Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebelas
Saat Aeri mendekatkan bibirnya, Raka langsung mengalihkan pandangannya. Dalam pikirannya, wajah Karin seolah muncul kembali, mengganggu konsentrasinya. Seperti bayangan yang tak bisa diabaikan, sosok itu menggelayuti pikirannya, membuat detak jantungnya semakin cepat.
Dia teringat setiap kata yang diucapkan Karin, kata-kata tajam yang seolah terukir dalam benaknya: bahwa dia adalah seorang pemain dalam permainan cinta. Raka menutup mata sejenak, berusaha mengusir bayangan itu, tapi saat membuka mata, sosok Karin masih menghantui pikirannya—terutama ekspresi cemberutnya.
“Tidurlah! Kau pasti capek,” kata Raka pada Aeri. Dia segera bangkit dari tempat tidur, langkahnya terburu-buru saat dia melangkah ke kamar mandi.
Aeri hanya bisa menatap punggung Raka yang perlahan menghilang di balik pintu, rasa kesal menggelayuti hatinya. “Dia tidak biasanya bersikap seperti itu,” gumam Aeri, merasa panik. Ketakutan melanda pikirannya. Dia khawatir Raka akan mengetahui rahasia yang selama ini disimpannya—sebuah rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.
Di sisi lain Raka tidak berhenti mencoba menghubungi Karin sepanjang malam, tetapi ponsel gadis itu tetap tidak aktif.
*****"
Pagi harinya, setelah bersiap-siap, Raka langsung bergegas menuju vila. Di sepanjang perjalanan, pikirannya melayang-layang antara rasa cemas dan harapan. Setiap kali mobilnya melaju melewati deretan pohon yang melambai, dia merasakan gelombang kerinduan untuk melihat Karin.
Saat mendekati gerbang villa, Raka melihat sosok Karin berdiri di pinggir jalan, menunggu taksi. Hatinya berdesir, dan tanpa berpikir panjang, dia berbalik untuk mendekatinya.
Karin berpura-pura tidak melihat mobilnya, langkahnya cepat seolah berusaha menghindar. Raka membunyikan klakson berulang kali, tetapi gadis itu tidak berhenti. Dengan cepat, Raka menghentikan mobilnya tepat di depan Karin, mencoba menghalangi langkahnya.
Dia keluar dari mobil dan langsung memeluk tubuh Karin, seolah ingin mengikat gadis itu dalam pelukannya selamanya. Malam sebelumnya, dia berencana kembali ke villa, tetapi ketakutan akan Aeri yang mencurigai keberadaannya di tengah malam membuatnya ragu. Ternyata Rio terbangun dan mencarinya, yang membuatnya semakin merasa bersalah.
“Raka, lepaskan aku!” teriak Karin, berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Suaranya terdengar tegas, tetapi di balik nada itu, Raka bisa merasakan ketidakpastian.
“Aku khawatir padamu,” ucap Raka lirih, matanya penuh perhatian. Dia merasa cemas, gelisah jika terjadi sesuatu pada Karin.
Karin terdiam mendengar kata-kata Raka, tetapi keraguan segera melanda pikirannya. “Kau pasti bersenang-senang dengan wanita lain semalam,” pikirnya, hatinya seakan terbelah antara keinginan untuk percaya dan ketidakpercayaan. Dia mencoba mendorong tubuh Raka dengan penuh semangat, berusaha merobek jarak yang mengikat mereka.
“Ayo, kita pergi bersama!” Raka perlahan melepaskan pelukannya, tetapi Karin masih terus mendorongnya, merasakan ketidakpastian yang melingkupi mereka.
“Aku sudah pesan taksi,” ucapnya datar, sambil merapikan pakaiannya dengan gerakan yang terburu-buru.
Tak lama, taksi berhenti tepat di belakang mereka. Karin berbalik untuk menuju taksi itu, tetapi Raka menahan tangannya.
“Karin,” panggil Raka lembut, berusaha menembus dinding ketidakpastian yang menghalangi mereka.
