Jika cinta pertama bagi setiap anak perempuan adalah ayah, tetapi tidak bagi Lara. Menurut Lara ayah adalah bencana pertama baginya. Jika bukan karena ayah tidak mungkin Lara terjebak, tidak mungkin Lara terluka.
Hidup mewah bergelimang harta memang tidak menjamin kebahagian.
Lara ingin menyerah
Lara benci kehidupan
Lara lebih suka dirinya mati
Di tuduh pembunuh, di usir dari kediamannya, bahkan tunangannya juga menyukai sang adik dan membenci Lara.
Lantas, apa yang terjadi? Apakah Lara mampu menyelesaikan masalahnya? Sedangkan Lara bukanlah gadis tangguh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue.sea_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
"Gak aktif." Arthur berjalan mondar mandir sejak selesai acara telfonan dengan mommy nya.
"Lo kenapa? Mondar mandir udah kayak setrika aja lo, noh muka lo di setrika kusut banget."
Arthur melirik Julian sekilas, ia kemudian kembali menempelkan handphone nya ke telinga. Tak mendapat jawaban, yang ada Arthur hanya mendengar suara operator setelah itu panggilan pun mati.
Prangg
"Setan, kaget gue." Julian meraba wajahnya, apakah masih baik baik saja? Huhhh, telat sedikit saja tadi maka dapat di pastikan wajah tampan rupawan miliknya hancur. Bagaimana tidak, Arthur tiba tiba melempar ponsel pada Julian tanpa aba aba sedikitpun. "Gua tahu ya, lo pasti kesel sama gue. Tapi jangan aset berharga gue mau lo hancurkan."
Kalau nanti wajahnya lecet bagaimana? Ckk peletnya pasti akan hilang dan Julian tidak rela jika hal itu terjadi.
"Keluar."
"Lo kanapa? Ngomong kek."
"Lara gak bisa dihubungi." Meskipun ucapan Arthur datar tapi Julian dapat melihat dengan jelas bahwa terdapat rasa khawatir yang dalam dari mata Arthur. Julian yakin jika Lara sangat beruntung karena mendapatkan hal ini, padahal Arthur tidak pernah peduli pada perempuan lain sepanjang hidupnya kecuali mommy nya.
Julian merogoh ponselnya, tangannya tampak mengotak atik benda pipih tersebut. tak butuh waktu lama bagi Julian untuk mendapatkan lokasi dimana Lara berada. Tak sampai lima menit Julian kembali menyimpan ponselnya kembali di saku.
"Dia ada di mansion Ravindra, hari ini dia izin sekolah karena sakit." Jangan tanyakan dari mana Julian mengetahuinya. Sudah pasti Julian menyuruh orang untuk mengawasi Lara dari kejauhan, tak hanya itu Julian juga meletakkan banyak anak buahnya masuk ke dalam mansion.
Alis Arthur tampak bertautan, Julian yang tahu segera menjawab bahkan sebelum Arthur bertanya padanya. "Di hukum sama Ravindra sialan itu."
Arthur mengepalkan, Tak peduli jika Julian masih berada di dalam ruangannya Arthur segera pergi dari sana. Ia sangat mengkhawatirkan Lara, bagaimana jika keadaannya lebih buruk dari yang Arthur bayangkan.
"Arthur, sebentar lagi lo ada meeting."
"Batalkan."
"Gue ikut kalo gitu."
Jadilah saat ini Arthur dan Julian berada di dalam mobil menuju kediaman Ravindra.
Arthur mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, tak peduli jika jalanan ibu kota sangat ramai karena sudah memasuki jam makan siang.
Arthur tak peduli jika banyak pengendara lain yang mengumpat dirinya karena membahayakan mereka. Lihat Julian yang di sebelahnya juga ikut pucat pasi.
"Arthur, lo kalo mau mati jangan ajak gue manja banget lo mati aja bawa bawa gue."
"Berisik."
Julian kembali diam, sudah sepertinya saat ini yang cocok ia lakukan adalah diam, diam diam mengumpat sahabat sekaligus atasannya.
Tak lama keduanya tidak di sebuah kediaman yang tergolong mewah. Arthur berhenti sebentar di depan gerbang hitam yang menjulang tinggi.Julian menghela napas lega, sedari tadi dia menahan napas karena Arthur yang membawa mobil bak orang kesetanan.
