"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
4 tahun berlalu. Akhirnya kami datang ke acara pernikahan Rina dan Rizal. Acara pernikahan itu menjadi ajang reuni kami sekelas. Dan di acara itu juga lah kami bertemu dengan ....
"Papa mana?" tanya Aruna padaku.
"Lagi ambil kue, Mama mau kue soalnya. Una mau juga?" tanyaku.
"Mau ikut papa," jawabnya.
"Nanti papa ke sini. Tunggu bentar ya?"
"Mau sama papa!"
"Iya, bentar, Sayang," balasku.
"Papa mana?!" Aruna selalu menjengkelkan jika kehilangan papanya. Seakan-akan papanya itu pergi entah ke mana dan tidak akan pulang lagi.
Sudah dijelaskan pun dia tetap tidak bisa mengerti. Padahal usianya sudah 5 tahun.
Kugendong anak perempuanku itu dan berjalan di kerumunan meriahnya pesta pernikahan Rina dan Rizal. Mencari keberadaan Arzio.
Saat aku berjalan, tak sengaja aku menyenggol seseorang.
"Maaf—" Kalimatku terhenti saat melihat orang yang kusenggol adalah Dani.
"Arlita?" tunjuknya pada batang hidungku.
Aku terdiam mengangguk.
"Kamu ...." Dia menatap ke arah Aruna. "Anak kamu?" tanyanya pelan.
Aku mengangguk lagi.
"Papa mana?!" Aruna kembali bertanya.
"Maaf," ucapku hendak meninggalkan Dani namun dia menahan tanganku.
"Ini anak kamu?!" tanyanya dengan tegas.
"Iya!" jawabku agar dia berhenti mengganggu.
"Siapa suami kamu?" tanyanya lagi.
"Arzio Fabelino. Ini anaknya, Aruna Sifa Tabelino!" tegasku.
Tiba-tiba Arzio berdiri di hadapanku. Melindungi kami. "Ada perlu apa?" tanyanya pada Dani.
"Papa!" panggil Aruna yang minta gendong. Arzio langsung menyambut anaknya tersebut.
Dani menghela napas. Mungkin ini terasa menyakitkan untuknya. Tapi inilah faktanya. Aku hidup berbahagia dengan suami dan anakku yang rewel ini.
Aku dicintai tanpa harus menunggu lagi. Aku disayangi tanpa aku harus meminta. Aku selalu diutamakan, tanpa aku harus mengemis perhatian. Arzio adalah pilihan terbaik dalam hidupku.
"Murahan!" Satu kata itu membuatku terkejut.
Kata yang diucapkan oleh Dani tersebut seketika membuat wajah Arzio merah padam. Aku tidak pernah bertingkah murahan. Tapi kenapa Dani mengatakan hal itu untukku?
"Jaga mulut lo sebelum gue gampar!" Peringatan dari Arzio.
"Silakan gampar gue dan hancurkan acara nikahan Rina," balas Dani.
"Kenapa kamu bilang aku murahan? Emangnya aku ngelakuin apa sama kamu?" tanyaku.
"Ngelakuin apa? Nikah sama selingkuhan, itu ga murahan?" balasnya membuatku menoleh pada Arzio.
Dani menghampiriku. Refleks, aku memeluk tangan Arzio, suamiku. Arzio juga siap pasang badan melindungiku.
"Terserah Anda mau bilang apa. Intinya, sekarang Arlita jadi istri saya! Anda hanya sebagaian kecil dari kisah masa lalu istri saya," balas Arzio.
Dani tersenyum kecut. "Siap-siap jadi janda. Kayaknya ajal suami kamu ga lama lagi."
Arzio menarik kerah baju kemeja Dani dengan kuat.
Aku mengambil alih Aruna yang kini tampak kebingungan.
"Jaga mulut lo!" tegas Arzio dengan geram.
"Silakan pukul gue!" tantang Dani.
Aku melihat tangan Arzio mengeluarkan urat-uratnya. Tapi tiba-tiba dia melepaskan kerah baju Dani. Beralih padaku dan dia menciumi bibirku di tengah-tengah keramaian.
"Suami Arlita." Arzio menjulurkan tangannya untuk bersalaman pada Dani.
PEMBALASAN YANG SANGAT BERKELAS. Suamiku memang ahlinya membuat orang kesal.
***
Setelah Dani pergi meninggalkan kami, aku biarkan Aruna bermain dan berada di keramaian. Dia juga harus bisa bersosialisasi dengan orang lain. Agar dia tidak menjadi seperti aku yang temannya itu-itu saja.
Aku sampai kehilangan jejak anak perempuanku itu. Saat dia kembali, dia sudah menangis.
"Kenapa, Nak?" tanyaku.
"Tadi Una jatoh masuk ke dalam meja, kaki Una berdarah," jelasnya sambil menunjuk lutut yang sudah diobati dengan rapih.
"Siapa yang ngobatin?" tanya Arzio.
"Ada teman. Mamanya yang obatin," jawabnya.
"Teman?" tanyaku bersama Arzio dan kami saling menoleh.
Aku melihat sekeliling, tidak ada orang yang membawa anak kecil selajn kami.
"Temannya udah dewasa?" tanyaku.
Aruna kembali menangis sehingga kami memilih untuk berhenti menanyainya.
***
Beberapa tahun telah berlalu. Sebentar lagi Aruna siap untuk sekolah, dan kami pindah ke Indonesia sebab Dani sudah tidak membayang-bayangiku lagi.
Restoran yang Arzio punya juga akan membuka cabang di Indonesia. Dia juga sudah membuka praktek dokter umum di depan rumah. Sehingga lebih mudah untuk dirinya bekerja.
