Tiga ribu tahun setelah Raja Iblis "Dark" dikalahkan dan sihir kegelapan menghilang, seorang anak terlahir dengan elemen kegelapan yang memicu ketakutan dunia. Dihindari dan dikejar, anak ini melarikan diri dan menemukan sebuah pedang legendaris yang memunculkan kekuatan kegelapan dalam dirinya. Dipenuhi dendam, ia mencabut pedang itu dan mendeklarasikan dirinya sebagai Kuroten, pemimpin pasukan iblis Colmillos Eternos. Dengan kekuatan baru, ia siap menuntut balas terhadap dunia yang menolaknya, membuka kembali era kegelapan yang telah lama terlupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yusei-kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedamaian yang Penuh Pengorbanan dan Keraguan
Kabut tebal di tengah hutan bersalju mulai menipis, menyisakan jejak-jejak langkah kaki dan tanda-tanda pertempuran yang sengit. Pohon-pohon tertutup salju tampak sepi setelah kepergian para pria misterius dari organisasi Tenebris Arcanum—kelompok yang dikenal dengan ciri khas mereka menggunakan belati dalam pertarungan. Suasana hutan terasa sunyi, hanya terdengar napas terengah-engah dari para siswa Akademi Altais yang berhasil selamat.
Yusei, Katsuya, Yuki, dan Sai berjalan tertatih-tatih, tubuh mereka penuh luka akibat pertempuran. Di belakang mereka, Kaito berjalan dengan langkah berat sambil menggendong Hiyori yang tak sadarkan diri. Darah segar masih membasahi pakaian Hiyori, luka fatalnya belum sepenuhnya sembuh.
“Kita harus cepat keluar dari sini,” gumam Yusei, memegang pedangnya sebagai tongkat untuk menjaga keseimbangan.
Sai menoleh dengan wajah serius. “Kaito, apa Hiyori baik-baik saja?”
Kaito mengangguk lemah. “Dia masih bertahan, tapi kita harus segera menemukan pertolongan.”
Setelah beberapa waktu berjalan, mereka akhirnya tiba di tempat pertemuan awal, sebuah area terbuka di tepian hutan bersalju. Di sana, tiga orang anggota farmasi dari Veslandia sudah menunggu bersama empat cucu Borzak—Eryon, Frostan, Sylvia, dan Nivara.
Melihat kedatangan para siswa yang terluka, Eryon segera berlari ke arah mereka. “Kalian... bagaimana bisa sejauh ini? Apa yang terjadi di dalam hutan?”
“Tenebris Arcanum...” jawab Yusei lirih. “Mereka muncul entah dari mana dan menyerang kami. Kami kehilangan banyak tenaga melawan mereka.”
Wajah Frostan menegang. “Mustahil... itu artinya—”
Sebelum Frostan menyelesaikan kalimatnya, salah satu anggota farmasi, seorang pria bertubuh kekar dengan jubah biru khas Veslandia, melangkah maju. Ia melepaskan tudungnya, memperlihatkan wajah yang tegas dan penuh wibawa.
“Cukup,” suaranya berat dan menggema di udara. “Sudah saatnya kami memperkenalkan diri yang sebenarnya. Kami bukan anggota farmasi Veslandia biasa. Kami adalah tim badan intelijen Sirius.”
Para siswa terkejut, termasuk Yusei dan Katsuya yang langsung menoleh tajam.
“Badan intelijen Sirius?” tanya Sai penuh kebingungan.
Pria itu mengangguk. “Kami bekerja di bawah komando langsung para Kesatria Suci Veslandia di Sirius Peak. Tujuan kami datang ke Arcatria adalah untuk menyelidiki jejak organisasi Tenebris Arcanum dan mengungkap keterlibatan Borzak.”
Wajah keempat cucu Borzak langsung berubah. Sylvia maju selangkah, matanya berkaca-kaca.
“Tidak mungkin! Kakek kami tidak mungkin berhubungan dengan kelompok semacam itu!” serunya.
Anggota Sirius lain, seorang wanita berambut pendek keperakan, berbicara dengan suara lembut namun tegas. “Percayalah, kami tidak sembarangan menuduh. Kami telah menelusuri setiap sudut kediaman Borzak. Kami menemukan bukti yang mengarah pada keterlibatannya dengan Tenebris Arcanum.”
