tidak menjawab pertanyaannya, tapi malah semakin mendekatkan wajah. Seketika, Winda memejamkan mata.
Sedetik, dua detik, hingga beberapa saat berlalu, ternyata apa yang Winda nanti tidak terjadi. Winda kemudian membuka matanya. Dan betapa malu Winda kala mendapati Bisma tengah tersenyum menatapnya. Senyuman menggoda pastinya.
"Apa Nyonya Bisma udah nggak sabar pengen di-kiss?"
Benar dugaan Winda. Suaminya itu benar-benar meledeknya. Winda pun cemberut. Lalu berusaha membuka pintu mobil.
"Kamu kalau ngambek dan bibirnya manyun gitu, makin nggemesin," kata Bisma yang seketika mampu mengubah cemberut di wajah Winda menjadi rona bahagia.
Di saat Winda tengah berbunga-bunga, hal berbeda terjadi di ruang perawatan khusus Lisa. Dua orang yang baru saja bergelut dan berbagi kenikmatan itu masih dilanda kepanikan. Pasalnya, pintu ruangan itu masih terus digedor dan orang yang berada di luar sana memanggil nama Roland.
"Cepat, lakukan, Lis!" seru Roland dengan panik.
"Nggak, Land! Nggak mungkin aku melukaimu," tolak Lisa dengan tubuh gemetaran. Wanita itu tentu tak kalah panik dari Roland.
"Tapi ini satu-satunya cara, Lisa! Cepat lakukan! Cakar wajahku dan tunjukkan pesonamu!"
"Aw!" Roland mengaduh ketika kuku panjang Lisa mencakar wajahnya.
Tepat di saat yang sama, pintu ruangan itu didobrak dari luar ...
bersambung ...
orang begitu kok d dkasih nafas.. 😠 semoga ada balas ats perbuatan mereka.
Semoga Bisma segera menyadari, biar gak usah bertanggungjawab atas dasar janji kepada orang tua Lisa.
Jgn smp deh Bisma kelamaan percaya sm perempuan ulet kadut modelan Lisa begini.. Cepet kebongkar deh kelakuannya.. 😡😡😡