“Lihat, taksi sudah menungguku!” jawab Karin, berusaha melepaskan pegangan Raka.
Raka melangkah maju menuju taksi, menyerahkan beberapa lembar uang kepada sopir, dan menyuruhnya pergi.
“Kenapa kau menyuruhnya pergi?!” teriak Karin kesal, terkejut dengan tindakan Raka yang tiba-tiba.
“Tidak apa-apa, masuk saja!” ajak Raka, pelan-pelan mendorong Karin ke kursi penumpang depan. Dia merasa perlu melindungi gadis itu dari kebingungan dan rasa sakit yang mungkin dia alami.
Di sepanjang perjalanan, Karin memalingkan wajahnya, merasa emosinya meledak setiap kali melihat Raka. Dalam hatinya, dia berperang melawan perasaan yang campur aduk—antara cinta dan cemburu, antara keinginan untuk percaya dan ketidakpastian yang menyakitkan.
“Kenapa nomormu tidak aktif?” tanya Raka, berusaha membuka percakapan, berharap bisa menjernihkan suasana yang tegang.
“Tanya saja pada Manajer Han!” jawab Karin sambil memutar bola matanya, menahan rasa marah yang menyala di dalam hatinya.
“Maksudmu? Apa hubungannya dengan Han?” Raka bingung, mengerutkan kening, berusaha memahami apa yang terjadi.
“Ponselku jatuh dari lantai lima karena Manajer Han mengejutkanku,” Karin menjelaskan sambil mendengus kesal, ingat betapa malunya dia saat itu.
“Aku akan membelikanmu yang baru nanti,” kata Raka, berusaha menenangkan suasana. Dalam hati, dia ingin memberi Karin semua yang dia butuhkan, meskipun dia tahu itu bukanlah solusi untuk masalah mereka.
“Tidak perlu, aku akan membelinya sendiri setelah gajian,” jawab Karin datar, merasa seolah semua ini hanya sebuah permainan yang tidak ada artinya.
“Berikan saja pada kekasihmu yang satu lagi!” Karin menambahkan dengan nada menyindir, hatinya terluka mendengar kata-kata itu.
“Aku bersama anakku tadi malam. Dia ingin tidur denganku,” Raka mengungkapkan, menatap wajah Karin dengan serius, berharap gadis itu bisa melihat kebenaran dalam matanya.
“Bodo amat! Aku tidak peduli.” Karin menjawab sambil menggigit kuku telunjuknya, merasa marah sekaligus putus asa. Dia tidak tahu harus berbuat apa, hatinya berkonflik antara cinta dan cemburu.
“Aku tidak melakukan apa pun dengan Aeri. Aku tidur di kamar anakku sepanjang malam,” Raka menjelaskan, berusaha meyakinkan Karin bahwa dia tidak memiliki alasan untuk curiga.
“Itu bukan urusanku.” Mereka saling bertatapan, dan Raka tidak terlihat berbohong. Dalam tatapan Raka, Karin bisa melihat kejujuran, tetapi ketidakpastian dalam dirinya tetap mengganggu.
“Apakah kamu cemburu?” tanya Raka sambil tersenyum miring, berusaha mengubah suasana.
"Cemburu? Tidak mungkin aku cemburu pada pemain sepertimu!" ucap Karin dengan nada berapi-api, suaranya hampir membakar udara di dalam mobil. Mata hitamnya memancarkan kemarahan yang tak tertahan, dan di dalam hatinya, rasa tidak nyaman mulai mengendap, tetapi ia berusaha keras untuk menyembunyikannya.
Raka, yang duduk di sampingnya, hanya tersenyum dengan sikap penuh tantangan. "Kalau kamu tidak cemburu, kenapa kamu berteriak seperti itu?" godanya, matanya berkilau nakal.
Karin terdiam, kata-kata Raka mengendap dalam pikirannya. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, melihat jalanan yang berlalu, mencoba merenungkan kata-kata itu. Apakah dia cemburu? Tentu saja tidak! Dia hanya marah karena Raka selalu berbohong dan mempermainkan perasaan wanita.