Julian segera mengirim pesan pada seseorang. Seorang satpam membukakan gerbang untuk mereka.
"Gak sia sia gue gaji lo tinggi, lo cukup pintar ternyata." Julian memutar bola matanya, cukup? Hey, dia ini sangat pintar.
"Kalo mau muji jangan setengah setengah."
Julian turun lebih dulu setelah itu di susul oleh Arthur. Saat ini Rania tidak ada di rumah karena menghadiri arisan bersama dengan teman teman sosialita nya. Sementara pelayan dan penjaga yang lain tidak berani menghalangi Arthur karena anak buahnya lebih banyak daripada mereka.
Arthur segera menuju dimana kamar Lara berada. Ia membuka pintu kamar tersebut yang kebetulan tidak di kunci. Julian menunggu di luar, ia tahu jika Arthur pasti tidak ingin di ganggu.
Setelah pintu terbuka menampilkan pemandangan kamar yang gelap, itulah hal yang pertama kali Arthur lihat. Tapi Arthur tetap melangkahkan kakinya masuk karena Arthur sangat yakin jika Lara ada di dalam.
"Lara..."
Arthur segera menyalakan lampu.
Klik
Pemandangan kamar yang sangat berantakan tersaji di hadapannya. Cermin yang hancur berkeping keping, tempat tidur yang berantakan, dan juga ada darah yang sudah mengering. Jangan lupakan seseorang duduk sambil memeluk kedua lututnya, sosok tersebut duduk di lantai sambil bersandar pada sisi tempat tidur.
"Om, om kenapa bisa..."
Arthur mendengar suara yang dia rindukan. Padahal kemarin dia mendengar suara tersebut, tapi kali suara Lara terdengar nada putus asa di dalamnya. "Kamu gak perlu tahu itu."
Arthur mengetatkan rahang ketika ia melihat keadaan Lara. Gadis itu jauh dari kata baik baik saja. Tangan Lara terluka dan masih meninggalkan jejak darah, pipi lebam, rambut yang berantakan, mata gadis itu juga membengkak akibat terlalu menangis.
Lara mencoba bangkit ia tidak boleh lemah di hadapan Arthur. "Akhhh aduhh, sial kaki gue." Sepertinya ini karena Ravindra semalam menendang kakinya kuat.
Arthur segera menggendong Lara bridal style tanpa menunggu persetujuan dari gadis itu Arthur segera membawanya keluar dari kamar tersebut.Lara reflek mengalungkan tangannya di leher Arthur. "Kita ke rumah sakit sekarang, kamu harus di obati."
"Aku baik baik saja om, jangan berlebihan."
Tangan Lara terluka, pipinya penuh lebam dan gadis itu mengatakan bahwa dirinya baik baik saja. "Saya tidak menerima bantahan Lara."
"Julian, lo nyetir cepat."
Julian segera menyetir mobil Arthur menuju ke rumah sakit setelah Arthur melempar kunci mobil yang tadinya ia kendarai pada Julian.
"Cepat Julian."
Julian hanya mengangguk, daripada ia kenakan amukan dari Arthur. Lebih mengiyakan saja agar dirinya selamat.
"Apa yang dia lakukan padamu?"
Lara tersenyum, ini sudah biasa baginya. "Om, jangan buat ayahku hancur. Aku tahu om bisa melakukannya cuma dengan menjentikkan jari om, karena itu bukanlah hal sulit, bukan?"
"Padahal aku sedang merencanakannya." Arthur tak mungkin melakukan tindakan yang akan membuat Lara membencinya.
"Aku baik baik saja om, gak usah ke rumah sakit ke apartemen aja nanti om bisa panggil dokter."
Arthur menunduk, memperhatikan gadis cantik yang berada di dalam pangkuannya. "Gak bisa, kita tetap akan ke rumah sakit."
"Percaya sama aku om."
Arthur menghela napas. "Baiklah, Julian putar balik kita tidak jadi ke rumah sakit. Kembali ke apartemen gue."
Julian lagi lagi mengangguk, padahal hatinya dipenuhi umpatan demi umpatan.
"Jangan pernah mencoba mengumpat ku Julian."
"Apa dia cenayang?" Batin Julian menjerit kencang.
salam kenal
terus semangat
jangan lupa mampir ya