Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIBURU DI JALAN SEPI - KARYA BARU
Jam masih menunjukkan pukul setengah sembilan malam, sekitar tiga puluh menit lagi Adara akan sampai di mansion keluarganya. Matanya tetap fokus pada jalanan di depannya, mengendalikan kemudi dengan tenang di tengah malam yang masih cukup ramai. Namun, di sela-sela perhatiannya, tatapannya tanpa sengaja tertuju pada kaca spion mobilnya.
Sekilas, tak ada yang aneh, tapi semakin lama dia memperhatikan, perasaannya mulai tidak nyaman. Adara menyipitkan mata, mencoba memastikan apakah yang dilihatnya hanyalah kebetulan atau sesuatu yang lebih dari itu. Mobil berwarna biru tua yang berada di belakangnya tampak terus mengikuti sejak beberapa menit lalu. Awalnya, Adara mengabaikan, berpikir mungkin mobil itu hanya kebetulan satu arah dengannya. Namun, semakin lama, firasatnya mulai mengatakan hal lain. Mobil itu tetap berada di jalur yang sama, tak menunjukkan tanda-tanda akan berbelok atau berpindah lajur.
Penasaran, Adara memutuskan untuk melakukan sedikit uji coba. Dia menarik napas panjang, menenangkan dirinya sebelum akhirnya mengambil keputusan. Dengan gerakan cepat namun terkontrol, dia membalikkan arah mobilnya, berlawanan dari jalur menuju rumahnya. Kini, dia memasuki jalan yang lebih sepi, jauh dari keramaian. Jika mobil itu memang hanya kebetulan berada di jalur yang sama, seharusnya sekarang ia tak lagi mengikutinya.
Namun, dugaan Adara benar. Ketika melirik kaca spion sekali lagi, mobil biru tua itu masih berada di belakangnya, menyesuaikan arah dan kecepatannya. Seketika, jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang tidak beres. Adara menggenggam kemudi lebih erat, menaikkan kecepatan mobilnya. Tapi anehnya, mobil yang mengikutinya juga ikut mempercepat lajunya, seolah tak ingin kehilangan jejak.
Adara semakin waspada. Ia tak tahu siapa orang di dalam mobil itu dan apa yang mereka inginkan. Namun satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan dirinya terjebak begitu saja. Sampai akhirnya…
Cittttt...
Suara decitan ban memekik tajam, bergema di jalanan yang lengang. Gesekan ban dengan aspal menciptakan kepulan asap tipis, mengabur di udara malam saat Adara dengan tiba-tiba membelokkan mobilnya secara mendadak. Manuvernya yang mendadak memaksa mobil di belakangnya untuk bereaksi cepat. Tak siap dengan gerakan Adara, pengemudi mobil biru tua itu membanting setir ke samping, mencoba menghindar. Namun, kecepatan yang terlalu tinggi membuatnya kehilangan kendali.
Brakk!
Bunyi benturan keras terdengar saat mobil itu menabrak pembatas jalan, membuat bagian depan kap mesinnya penyok. Jalanan yang mereka lalui saat ini memang sepi, tetapi cukup luas untuk sebuah konfrontasi yang tak terduga.
Dada Adara naik turun, masih merasakan sisa adrenalin yang mengalir deras di tubuhnya. Tangannya sedikit gemetar di atas kemudi setelah menarik rem panjang tadi. Butuh beberapa detik baginya untuk mengatur napas sebelum akhirnya tangannya meraih pegangan pintu mobil. Dengan satu tarikan napas panjang, dia mendorong pintu dan turun perlahan.
Langkahnya mantap meskipun ada sedikit ketegangan dalam sorot matanya. Tatapannya langsung tertuju pada mobil biru tua yang kini berhenti dengan kondisi rusak di depan pembatas jalan. Mobil yang sejak tadi terus mengikutinya, tanpa alasan yang jelas.
Sekarang, Adara ingin tahu siapa yang ada di dalamnya.
Dari dalam mobil itu, pintu terbuka dengan kasar. Dua orang pria bertubuh tegap melangkah keluar. Mereka berpakaian serba hitam, tampak seperti sosok yang terbiasa dengan kegelapan. Tatapan mata mereka tajam, penuh amarah dan ketegasan, menyorot langsung ke arah Adara—gadis yang baru saja membuat mereka kehilangan keseimbangan dan berakhir menabrak pembatas jalan.
Malam yang sunyi semakin memperkuat aura ketegangan di antara mereka. Jika saja jalanan ini ramai, kecelakaan tadi mungkin sudah mengundang perhatian orang-orang. Beruntung—atau mungkin justru sial—tidak ada satu pun kendaraan lain di sekitar mereka saat ini.
Salah satu pria itu maju selangkah, mengusap wajahnya dengan tangan yang berada di pinggang, seperti memberi sinyal dominasi. Gerakannya santai, tetapi jelas ada maksud tertentu di baliknya.
"Kau yang bernama Adara, kan?" tanyanya, suaranya dalam dan dingin.
Adara tidak menunjukkan ekspresi gentar sedikit pun. Dengan santai, dia menyandarkan tubuhnya ke mobilnya sendiri, kedua tangannya terlipat di dada. Tatapannya tenang, seolah keberadaan dua pria asing itu sama sekali bukan ancaman baginya.
