Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa?
Malam itu, Chandra duduk di ruang kerjanya, mencoba fokus menyelesaikan dokumen penting untuk pertemuan partai esok hari. Namun, bunyi notifikasi di ponselnya mengalihkan perhatiannya.
Dia membuka ponselnya dan melihat pesan dari nomor yang tidak dikenal:
"Aku ingin bertemu denganmu di restoran La Bella Rossa malam ini."
Chandra mengerutkan alisnya. "Siapa ini?" gumamnya sambil membaca pesan tersebut berulang kali. Dia berpikir untuk mengabaikannya, tetapi beberapa detik kemudian, ponselnya kembali berbunyi. Kali ini pesannya lebih mengejutkan:
"Jika kau tidak menemuiku, karirmu sebagai ketua partai politik akan hancur."
Chandra terdiam, napasnya tercekat. Pesan itu terdengar seperti ancaman. Dia mencoba menganalisis siapa yang mungkin mengirim pesan ini. "Apa mungkin ini hanya lelucon? Atau seseorang benar-benar ingin menjatuhkanku?" pikirnya. Dia menimbang-nimbang apakah harus melaporkan ini kepada pihak keamanan atau memutuskan untuk mengabaikannya. Namun, pesan berikutnya datang dengan lebih mendesak:
"Aku punya bukti yang cukup untuk menghancurkanmu. Datanglah. Kita bisa menyelesaikan ini dengan baik-baik."
Jantung Chandra berdegup kencang. Otaknya mulai menghubungkan berbagai kemungkinan, terutama kejadian semalam di hotel bersama Arini. "Tidak mungkin... apa ini ada hubungannya dengan malam itu?" pikirnya penuh kecemasan.
Dia berdiri dari kursinya, mengambil ponsel, dan berjalan mondar-mandir di ruangan. "Jika aku tidak menemuinya, ini bisa jadi bumerang untukku. Tapi jika aku pergi, aku harus siap dengan segala konsekuensinya," gumamnya, mencoba mencari jalan keluar.
Akhirnya, dengan napas berat, Chandra mengetik balasan:
"Baik. Jam berapa?"
Tak lama, pesan balasan datang: "Jam 8 malam. Jangan terlambat."
Chandra menatap jam dinding. Waktunya tinggal satu jam lagi. Dengan rasa tak tenang, dia bersiap untuk menghadapi siapa pun yang mengirim pesan itu dan berdoa semoga ancaman ini hanyalah gertakan kosong.
Malam itu, Arzan memutuskan untuk pergi ke rumah Haryo. Rasa khawatir menyelimuti dirinya, terutama karena besok adalah hari pernikahan Kirana dan Haryo. Ia ingin memastikan keadaan Kirana sebelum terlambat untuk melakukan sesuatu.
Setibanya di rumah besar milik Haryo, Arzan melihat suasana sibuk. Para pekerja hilir-mudik mengangkut dekorasi, bunga, dan perlengkapan lainnya untuk persiapan pesta pernikahan. Arzan mengetuk pintu dan disambut oleh seorang pelayan yang langsung membawanya ke ruang tengah, tempat Haryo duduk sambil mengecek daftar persiapan pernikahan.
“Wow, Haryo, besok kau akan menikah. Bagaimana perasaanmu?” tanya Arzan dengan nada basa-basi sambil melirik ke sekeliling ruangan, berusaha mencari keberadaan Kirana.
Haryo menoleh dan tersenyum lebar. “Tentu saja aku sangat bahagia. Akhirnya, di usiaku yang ke-30 ini, aku menemukan orang yang aku cintai,” ujarnya dengan wajah berseri-seri.
Arzan menahan kekesalannya, mencoba untuk tetap tenang. “Kenapa kau memilih Kirana untuk menjadi istrimu? Sementara, banyak sekali wanita cantik di luar sana yang bahkan rela tidur denganmu tanpa syarat. Kenapa Kirana?” tanyanya, menyelipkan nada tajam di balik rasa ingin tahunya.
Haryo tersenyum, kali ini lebih tenang. “Mungkin itulah cinta, Arzan. Kadang tidak butuh alasan untuk mencintai seseorang. Ada sesuatu dalam diri Kirana yang membuatku merasa lengkap. Dia berbeda dari wanita lainnya. Dia… membuatku ingin menjadi pria yang lebih baik.”
Arzan hampir tersedak mendengar jawaban itu. Baginya, jawaban itu terdengar palsu, seperti seseorang yang mencoba menutupi niat sebenarnya. “Benarkah begitu? Karena aku dengar dia sama sekali tidak bahagia dengan pernikahan ini,” ujar Arzan, mencoba memancing reaksi Haryo.