"Turunkan aku di sini!" kata Karin tegas, mengingatkan dirinya untuk tetap berpegang pada keputusan. Ia meminta izin untuk turun dari mobil, ingin kembali ke taksi seperti biasa, jauh dari kehadiran Raka yang membuatnya sebal.
Raka mengerem mobilnya perlahan. "Ayo kita makan akhir pekan ini!" ajaknya, suaranya masih mencerminkan harapan meskipun Karin sudah berbalik pergi.
"Tidak, aku akan pergi ke bioskop dengan teman-temanku," jawab Karin sambil melepas sabuk pengamannya karena suda sampai. Rasa dingin yang menyengat hati Raka terasa lebih tajam saat ia melihat Karin melangkah keluar tanpa meliriknya sedikit pun, seolah dia tak ada artinya sama sekali.
Karin memasuki gedung, melangkah melalui pintu belakang yang diperuntukkan bagi karyawan. Tangannya memainkan tali selempang tasnya, sementara langkahnya terasa cepat dan tertekan. Mengapa saat berada dekat Raka, ia selalu merasa marah dan berpikiran buruk tentangnya? Hatinya bergejolak antara rasa suka dan benci.
"Karin, tunggu!" panggil Beni, berlari mengejarnya. Gerakannya cepat, mengabaikan napas yang terengah-engah.
Karin menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. "Hai, kamu tidak membawa mobil?" tanyanya saat Beni sudah berada di sampingnya, wajahnya tampak ceria meskipun baru saja berlari.
"Tidak, Kakek membawa pergi mobilnya," jawab Beni, sedikit terengah-engah. Ia selalu bisa membuat Karin merasa lebih baik, setidaknya untuk saat ini.
"Apa yang kamu bawa?" Karin bertanya, melihat Beni yang menggenggam kantong plastik di tangan kanannya.
"Ah, ini... ini... Nenek menitipkan sesuatu untukmu," Beni menjawab dengan malu-malu, memberikan kantong plastik itu dengan lembut.
Karin membuka sedikit kantong plastik itu dan langsung disambut aroma yang sangat lezat. Aroma yang menenangkan dan menggoda indra penciumannya.
"Ternyata Nenek masih mengingatnya," gumamnya sambil tersenyum malu. Di dalamnya terdapat hidangan favorit yang terbuat dari ikan goreng yang disajikan dengan tumis sayuran dan saus pedas. Kenangan saat SMA melintas dalam pikirannya, saat ia berkunjung ke rumah Beni dan merasakan kelezatan masakan neneknya.
"Ya, Nenek juga bertanya tentangmu. Ingin kau mengunjungi kami, Nenek akan membuat lebih banyak makanan untukmu," kata Beni dengan senyuman hangat.
“Terima kasih banyak, lain kali aku akan mengunjungi Nenek,” jawab Karin, hatinya terasa hangat dengan perhatian yang tulus.
"Ayo, kita makan bersama!" Karin meraih pergelangan tangan Beni, mengajaknya menuju dapur dengan semangat.
Jantung Beni berdebar kencang saat merasakan sentuhan lembut Karin. Ketakutan menggelayuti pikirannya—apakah semua ini hanya mimpi? Dalam pikirannya, ia mengenang masa-masa saat ia menyukai Karin, saat teman-teman wanitanya merasa iri karena kedekatannya dengan gadis yang menawan itu.
Tanpa mereka sadari, Raka sudah mengikuti langkah mereka ke dapur, rasa penasaran mengusik hatinya. Melihat Karin yang memegang tangan Beni dan tertawa terbahak-bahak dengan pria lain, hatinya bergetar. Dia memilih untuk mengintip melalui jendela kaca, merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Ayo kita makan!" Karin mengeluarkan dua mangkuk dan membagi makanan dari nenek Beni untuk mereka berdua. Senyuman cerah menghiasi wajahnya saat melihat makanan itu.