"Apa kalian pembunuh bayaran?" tanyanya datar, mengabaikan pertanyaan yang tadi dilontarkan kepadanya.
Kedua pria itu seketika saling bertukar pandang. Mereka tidak menyangka bahwa wanita di hadapan mereka bisa langsung menebak profesi mereka dengan begitu mudah. Keterkejutan tersirat di wajah mereka, meskipun hanya sebentar.
"Kau? Bagaimana bisa kau tahu?" salah satu dari mereka bertanya, kali ini dengan tatapan yang lebih tajam, penuh selidik.
Adara hanya membuang muka, bibirnya melengkung membentuk senyum remeh. Seolah bagiannya, ini bukan hal yang perlu ditakuti.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanyanya lagi, masih tanpa menjawab pertanyaan mereka.
Kedua pria itu tertawa kecil, suara mereka terdengar sinis, bergema di jalanan yang sunyi. Tatapan mereka masih tajam, penuh ejekan dan rasa percaya diri yang tinggi. Seolah mereka sudah mengendalikan situasi sepenuhnya.
"Kau ingin tahu?" salah satu dari mereka bertanya, suaranya terdengar seperti sedang mempermainkan Adara.
Adara tetap berdiri dengan santai, kedua tangannya masih terlipat di depan dada. Dia tidak menunjukkan sedikit pun ketakutan, hanya mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Wajahmu terlihat angkuh sekali." Pria lainnya melangkah mendekat, sorot matanya semakin menekan. "Tapi kami tidak perlu memberitahumu, karena kau juga tidak akan bisa mendengar jawabannya di hari esok."
Nada bicaranya lugas, tanpa keraguan sedikit pun. Seolah-olah kalimat itu adalah keputusan yang sudah pasti. Seolah mereka sudah menetapkan takdir untuknya.
Namun, bukannya terkejut atau panik, Adara malah memiringkan bibirnya sedikit. Senyum tipis muncul di wajahnya, lalu ekspresinya perlahan berubah. Matanya membesar, napasnya terdengar lebih cepat, dan raut wajahnya menampilkan ekspresi ketakutan yang terlihat nyata.
"Benarkah?" tanyanya dengan suara sedikit bergetar. "Kalian benar-benar akan melakukannya?"
Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang mulai menyadari betapa seriusnya situasi ini. Ada keraguan, ada ketakutan yang tersirat. Atau setidaknya, begitulah yang ingin dia tunjukkan.
Kedua pria itu saling bertukar pandang. Mereka tampak sedikit ragu melihat perubahan sikap Adara yang begitu mendadak. Namun, mereka tetap berdiri dengan waspada, tidak langsung terpancing oleh ekspresi yang ditunjukkan gadis itu.
Adara tidak berhenti di situ. Dia menundukkan sedikit kepalanya, seolah berusaha menyembunyikan kecemasan yang semakin besar.
"Bukankah lebih baik kalian memberitahuku?" lanjutnya dengan suara lebih pelan, hampir seperti bisikan. "Jika memang itu tujuan kalian, apa salahnya memberi tahu siapa yang menginginkannya?"
Dia mengangkat kepalanya sedikit, menatap mereka dengan ekspresi yang terlihat putus asa.
Namun, kedua pria itu tidak mudah dikelabui. Salah satu dari mereka menyipitkan mata, rahangnya sedikit mengencang seolah baru menyadari sesuatu.
"Sudahlah, Nona." kata salah satu dari mereka dengan nada bosan. "Kau pandai berakting."
Dalam sekejap, ekspresi mereka berubah menjadi lebih waspada. Tanpa aba-aba, mereka mulai bersiap.
Adara langsung sigap. Tidak ada lagi kepura-puraan. Dia tahu mereka tidak akan tertipu oleh trik sederhana seperti itu.
Dengan gerakan cepat dan terlatih, tangannya merogoh ke dalam sakunya. Dalam hitungan detik, sesuatu sudah tergenggam erat dalam tangannya.
Tatapan mereka kini saling bertemu. Tidak ada kata-kata lagi, hanya ketegangan yang menggantung di udara.
Situasi kini berubah. Ini bukan lagi sekadar permainan kata-kata. Ini adalah pertarungan yang sebenarnya.
*
*
Halo, para pembaca setia karya author!
Kali ini, author ingin memperkenalkan karya terbaru yang penuh intrik, ketegangan, dan emosi mendalam—Hidden Alliance!
Di dunia yang dipenuhi kekuasaan dan konspirasi, Liora, seorang penerjemah dan juru informasi negara, harus bekerja sama dengan Darren, komandan perang yang ditakuti. Mereka adalah dua sosok kuat yang tampaknya tak terkalahkan dalam bidangnya. Namun, sebuah misi yang tampaknya berjalan sempurna justru berakhir dengan tragedi yang mengubah hidup mereka selamanya.
Tanpa disangka, satu malam mengikat takdir mereka dengan cara yang tak terduga. Liora harus membuat pilihan besar—tetap bertahan atau pergi dengan rahasia yang menghubungkannya dengan Darren selamanya.
Akankah kebencian dan dendam mengalahkan mereka? Ataukah takdir punya rencana lain?
Jangan lupa baca Hidden Alliance dan dukung cerita ini dengan like, komentar, serta koleksi ya! Terima kasih untuk semua pembaca setia!