Judul: Bunga yang Layu di Hati Sahabat
Sasa dan Caca adalah sahabat karib sejak SMA. Mereka selalu bersama, berbagi impian, tawa, dan bahkan tangis. Sasa, yang dikenal lembut dan penuh kasih, melanjutkan hidupnya dengan menikahi Arman setelah menyelesaikan kuliah nya, pria yang selama ini menjadi cinta sejatinya. Sementara itu, Caca, yang masih berjuang menemukan cinta sejati, sering merasa kesepian di tengah gemerlap kehidupannya yang tampak sempurna dari luar.
Namun, retakan mulai muncul dalam hubungan persahabatan mereka ketika Caca diam-diam menjalin hubungan terlarang dengan Arman. Perselingkuhan ini dimulai dari pertemuan yang tak disengaja dan berkembang menjadi ikatan penuh godaan yang sulit dipadamkan. Di sisi lain, Sasa merasa ada sesuatu yang berubah, tetapi ia tak pernah membayangkan bahwa sahabat yang paling dipercayainya adalah duri dalam rumah tangganya.
Ketika rahasia itu terungkap, Sasa harus menghadapi penghianatan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon icha14, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jejak harapan
Arman duduk di meja makan sambil membuka peta digital di laptopnya. Ia sudah lama memikirkan ide ini, tapi baru sekarang punya keberanian untuk mengungkapkannya.
“Sa,” panggil Arman hati-hati, “aku pikir... kita butuh waktu buat berdua. Jauh dari semuanya.”
Sasa menoleh dari dapur, alisnya terangkat. “Maksud kamu?”
“Liburan. Aku sudah cari tempat. Enggak jauh, cuma tiga hari dua malam. Aku pikir ini bisa jadi kesempatan buat kita... mulai dari awal.”
Sasa mengernyit. Liburan terdengar menyenangkan, tetapi ia juga khawatir. Apakah ini akan mengubah apa pun?
“Kamu serius, Mas?” tanyanya pelan.
Arman mengangguk mantap. “Aku serius, Sa. Aku tahu ini enggak akan langsung memperbaiki semuanya. Tapi aku ingin kita coba. Aku ingin kita punya momen berdua lagi, tanpa beban.”
Sasa terdiam. Ia memikirkan tawaran itu, mencoba menilai apakah hatinya siap. Namun, saat ia melihat kesungguhan di mata Arman, ia merasa ada harapan kecil yang mulai tumbuh.
“Baiklah,” jawab Sasa akhirnya. “Tapi jangan terlalu banyak rencana. Aku enggak mau kecewa kalau ada yang enggak sesuai.”
Arman tersenyum lega. “Aku janji, Sa. Kita lakukan ini tanpa tekanan.”
Beberapa hari kemudian, mereka berangkat ke sebuah vila di kawasan pegunungan yang pernah mereka kunjungi saat bulan madu. Perjalanan ditempuh dengan mobil, membawa mereka melewati jalan-jalan berliku dan pemandangan alam yang memanjakan mata.
“Masih ingat jalan ini?” tanya Arman sambil tersenyum kecil.
Sasa mengangguk, meskipun hatinya masih terasa canggung. “Iya. Waktu itu kita nyasar karena kamu salah baca peta.”
Arman terkekeh. “Benar juga. Tapi nyasar itu malah jadi bagian yang paling seru, kan?”
Sasa tersenyum samar. Ia tak bisa menyangkal bahwa kenangan itu memang indah.
Setibanya di vila, udara dingin khas pegunungan menyambut mereka. Vila itu sederhana tapi nyaman, dengan balkon yang menghadap ke lembah hijau.
“Tempat ini masih sama seperti dulu,” kata Sasa sambil menghirup udara segar.
Arman berdiri di sampingnya, mencoba menangkap momen ini sebagai awal yang baik. “Aku harap tempat ini bisa mengingatkan kita... tentang apa yang dulu kita punya.”
Di malam pertama, mereka duduk di depan perapian sambil menyeruput cokelat panas. Awalnya, percakapan mengalir ringan, membahas tentang pekerjaan dan hal-hal kecil lainnya. Namun, Arman tahu ada sesuatu yang lebih penting yang harus mereka bicarakan.
