**Prolog**
Di bawah langit yang kelabu, sebuah kerajaan berdiri megah dengan istana yang menjulang di tengahnya. Kilian, pangeran kedua yang lahir dengan kutukan di wajahnya, adalah sosok yang menjadi bisik-bisik di balik tirai-tirai istana. Wajahnya yang tertutup oleh topeng tidak hanya menyembunyikan luka fisik, tetapi juga perasaan yang terkunci di dalam hatinya—sebuah hati yang rapuh, terbungkus oleh dinginnya dinding kebencian dan kesepian.
Di sisi lain, ada Rosalin, seorang wanita yang tidak berasal dari dunia ini. Takdir membawanya ke kehidupan istana, menggantikan sosok Rosalin yang asli. Ia menikah dengan Kilian, seorang pria yang wajahnya mengingatkannya pada masa lalunya yang penuh luka dan pengkhianatan. Namun, di balik ketakutannya, Rosalin menemukan dirinya perlahan-lahan tertarik pada pangeran yang memikul beban dunia di pundaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 35
Rosalin membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, cahaya matahari yang masuk dari sela-sela jendela bambu menusuk kelopak matanya, memaksanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Udara di ruangan itu terasa sejuk, dengan aroma kayu dan herbal yang samar tercium.
Dia mendapati dirinya terbaring di atas sebuah dipan sederhana yang terbuat dari bambu, dilapisi dengan tikar dan beberapa kain yang hangat. Langit-langit rumah yang terbuat dari anyaman bambu bergoyang lembut saat angin dari luar bertiup. Di sudut ruangan, sebuah tungku kecil menyala, menghangatkan ruangan sekaligus memanaskan panci berisi sesuatu yang mengeluarkan aroma sedap.
Rosalin mencoba bangun, tetapi tubuhnya terasa remuk. Setiap gerakan memicu nyeri yang menjalar ke seluruh tubuhnya, terutama di lengannya. Dia melirik lengannya yang terbalut kain putih yang sedikit ternoda darah kering. Bekas luka merah memanjang terlihat jelas di sana—hasil dari cengkeramannya yang terlalu kuat pada tali kekang kudanya.
"Jangan bergerak terlalu banyak," suara lembut seorang wanita memecah keheningan.
Rosalin menoleh dengan lemah. Di dekat pintu, seorang wanita paruh baya berdiri, mengenakan pakaian sederhana dari kain tenun. Wajahnya teduh, dengan kerutan yang menunjukkan usia dan pengalaman hidup. Wanita itu membawa sebuah mangkuk kecil berisi air hangat dan kain lap.
"Sudah dua hari kau tidak sadarkan diri. Tubuhmu butuh istirahat," lanjutnya sambil mendekat dan duduk di samping dipan Rosalin.
"Siapa... Anda?" suara Rosalin serak, hampir tidak keluar.
Wanita itu tersenyum tipis. "Namaku Marta. Aku menemukanku terdampar di tepi sungai, wajahmu pucat dan tubuhmu nyaris tak bernyawa. Kau sangat beruntung masih hidup."
Rosalin mencoba mengingat kejadian terakhir sebelum dia kehilangan kesadaran. Gambaran serigala yang mengejarnya, kuda yang panik, dan air sungai yang deras tiba-tiba memenuhi benaknya. Dia menarik napas dalam, rasa syukur sekaligus kecemasan membanjiri hatinya.
"Aku... jatuh ke jurang," gumam Rosalin, lebih kepada dirinya sendiri.
Marta mengangguk. "Benar. Arus sungai membawamu cukup jauh. Aku menemukanku di sela-sela bebatuan. Untung saja aku sedang mencari kayu bakar di sekitar sana."
Wanita itu mulai membersihkan wajah Rosalin dengan kain basah, gerakannya lembut dan penuh perhatian. "Kau pasti orang penting, ya? Pakaianmu saat kutemukan sangat mahal, meskipun sudah robek di sana-sini."
Rosalin hanya tersenyum tipis, tidak ingin menjelaskan siapa dirinya. "Terima kasih... sudah menolongku."
Marta tersenyum kembali. "Sudah tugasku menolong sesama. Sekarang, istirahatlah. Aku akan membuatkan sup hangat untuk menguatkan tubuhmu."
Wanita itu bangkit perlahan dan berjalan ke tungku di sudut ruangan. Sementara itu, Rosalin memandangi lengannya yang terluka. Sakitnya begitu nyata, namun dia merasa sedikit lega.