"Tapi ini hanya untukmu," kata Beni, sedikit ragu.
"Lebih baik makan bersama," Karin menjawab, mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Perutnya sudah sangat lapar; dia tidak sempat sarapan karena merasa tidak enak. Namun, saat melihat makanan yang menggoda, perutnya meronta minta diisi.
Beni merasa senang bisa menghabiskan waktu dengan Karin, momen yang berharga setelah sekian lama mereka tidak berbicara. "Cobalah! Enak sekali!" Karin menyuapkan makanan itu ke mulut Beni, matanya berbinar penuh harap agar dia menyukai hidangan tersebut.
Beni membuka mulutnya dan mulai mengunyah makanan itu. Sensasi rasa yang luar biasa berpadu dengan kebahagiaan di dalam hati. Ini semua terasa lebih manis saat bisa berbagi dengan Karin, gadis yang selalu ada dalam pikirannya.
Tiba-tiba, Jean, rekan kerja mereka, muncul dan terkejut melihat Raka berdiri di sana. "Tuan Raka? Kenapa Anda berdiri di sini?" tanyanya sambil berjalan ke arah dapur.
Karin dan Beni menoleh, terkejut saat Raka tiba-tiba masuk ke dapur, padahal dia jarang sekali melakukannya. "Selamat pagi, Tuan Raka," sapa Beni, langsung berdiri dan membungkukkan badan.
Karin hanya diam, tetap sibuk menyantap hidangan di depannya, mengabaikan kehadiran Raka yang sepertinya tidak ingin dia lihat saat ini.
"Kelihatannya lezat! Bolehkah aku mencicipinya?" tanya Raka, mengamati Karin yang sedang makan, lalu duduk di depannya menggantikan Beni. Suaranya terdengar begitu akrab namun menyakitkan di telinga Karin.
“Hah?” Karin menatap wajah Raka, tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Maaf, kau tidak akan suka makanan seperti ini," jawab Karin dengan senyuman yang terasa dipaksakan, lalu mengambil makanan yang ada di mangkuk Beni seolah untuk memberi sinyal bahwa ini adalah miliknya.
Tiba-tiba, Raka meraih sumpit yang biasa digunakan Karin. Tanpa ragu, dia menyuapnya ke mulutnya hingga habis. Melihat sikap Raka yang mengambil makanan itu, Karin merasa hatinya terbakar. Mengapa dia bisa begitu tidak peduli? Raka tampak kesal saat melihat kedekatan Karin dengan Beni, dan sikapnya sangat berbeda ketika berada di dekatnya.
Karin, Jean, dan Beni hanya bisa terdiam, terkejut melihat kelakuan bos mereka. Terutama Jean dan Beni yang tidak percaya saat Raka makan dengan sumpit milik Karin.
"Kenapa kau... maksudmu kau menghabiskan semua makanannya?" tanya Karin, suaranya melambung tinggi. Makanan nenek Beni terlalu enak untuk dibagikan kepada orang lain, dan dia tidak ingin Raka merusak momen ini.
"Karin, biarkan saja. Aku akan meminta Nenek membuatkan lebih banyak untukmu. Jangan bersikap kasar pada Tuan Raka," bisik Beni, berusaha menenangkan Karin sambil menarik lengannya.
"Biarkan saja, bukankah tidak sopan memakan milik orang lain," Karin menjawab sambil mengerucutkan bibirnya, mengungkapkan ketidakpuasannya.
"Maaf, aku sudah menghabiskan semuanya. Aku akan mengirimkan makanan untukmu," kata Raka sambil berdiri, menatap Karin dengan senyuman yang menyakitkan.
"Tidak perlu," jawab Karin datar, berusaha menutupi rasa sakit yang menjalar di hatinya.
"Terima kasih, Tuan," ujar Jean, memberi isyarat kepada Karin dengan sikutnya.
"Karin, tolong antar minuman ke kantorku!" Raka memerintahkan dengan nada yang membuat Karin merinding, lalu bergegas pergi.