Dijodohkan sejak bayi, Zean Andreatama terpaksa menjalani pernikahan bersama aktris seni peran yang kini masih di puncak karirnya, Nathalia Velova. Memiliki istri yang terlalu sibuk dengan dunianya, Zean lama-lama merasa jengah.
Hingga, semua berubah usai pertemuan Zean bersama sekretaris pribadinya di sebuah club malam yang kala itu terjebak keadaan, Ayyana Nasyila. Dia yang biasanya tidak suka ikut campur urusan orang lain, mendadak murka kala wanita itu hendak menjadi pelampiasan hasrat teman dekatnya
--------- ** ---------
"Gajimu kurang sampai harus jual diri?"
"Di luar jam kerja, Bapak tidak punya hak atas diri saya!!"
"Kalau begitu saya akan membuat kamu jadi hak saya seutuhnya."
-------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28 - Sepenuhnya Dijaga
Semenjak menikah, waktu Syila memang benar-benar terbagi. Beruntungnya, Zulia memahami putrinya hingga dia memberikan ruang lebih banyak untuk mereka berdua. Ya, sebagaimana seorang ibu yang mengira jika pernikahan putrinya benar-benar berlandaskan cinta, Zulia hanya ingin putrinya berbakti pada suami yang akan menjadi pemimpin dalam hidupnya.
Tidak hanya sang ibu, Nyayu juga begitu mengerti dan bersedia menjaga Zulia yang tidak lain masih keluarga dekatnya. Walau memang kemarin Zean sempat memberikan uang dengan nominal cukup besar, Nyayu benar-benar tulus menjaganya.
Malam mulai larut, tapi entah kenapa Syila sama sekali tidak bisa tidur. Sejak tadi dia hanya memandangi Zean yang begitu pulas dengan gurat wajah penuh kesedihan. Tidurnya Zean tidak seperti kemarin, matanya sedikit terbuka dan hal itu membuat Syila curiga.
Hingga, matanya membulat sempurna kala merasakan tubuh Zean yang kini panas. Secepat itu, padahal sebelum tidur dia baik-naik saja. Apa mungkin karena tadi hujan? Suaminya demam sementara kakinya masih sedikit sakit.
Pertemuan pertama sudah begitu buruk, demi Tuhan Syila membenci Sean. Suaminya babak belur karena pria itu, meski sulit dia bergerak Syila masih tetap bergegas menyiapkan air hangat untuk mengompres sang suami.
"Sudah kuduga memang anak mama, kena hujan saja dia sakit."
Dia tetap mengomel dalam kesendirian. Dia bukan kesal Zean demam, hanya saja dia merasa lucu kala seorang Zean yang begitu menyebalkan ternyata bisa sakit juga.
Tidak ingin Zean terganggu, Syila begitu pelan mengompres keningnya. Lampu saja tidak dia hidupkan demi membuat Zean tetap nyaman, akan tetapi temaram lampu tidur tetap berhasil membuat Syila tersenyum usai mengagumi ketampanannya.
"Eeunngh."
Di tengah kegiatannya, Zean tiba-tiba melenguh dan hal itu membuat Syila menggigit bibirnya. Apa mungkin jemarinya tadi mengganggu tidur Zean? Rasanya sudah begitu pelan dia mengusap wajahnya, pikir Syila.
"Ck, ini apa?"
Dia terbangun sekalipun Syila sudah berusaha tidak mengganggunya. Pria itu memicingkan mata lantaran kepalanya sakit luar biasa. Wajah Syila yang dia lihat dari bawah juga mengejutkan, terlebih lagi lampu utama mati.
"Kompres, kamu demam."
Zean sejenak terlihat tenang, ternyata mimpinya ditimpa kasur tidak nyata. Pertama kalinya, dia demam dan terbangun dalam keadaan kompres sudah melekat di kening. Biasanya, Zean akan diminta cepat-cepat ke rumah sakit.
"Kamu siapin ini, kakinya apa tidak sakit lagi?" tanya Zean kala mengingat kaki istrinya tadi terkilir, bahkan pindah ke kamar saja dia gendong karena khawatir masih terlalu sakit.
"Mendingan, tidak terlalu sakit lagi," ucapnya kemudian berjalan menuju saklar lampu kamar.
Syila sedikit berbohong, sebenarnya masih sakit. Namun, dia melupakan rasa itu karena Zean butuh dirinya. Wanita itu segera membantunya untuk bangun, Zean hendak beranjak dari tempat tidur.
"Mau kemana?" tanya Syila memegangi lengannya, sugguh suhu tubuh Zean memang panas.
"Toilet, aku mual."