Aruna selalu bercerita padaku tentang anak laki-laki yang membantunya di acara pernikahan Rina. Ha ha. Aku rasa dia menemukan jodohnya di sana.
"Una mau bilang makasih ke dia. Dia kan udah bantu Una." Dia kembali bercerita sambil bermain.
"Dia tingginya sama ama Una, apa lebih tinggi?" tanyaku.
"Tinggi dikit!" Aruna membentuk jarinya seperti memegang butiran kecil.
"Kayak gimana sih orangnya? Mama ga pernah liat pas acara nikahan Tante Rina."
"Dia pake jas biru. Mamanya pake baju biru."
"Una mau nyari dia?" tanyaku.
"Mau ke rumahnya tapi Una ga tau rumahnya di mana."
***
Aruna bersekolah. Aku dan Arzio mengantarkannya setiap hari. Meski terjadi sedikit drama di saat sudah 1 tahun pendidikannya dimulai.
"Mama sama Papa pulang aja. Aku malu ditungguin." Untuk pertama kalinya Aruna menyebut kata 'Aku' dalam kalimatnya.
Itu sedikit mengejutkanku. Dia sudah bukan balita lagi. Dia sudah berani menentukan apa yang dia mau.
Arzio sampai menangis di mobil sebab Aruna tidak mau ditunggu hingga pulang sekolah. Arzio berkata bahwa dia akan kehilangan banyak momen saat anaknya tidak berada di dalam pengawasan.
Kalau aku, ya biasa saja. Namanya juga anak manusia. Tidak mungkin kita perhatikan 24 jam. Kita bukan CCTV. Dan suatu saat Aruna pasti akan membatasi diri, sebab beberapa privasi yang dia miliki dan itu wajar sebab dia anak manusia.
Justru yang salah adalah ketika kami tidak memberikan ruang untuk Aruna menjaga privasinya dan tidak mendengar apa yang dia suka ataupun tidak suka.
***
Saat Aruna bersekolah kelas 7 (1 SMP). Aku ingat betul kejadian itu. Jam pulang sekolah. Setelah aku menyiapkan makan siang. Ponselku berdeing nyaring. Panggilan itu dari Bang Dio. Aku dengan sengaja tidak menjawabnya, sebab Bang Dio sama seperti Arzio pada jaman SMK. Selalu menggodaku, jadi aku tidak mau meladeninya.
Semakin aku biarkan, ponselku semakin berisik sampai aku tidak tahan mendengarnya.
"Halo!" bentakku.
"KAMU NGAPAIN AJA SIH, LITAAAAA?!" teriaknya membuatku naik pitam.
"Ya serah aku la mau ngapain!" balasku.
"ARZIO SAMA ARUNA KECELAKAAN!"
~Deg!
Waktu terasa berhenti dalam sekejap. Aku terdiam mematung. Seketika otakku membayangkan banyak darah yang entah aku kenapa memikirkannya. Telingaku mendadak tuli. Tubuhku terasa lumpuh. Ponsel yang berada di tanganku sampai terhempas dan rusak menghantam lantai. Aku terduduk di samping rongsokan elektronik itu.
Dadaku sesak. Detak jantungku melaju pesat. Aku bingung. Air mata mengucur deras diiringi dengan raungan yang keluar dari mulutku. Inikah hari yang Dani maksud?
***
Sesampainya aku di rumah sakit. Aku sudah tidak peduli dengan penampilanku lagi. Aku memasuki ruangan rawat inap Aruna. Anak gadis kami terkulai lemas di atas brankar. Segala jenis alat menempel di tubuhnya. Darah kering juga masih aku lihat menempel di rambut Aruna.
Hatiku sakit. Sakit sekali. Anak semata wayang kami. Dia masih terlalu kecil untuk merasakan ini semua.
Bang Dio datang menghampiriku dan ibu.
"Jio ...." Kalimatnya terhenti.
"Kamu ke ruangan Jio dulu, Ta. Biar Ibu yang jaga Aruna," ucap ibuku.
Kakiku melemah mengikuti langkah Bang Dio. Saat pintu ruangan itu terlihat, aku melirik plang kayu di atasnya tertulis "ICU"
Semakin sakit rasanya dadaku. Sampai-sampai aku menangis dan terhenti di kursi tunggu. Aku terus menangis. Tak sanggup aku membayangkan bagaimana kondisi suamiku saat ini.
Bang Dio ikut duduk di sampingku. Dia menepuk pundakku. Dia tak mengeluarkan sepatah katapun. Aku terus menangis hingga aku lelah.
Saat aku memasuki ruangan tersebut. Aku melihat sosok pria kuat yang selalu menemaniku itu terbujur lemah. Denyitan suara alat deteksi detak jantung mengiasi ruangan ini. Setiap hari aku kunjungi dua pujaan hatiku itu dengan air mata.
Saat Arzio terbangun dari komanya, itu adalah saat di mana aku bahagia luar biasa. Rasanya aku tak bisa berhenti bersyukur.
Kalimat pertama yang ia ucapkan adalah "Nitip Lita Bang," bisiknya
Aku menggeleng dengan cepat bersama tetesan air mata. "Ga boleh nitip-nitip! Kamu harus sembuh!" bantahku.
Dia tersenyum padaku. Sama seperti senyumannya yang dulu. Bahkan dia tidak pernah berubah sedikitpun.
Kupeluk Arzio yang terbaring tak berdaya itu. Sambil menangis aku mendekatkan kepalaku pada wajahnya.
"Una mana?" tanya dengan suara pelan.
"Di ruangan sebelah," jawabku sambil sesenggukan.