“Bukti apa?” tanya Eryon dengan suara gemetar. “Kakek kami selalu merawat kami dengan penuh kasih sayang... bagaimana mungkin—”
“Perintah yang ia berikan padamu,” potong pria bertubuh kekar tadi. “Perintah untuk memisahkan para siswa Akademi Altais dari satu sama lain. Bukankah itu sudah cukup aneh? Ditambah lagi, kaburnya Borzak begitu kami tiba di lokasi.”
Keheningan menyelimuti. Eryon, Frostan, Sylvia, dan Nivara tampak sulit menerima kenyataan tersebut.
“Kami juga menemukan ruangan bawah tanah di kediaman Borzak,” lanjut pria itu. “Di sana, tepat di balik peti harta karun di ujung penginapan, ada pintu rahasia menuju ruang bawah tanah. Ruangan itu berisi alat teleportasi—alat sihir yang sangat langka, bahkan sulit dilacak ke mana tujuannya.”
Kaito, yang masih memegang Hiyori, menatap anggota Sirius dengan penuh kewaspadaan. “Jadi, itulah bagaimana para pria Tenebris Arcanum muncul di tengah hutan?”
“Ya,” jawab wanita berambut keperakan. “Kami menduga Borzak menggunakan alat itu untuk memanggil mereka. Namun, lokasinya masih belum bisa kami identifikasi.”
Yuki, yang sejak tadi diam, tiba-tiba berbicara. “Lalu, apa yang akan kalian lakukan terhadap mereka?” Ia melirik ke arah keempat cucu Borzak.
“Kami akan membawa mereka ke Veslandia,” ujar pria itu. “Mereka harus diinterogasi lebih lanjut untuk memastikan apakah mereka mengetahui sesuatu tentang Borzak dan Tenebris Arcanum.”
“Kami tidak tahu apa-apa!” seru Frostan marah. “Kalian tidak bisa menuduh kami begitu saja!”
“Kami tidak menuduh,” balas pria itu dengan tenang. “Ini hanya prosedur. Jika kalian memang tidak tahu apa-apa, kalian tidak perlu khawatir.”
Sai maju selangkah, menatap tajam pria dari Sirius. “Bagaimana dengan Arcatria? Siapa yang akan menjaganya jika Borzak benar-benar berbahaya?”
Pria itu menatap Sai sejenak, seolah kagum dengan keberaniannya. “Dua anggota Sirius akan tinggal di Arcatria untuk menyelidiki lebih lanjut. Selain itu, pasukan dari Veslandia dan empat negeri besar lainnya akan segera tiba. Mereka akan menjaga Arcatria agar tetap aman dari ancaman Kuroten maupun Tartaros.”
Sai mengepalkan tangannya, merasa sedikit lega mendengar hal itu.
Beberapa saat kemudian
Satu anggota Sirius bersiap untuk kembali ke Veslandia bersama para siswa dan empat cucu Borzak. Sementara dua lainnya menetap di Arcatria. Kaito menyerahkan Hiyori kepada salah satu anggota Sirius untuk mendapatkan perawatan medis lebih cepat.
“Jangan khawatir, Hiyori akan baik-baik saja,” ujar anggota Sirius itu.
Kaito mengangguk lemah. “Tolong jaga dia.”
Sai mendekati Sylvia yang masih tampak sedih. “Kau baik-baik saja?”
Sylvia menunduk, tidak sanggup menatap mata Sai. “Aku hanya... tidak mengerti. Mengapa Kakek melakukan ini...”
“Kita akan menemukan jawabannya,” ujar Sai tegas. “Jangan menyerah. Kami akan membantumu.”
Salju tipis kembali turun di hutan Arcatria. Langkah-langkah kaki para siswa dan anggota Sirius perlahan menghilang di balik kabut. Sementara itu, dua anggota Sirius berdiri di tengah hutan bersalju, memandang ke arah kediaman Borzak yang masih menyimpan banyak misteri.
“Kita baru saja memulai,” gumam salah satunya. “Kebenaran tentang Tenebris Arcanum... akan segera terungkap.”
“Ya,” jawab yang lainnya. “Dan kita harus bersiap menghadapi apa pun yang datang selanjutnya.”
Di kejauhan, suara angin bersiul seolah menyampaikan peringatan. Bahaya belum berakhir. Keberadaan Borzak, Kuroten, dan Tartaros masih menjadi ancaman yang mengintai dalam bayangan.
Jauh di suatu tempat tersembunyi, yang lokasinya tak seorang pun tahu, berdiri sebuah benteng kokoh dengan aura gelap yang menyelimuti sekitarnya. Bangunan tersebut adalah salah satu markas Tenebris Arcanum, organisasi bayangan yang menebarkan teror di berbagai belahan dunia. Di dalam ruangan besar dengan temaram cahaya obor yang berkelap-kelip, Borzak—salah satu petinggi yang kejam dan tanpa ampun—duduk di atas singgasananya. Tatapan matanya yang dingin dan tajam menusuk setiap orang yang berdiri di hadapannya.