Haryo menatapnya tajam, senyum di wajahnya perlahan memudar. “Apa maksudmu, Arzan? Aku mencintai Kirana, dan aku yakin dia akan mencintaiku seiring waktu. Kadang cinta memang membutuhkan waktu untuk tumbuh,” ujarnya dengan nada tegas.
Arzan merasa tensi percakapan mulai memanas, namun ia tetap berusaha tenang. “Kalau begitu, di mana Kirana sekarang? Aku ingin mengucapkan selamat padanya sebelum hari besar kalian,” tanya Arzan, berusaha menyembunyikan kegelisahannya.
Haryo menatap Arzan dengan curiga, memperhatikan nada suara dan ekspresi yang sedikit berubah. Ada sesuatu yang terasa janggal. Namun, Haryo tetap menjaga senyumnya. “Kirana ada di kamarnya. Sepertinya dia sudah istirahat sekarang. Besok pasti akan menjadi hari yang panjang, jadi dia butuh waktu untuk beristirahat.”
Arzan memperhatikan nada suara Haryo yang terdengar seperti alasan yang dibuat-buat. Namun, dia tahu bahwa ini adalah rumah Haryo. Jika ia memaksa, hal itu hanya akan memicu konflik yang tidak perlu. Arzan menarik napas dalam-dalam, menahan keinginannya untuk terus mendesak.
“Kalau begitu, aku tidak akan mengganggunya. Aku pamit dulu, Haryo. Semoga semua berjalan lancar besok,” ujar Arzan dengan nada tenang, meskipun dalam hatinya ada rasa frustrasi yang mendalam.
“Terima kasih, Arzan. Aku menghargai kedatanganmu malam ini,” jawab Haryo dengan senyum penuh kemenangan.
Arzan berdiri dan berjalan menuju pintu keluar. Namun, sebelum meninggalkan rumah, dia melirik ke arah tangga yang menuju ke lantai atas, berharap bisa mendapatkan petunjuk tentang Kirana. Sayangnya, semuanya tampak sepi.
Ketika sudah berada di luar rumah, Arzan menghembuskan napas panjang. “Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi,” gumamnya pelan. Ia melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Dalam pikirannya, ia harus segera memikirkan rencana lain untuk menemui Kirana sebelum pernikahan berlangsung.
Di dalam rumah, Haryo masih berdiri di ruang tamu. Wajahnya yang tadi ramah kini berubah serius. Ia menatap ke arah pintu yang baru saja ditutup oleh Arzan. “Apa sebenarnya yang dia inginkan?” gumamnya sambil mengetukkan jari ke meja.
Haryo kemudian memutuskan untuk berjalan menuju taman belakang, memastikan keadaan tetap terkendali. Namun, ketika ia melihat taman yang biasanya kosong, ia mendapati Kirana duduk sendirian di sana, menatap ke arah langit malam.
“Kirana, kenapa kau di sini? Bukankah kau sudah seharusnya istirahat?” tanyanya dengan nada lembut, meskipun ada kecurigaan di balik suaranya.
Kirana menoleh, raut wajahnya terlihat lelah. “Aku hanya ingin menikmati ketenangan sebentar. Besok akan menjadi hari yang panjang,” jawabnya singkat, mencoba menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.
“Kau tahu, aku ingin kau bahagia, Kirana. Semua ini aku lakukan untuk kita,” ujar Haryo, mendekat ke arahnya.
“Oh iya, Haryo. Sebelum pernikahan kita berlangsung besok, aku ingin menanyakan sesuatu tentang ayahku,” ucap Kirana tanpa ragu, meskipun hatinya penuh keraguan.
Haryo, yang sedang menikmati suasana tenang di taman, menoleh dengan sedikit terkejut. “Oh, ayahmu ya. Besok, seharusnya walinya kan ayahmu. Tapi, ibumu menyuruhku untuk… memakai wali hakim untuk pernikahan besok,” jawabnya dengan santai, meskipun ada sedikit rasa gugup di balik nadanya.
Kirana menatap Haryo dengan tajam. “Bukan itu maksudku,” ujarnya, suaranya mulai bergetar, “Tapi soal ayahku di penjara. Sebelumnya, kau mengancam ibuku agar aku menyetujui pernikahan ini. Katanya, jika aku tidak menikah denganmu, kau akan memperpanjang masa tahanan ayahku.”
Haryo langsung tampak bingung. Alisnya mengerut, dan ia menatap Kirana dengan penuh tanda tanya. “Ancaman tentang ayahmu?” tanyanya, tampak benar-benar tidak mengerti. “Apa maksudmu, Kirana? Aku tidak pernah mengatakan hal seperti itu.”