Sudah menjadi kebiasaan Zean, jika demam maka dia akan muntah-muntah ketika terbangun. Malam ini pun sama, dia hendak berlalu sendirian. Akan tetapi, baru saja dia melangkah Syila ikut melangkah.
"Kamu tunggu di sini, aku tidak masalah sendirian," ucapnya mengerti jika kaki sang istri belum sembuh total. Lagipula hanya muntah untuk apa ditemani, pikirnya.
"T-tapi di sana banyak tikus, apalagi malem ... kalau mau muntah di sini saja, buka jendelanya," ucap Syila karena memang sama saja, hendak ke kamar mandi rasanya terlalu sulit untuk Zean saat ini.
"Dia masih ada malam begini?"
"Ya masih, makanya di sini saja."
Sejak tadi Zean sudah pucat pasi, ditambah mendengar hewan itu dia semakin pucat bahkan bulu kuduknya mendadak berdiri. Hendak mengurungkan niat, tapi mualnya semakin tersiksa. Zean juga tidak mau jika mengikuti saran Syila, hingga dia benar-benar berlalu bahkan sedikit berlari kala perutnya seakan berguncang kini.
"Dasar kepala batu memang," omel Syila menggeleng pelan dan dia menyusul Zean dengan langkah pelan.
Sudah dia katakan di kamar saja, karena jika harus ke kamar mandi Syila kesulitan mendampinginya. Tapi tidak mengapa, bukan Zean jika tidak keras kepala dan hanya ikut apa maunya.
.
.
Syila menunggu di depan pintu dengan harapan suaminya segera keluar. Memang dasar aneh, muntah saja harus dikunci, pikirnya. Cukup lama Zean ada di sana, hingga Syila menganga kala melihat wajah pucat Zean.
"Ya Tuhan, apa kita ke rumah sakit saja?" tanya Syila spontan mengusap wajahnya yang tampak basah.
Zean terduduk dan kini bersandar di tembok dekat kamar mandi. Dia benci sekali dengan perutnya yang kebiasaan tidak bisa kompromi jika sakit. Hanya saja, wajah cemas Syila membuat hatinya berdesir seketika.
"Kenapa dibasahin mukanya, luka kamu belum kering," ucap Syila berdecak pelan dan tidak habis pikir dengan ulah sang suami.
"Panas," jawab Zean kemudian, wanita itu menuntunnya untuk berdiri karena memang tidak seharusnya Zean duduk di sini.
"Sebentar, Syila ... kepalaku sakit."
"Jangan di sini, nanti masuk angin," ucap Syila mau tidak mau Zean harus menurut.
Dalam keadaan kakinya yang sakit, Syila masih membantunya untuk berjalan. Padahal, Zean bisa jalan sendiri bahkan sebelumnya dia berlari ke kamar mandi. Pria itu menarik sudut bibir seraya menatap sang istri dengan sudut matanya.
"Aku rela sakit tiap hari kalau dia begini."
Zean membatin kala Syila membantunya kembali ke tempat tidur. Syila bergegas mencari kotak obat demi meredakan panas suaminya malam ini. Langkahnya yang sedikit pincang membuat hati Zean tidak tega, "Padahal aku bisa ambil sendiri, kamu cukup kasih tahu tempatnya saja," ucap Zean kala Syila duduk di sisinya dan menyiapkan obat penurun panas segera.
"Nih minum, itu airnya sudah aku siapkan." Sejak tadi Syila siapkan karena khawatir Zean akan haus ketika terbangun.
"Obatnya terlalu besar, aku tidak suka."
"Mau dihancurkan dulu?" tanya Syila menawarkan hal itu, karena sejak dahulu cara dia minum obat juga begitu.
"Iy-iya mau, tapi aku saj_"
"Tunggu sebentar ya, aku ke dapur dulu."
Syila berlalu sebelum Zean melarangnya. Akan tetapi percayalah saat ini Zean memang sakit kepala, sementara hatinya berdebar dan Syila berhasil membuatnya persis orang gila.
Dia tersenyum simpul dan tiada hentinya salah tingkah, bahkan kini guling di sampingnya melayang akibat Zean pukul sebagai pelampiasannya.
Dia gemas sendiri, tapi panik sekaligus kala Syila kembali masuk dan melihat bantal guling kesayangannya sudah tergeletak begitu saja.
"Kenapa dibuang?"
"Ehm, itu ... a-aku terkejut, ta-tadi ada cicak, Syila." Siallan!! Dia gugup, di hadapan seorang Syila. Padahal, selama ini Zean bahkan bicara di depan pejabat negara, bisa-bisanya di hadapan istri sampai gugup segala.
.
.
- To Be Continue -