Di ruangan itu, tujuh anggota Tenebris Arcanum berdiri berbaris, kepala mereka menunduk penuh ketakutan. Salah satu dari mereka adalah Ryusei, seorang anggota yang diakui memiliki bakat luar biasa dalam organisasi. Namun, hari ini adalah hari yang buruk bagi mereka semua. Di tengah kesunyian ruangan, suara bentakan Borzak menggema, memecah suasana tegang.
“Pulang tanpa membawa satu tangkapan pun? Benar-benar memalukan!” teriak Borzak penuh amarah, matanya menyipit tajam memandang ke arah Ryusei dan rekan-rekannya.
Ryusei, yang berdiri paling depan, mengangkat wajahnya dengan ragu. “Waktu yang diberikan kepada kami terlalu sedikit, Tuan Borzak... Ditambah lagi, aku baru saja menyelesaikan misi besar sehingga tidak bisa ikut bertarung dengan kekuatan penuh.”
Borzak menyipitkan mata, memandang Ryusei dengan penuh rasa muak. “Aku mengakui kemampuanmu, Ryusei. Tapi kau terlalu lembek kepada teman-temanmu. Itu kelemahanmu.”
Ryusei mengepalkan tangannya erat-erat, namun tidak berani membantah pemimpin mereka. Di sudut ruangan, Shinji, salah satu anggota yang terluka parah akibat pertempuran melawan Kaito, hanya bisa menahan sakit sambil menundukkan kepala. Borzak memalingkan pandangannya ke arah Shinji, suara cemooh keluar dari bibirnya.
“Kalah oleh pria elemen air itu? Menyedihkan sekali!” ucap Borzak dengan dingin. “Padahal dia sudah memiliki kriteria yang kita butuhkan. Kau membuatku kecewa.”
Shinji menggigit bibirnya, rasa sakit di tubuhnya tak sebanding dengan rasa malu yang membuncah di hatinya. Dengan suara lirih, ia berkata, “Maafkan aku, Tuan. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Borzak tersenyum sinis, namun senyuman itu lebih menyerupai ejekan. “Tidak akan ada kesempatan kedua.”
Sebelum siapa pun menyadari apa yang terjadi, tangan Borzak sedikit bergerak, dan udara di sekitar Shinji mendadak membeku. Suhu ruangan turun drastis, membuat napas semua orang membeku di tengah udara. Shinji membuka matanya lebar-lebar, tubuhnya terasa kaku.
“Tu-tuan...” bisik Shinji dengan ketakutan.
Namun, detik berikutnya, seluruh tubuh Shinji membeku total—es kristal menjalar dari ujung kaki hingga ke kepalanya. Hanya dalam sekejap, tubuhnya hancur berkeping-keping seperti kaca yang jatuh ke lantai. Suara retakan es menggema di seluruh ruangan.
Ryusei dan lima temannya menatap kejadian itu dengan mata membelalak, tak mampu berkata-kata. Beberapa dari mereka mundur selangkah, tubuh gemetar tak terkendali. Kematian Shinji yang tiba-tiba benar-benar membuat mereka syok.
Borzak kembali menoleh, kali ini matanya tertuju pada Ren, salah satu anggota lain yang berdiri di barisan. Wajah Ren langsung memucat, peluh dingin membasahi dahinya. Ia tahu giliran berikutnya adalah dirinya.
“Kau juga telah gagal, Ren,” ucap Borzak dengan suara dingin menusuk. “Dan aku... tidak akan memberikanmu kesempatan kedua.”
Ren berlutut seketika, suaranya bergetar memohon. “Tuan, tolong... beri aku satu kesempatan lagi! Aku berjanji akan menebusnya!”
Namun Borzak tidak bergeming. Alih-alih menjawab, ia memandang Ryusei dengan tatapan tajam. “Lakukan seperti yang aku lakukan sebelumnya, Ryusei.”
Ryusei tersentak, seolah-olah mendapat pukulan keras di dadanya. “A-apa?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Bunuh dia.” Suara Borzak tajam seperti pisau.
Ryusei menatap Ren yang kini memandangnya dengan wajah penuh harap dan ketakutan. Tangannya gemetar. Meski menjadi anggota organisasi gelap ini, Ryusei memiliki sisi kemanusiaan yang masih melekat dalam dirinya. Melihat teman seperjuangannya mati di tangan sendiri adalah hal yang tidak bisa ia lakukan.