“Sa, aku sudah lama ingin ngomong sesuatu,” ujar Arman pelan.
Sasa menatapnya hati-hati. “Apa itu, Mas?”
“Aku tahu aku belum jadi suami yang baik. Dan aku tahu aku masih punya banyak hal yang harus aku perbaiki. Tapi... aku ingin kita mulai memikirkan masa depan kita lagi. Termasuk soal punya anak.”
Ucapan itu membuat Sasa tertegun. Ia tahu pembicaraan ini akan datang cepat atau lambat, tetapi mendengarnya secara langsung tetap terasa berat.
“Mas, aku bahkan enggak yakin hubungan kita sudah cukup kuat untuk itu,” jawabnya jujur.
Arman menunduk. “Aku ngerti, Sa. Aku enggak mau memaksakan apa pun. Tapi aku pikir, memulai keluarga... mungkin bisa jadi alasan tambahan buat kita terus berjuang. Anak bisa jadi pengingat bahwa kita enggak sendirian.”
Sasa menggeleng pelan. “Mas, aku takut. Aku takut kita enggak siap, dan akhirnya malah melukai anak itu juga.”
Arman meraih tangan Sasa, menggenggamnya erat. “Aku juga takut, Sa. Tapi aku enggak mau terus-terusan hidup dalam ketakutan. Aku mau kita coba. Kalau memang belum waktunya sekarang, aku akan tunggu. Tapi aku mau kamu tahu, aku masih punya mimpi itu dengan kamu.”
Air mata menggenang di mata Sasa. Ia merasa tersentuh, tetapi juga terbebani.
“Aku butuh waktu, Mas,” jawabnya akhirnya.
“Aku akan kasih kamu waktu sebanyak yang kamu butuhkan,” kata Arman lembut.
Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar vila. Udara pagi yang segar dan pemandangan alam yang memukau membantu mereka merasa lebih ringan.
Saat berjalan di tepi danau kecil, Arman berhenti dan menatap Sasa.
“Kamu tahu, Sa, aku pernah baca sesuatu,” katanya.
“Apa itu?”
“Katanya, hubungan itu seperti danau ini. Kadang tenang, kadang berombak. Tapi kalau kita jaga baik-baik, airnya akan tetap jernih.”
Sasa tersenyum tipis. “Aku harap kita bisa jaga hubungan kita seperti itu, Mas. Tapi enggak mudah.”
“Enggak ada yang mudah, Sa. Tapi aku percaya kita bisa.”
Mereka melanjutkan perjalanan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Sasa merasa sedikit damai.
Malam terakhir di vila, Arman membawa kejutan kecil untuk Sasa—sebuah surat tulisan tangan yang ia letakkan di meja samping tempat tidur.
Saat Sasa membacanya, air mata tak bisa ia tahan. Surat itu penuh dengan ungkapan hati Arman, permintaan maaf, dan harapan besar untuk masa depan mereka.
“Terima kasih karena mau bertahan denganku, Sa. Aku tahu aku tidak sempurna, tapi aku janji akan terus berusaha menjadi lebih baik. Untukmu, untuk kita, dan mungkin suatu hari nanti... untuk keluarga kecil kita.”
Sasa mendekati Arman yang sedang duduk di balkon. Tanpa berkata apa-apa, ia memeluknya erat.
“Mas, aku enggak janji semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku akan coba, seperti kamu.”
Arman tersenyum dan memeluknya kembali. “Itu sudah cukup, Sa.”
Setelah liburan berakhir, mereka kembali ke rumah dengan hati yang lebih ringan. Meskipun banyak hal yang masih harus diperbaiki, mereka merasa lebih siap untuk menghadapi tantangan bersama.
Sasa mulai mempertimbangkan ide memiliki anak, meski ia tahu itu bukan keputusan yang bisa diambil dengan cepat. Arman, di sisi lain, bertekad untuk terus membuktikan bahwa ia bisa menjadi pasangan yang lebih baik.
Liburan itu menjadi langkah kecil namun penting dalam perjalanan panjang mereka. Meskipun masa depan masih penuh dengan ketidak pastian, mereka memilih untuk percaya bahwa cinta dan usaha bersama dapat membawa mereka menuju kebahagiaan yang sesungguhnya.