Di tengah kesunyian ruangan, Rosalin merenung. Apa yang terjadi pada kompetisi? Apakah dirinya sudah dianggap gugur? Dan, apakah orang-orang menyadari keberadaannya sekarang? Semua pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban, sementara Rosalin kembali memejamkan mata, membiarkan tubuhnya beristirahat lebih lama.
...***...
Rosalin menggenggam anting di tangannya, menyerahkannya kepada Marta yang masih sibuk di dapur. Marta menatapnya bingung.
"Ini untukmu," kata Rosalin lembut. "Sebagai ucapan terima kasih atas semua yang kau lakukan untukku."
Marta mengernyit, menatap anting itu sejenak sebelum tertawa kecil. "Oh, nona, aku tidak bisa menerima ini. Kau membutuhkannya lebih dariku"
Rosalin tersenyum samar. "Mungkin tidak banyak nilainya, tapi aku berharap itu bisa sedikit membantumu, Marta."
Marta akhirnya menerima anting itu dengan rasa syukur yang tulus. Rosalin merasa lega karena Marta tidak menyadari nilai sesungguhnya dari perhiasan itu.
...***...
Kakek tua yang datang mengetuk pintu rumah Marta tampak membawa tongkat kayu untuk menopang tubuhnya yang ringkih. Setelah mendengar rencana Rosalin menuju istana, dia langsung menawarkan diri untuk mengantar.
"Nona, aku bisa mengantarmu ke istana," kata si kakek penuh semangat.
Rosalin terkejut dan menolak dengan sopan. "Tidak perlu, Kakek. Perjalanan itu jauh, aku tak ingin merepotkanmu."
Si kakek tersenyum samar, tetapi ada kelelahan di matanya. "Nona, aku memang sudah tua, tapi aku masih bisa mengarahkan kudaku. Lagipula, aku membutuhkan uang untuk membeli bahan makanan. Jika kau membayarku, itu sudah cukup untuk bertahan beberapa hari."
Rosalin terdiam, hatinya tergerak oleh kondisi si kakek. Namun, dia tetap merasa tak enak hati. "Tapi, aku khawatir perjalanan ini terlalu berat untukmu."
Kakek itu menepuk tongkatnya ke tanah dengan ringan. "Tidak usah khawatir, nona. Biarkan aku membantu. Setidaknya aku merasa berguna, dan kau juga akan lebih aman di perjalanan."
Akhirnya, Rosalin mengangguk dengan ragu. Dia tahu kakek itu tak akan mundur dari niatnya.
...***...
Ketika Rosalin sedang bersiap untuk berangkat, Marta tiba-tiba berlari ke arahnya, membawa sebuah kalung dengan liontin batu merah berkilauan.
"Nona, ini milikmu, kan?" Marta bertanya sambil mengulurkan kalung itu. "Aku menemukannya di lantai dekat tempat tidurmu. Sepertinya terlepas dari lehermu saat kau pingsan."
Rosalin menatap kalung itu dengan tatapan terkejut. Batu merah itu adalah pemberian dari penyihir Seraphine, salah satu barang yang membuatnya merasa memiliki perlindungan. "Ah, benar, ini milikku. Terima kasih, Marta," ucapnya dengan tulus.
Marta tersenyum, lalu menambahkan dengan nada geli, "Kalung ini sangat cantik. Batu merahnya seperti darah yang membeku, aku yakin kau sangat menyukainya."
Rosalin mengangguk tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. Kalung itu bukan sekadar cantik—itu adalah simbol dari kutukan dan perlindungan yang menyelimutinya selama ini. Dengan hati-hati, dia memakainya kembali, memastikan tali kalung terikat erat di lehernya.
...***...
Saat kereta kayu mulai bergerak perlahan, Marta melambai di depan rumahnya. "Hati-hati di jalan, nona! Dan jangan lupa, jika kau bertemu Pangeran Kilian, sampaikan salamku!"
Rosalin hanya mengangguk sambil memikirkan perjalanan panjang ke istana.
bagaimana reaksi orang' ketika melihatnya. Apa Meraka akan senang atau... Sebaliknya?
...***...
Terimakasih karena telah menjadi pembaca setia cerita silhoute of love ❤️
Jangan lupa untuk like komen dan vote ❤️
One gift ❤️
semoga ceritanya sering update