“Aku... aku tidak bisa...” bisik Ryusei, nyaris tak terdengar.
Borzak mendengus kesal. “Sudah kuduga. Kau terlalu lembek.”
Sekali lagi, suhu ruangan turun drastis. Ren sempat berteriak memohon ampun, namun sama seperti Shinji, tubuhnya membeku dalam sekejap sebelum akhirnya hancur berkeping-keping. Pecahan es yang dulunya adalah Ren kini berserakan di lantai, meninggalkan kesunyian mencekam.
Ryusei dan empat temannya hanya bisa berdiri kaku, wajah mereka dipenuhi ketakutan. Tidak ada yang berani mengucapkan sepatah kata pun. Borzak bangkit dari singgasananya, langkahnya menggema di ruangan luas itu. Matanya memandang mereka satu per satu, memastikan ketakutan itu tertanam dalam-dalam di hati mereka.
“Lain kali, aku tidak ingin ada kegagalan,” ujar Borzak dengan suara yang tegas namun mengerikan. “Satu kesalahan kecil pun akan berakhir seperti ini. Apakah kalian mengerti?”
“B-baik, Tuan...” jawab Ryusei dengan suara lirih, tubuhnya masih bergetar.
Borzak tersenyum puas, senyum yang penuh kebengisan. “Ingat baik-baik. Kalian adalah alat. Aku tidak butuh alat yang rusak.” ucap Borzak yang kemudian meninggalkan tuangan tersebut.
Langit kelam tanpa bintang membentang luas di atas markas Tenebris Arcanum. Hawa dingin menusuk kulit, seolah menyatu dengan suasana hati Ryusei yang penuh keraguan. Ia berdiri seorang diri di tepi balkon benteng, memandang hamparan hutan tak berujung yang kini diselimuti kegelapan. Angin malam berhembus kencang, menggoyangkan rambut peraknya, namun tatapannya tetap kosong, seakan menembus batas pandang.
"Apakah ini benar-benar kedamaian yang kami impikan?" batinnya bergema dalam pikiran. Pertanyaan itu terus menghantuinya, menyesakkan dadanya setiap kali ia melihat orang-orang di sekitarnya jatuh—teman, saudara seperjuangan, bahkan orang-orang yang tak bersalah.
Di satu sisi, ia memiliki tekad kuat untuk menghentikan kelahiran Raja Iblis yang kelak akan menjadi ancaman besar bagi dunia. Itu adalah tujuan besar yang ditanamkan oleh Tenebris Arcanum kepadanya—sebuah janji akan kedamaian. Namun, di sisi lain, jalan yang mereka tempuh terasa begitu kejam. Kekejaman Borzak, darah yang tertumpah, dan pengorbanan yang tidak pernah berakhir, membuat Ryusei mulai mempertanyakan segalanya.
“Untuk apa mencari kedamaian jika harus mengorbankan orang-orang di sekitar kita?” bisiknya pelan, hampir tenggelam oleh suara angin. Kata-kata itu terasa getir di lidahnya, namun itulah yang selama ini ia rasakan.
Tangannya mengepal kuat, jari-jarinya memutih seiring dengan tekad yang mulai terbentuk dalam dirinya. Matanya yang sebelumnya kosong kini dipenuhi cahaya—sebuah tekad yang membara, jauh lebih kuat dari apa pun. Ia tahu, jalan yang ia pilih bukanlah jalan mudah, dan mungkin ia akan berhadapan dengan orang-orang dari organisasinya sendiri. Namun, Ryusei percaya ada cara lain.
“Menciptakan kedamaian dunia tanpa harus mengacaukan kedamaian yang lain… Aku yakin pasti bisa mewujudkannya.” suaranya lirih namun penuh keyakinan. Sekarang ia tak lagi berada di persimpangan. Sebuah keputusan telah ia buat—keputusan yang mungkin akan menuntunnya ke dalam bahaya, namun juga harapan.
“Aku selalu menunggumu selama ini...” gumam Ryusei, suaranya bergetar dengan emosi yang sulit ia kendalikan. Ia menatap langit kelam, seolah berharap cahaya akan segera muncul. “Aku yakin kau adalah satu-satunya harapan, cahaya yang akan memadamkan kegelapan dan menciptakan kedamaian."Tatapan matanya mengeras. “Kami selalu setia menunggu kedatanganmu, Akira.”