Jangan lupa mampir di Fb otor (Mima Rahyudi)
**
**
**
“Dad! Aku ingin kita akhiri hubungan kita!” seru Renaya tiba-tiba.
“Kenapa, baby?” tanya Mario.
“Aku nggak nyaman sama semua sikap Daddy,” jawab Renaya
“Kita tidak akan pernah berpisah, baby. Karena aku tidak akan melepaskan kamu.”
Hidup Renaya seketika berubah sejak menjalin hubungan dengan Mario, pria matang berusia 35 tahun, sementara usia Renaya sendiri baru 20 tahun. Renaya begitu terkekang sejak menjadi kekasih Mario, meski mungkin selama menjadi kekasihnya, Mario selalu memenuhi keinginan gadis cantik itu, namun rupanya Mario terlalu posesif selama ini. Renaya dilarang ini dan itu, bahkan jika ada teman pria Renaya yang dekat dengan sang kekasih akan langsung di habisi, dan yang paling membuat Renaya jengkel adalah Mario melarang Renaya untuk bertemu keluarganya sendiri. Sanggupkan Renaya menjalani hidup bersama Mario? Kenapa Mario begitu posesif pada Renaya? Ada rahasia apa di balik sikap posesif Mario?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mima Rahyudi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Arnold duduk di ruang kerjanya, menatap layar ponselnya dengan ragu sebelum akhirnya menekan tombol panggil. Dia merasa perlu memastikan Renaya masih berada di pihaknya. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya tersambung.
"Renaya, sayang, ini Papi," ujar Arnold dengan suara selembut mungkin.
Di sisi lain, Renaya yang sedang duduk di ruang tamu apartemennya mendengar suara itu. Mata gadis itu seketika menyipit penuh amarah. Dia menghela napas panjang, lalu menjawab, "Ada apa, Papi?" Nada suaranya dingin, jauh dari kehangatan biasanya.
Arnold terdiam sejenak, menyadari perubahan nada itu. "Papi ingin kita bertemu. Ada yang ingin Papi bicarakan denganmu," katanya, mencoba tetap tenang.
Renaya mendengus sinis. "Untuk apa? Apa Papi mau terus menipuku lagi?"
Arnold terkejut mendengar nada tajam itu. "Apa maksudmu, sayang? Papi tidak pernah menipumu. Kita perlu bicara langsung agar bisa saling memahami."
Suara Renaya tiba-tiba meninggi. "Tidak pernah menipu? Papi jahat! Kenapa selama ini aku tidak tahu kebenarannya?"
Kata-kata itu menusuk Arnold. Dia menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Renaya, kebenaran apa yang kamu maksud? Apa yang terjadi?" tanyanya hati-hati.
Renaya menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca. "Jangan pura-pura, Papi. Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu kalau Daniel adalah ayah kandungku! Kenapa Papi tidak pernah memberitahuku?"
Arnold membelalakkan matanya, tubuhnya terasa seperti membeku. Telepon di tangannya hampir terlepas. "Siapa yang memberitahumu itu?" tanyanya tergagap.
Renaya tertawa kecil, penuh kepahitan. "Jadi itu benar? Bahkan sekarang Papi tidak mencoba menyangkalnya. Kenapa? Kenapa Papi menyembunyikan ini dariku? Apa Papi pikir aku tidak punya hak untuk tahu siapa ayah kandungku?"
Arnold mencoba meredam emosinya, meskipun hatinya bergemuruh. "Renaya, dengarkan Papi. Semua yang Papi lakukan adalah untuk melindungimu. Papi tidak ingin kamu terluka."
"Lindungi aku?" Renaya memotong dengan nada tajam. "Dengan cara apa? Dengan kebohongan? Dengan menjauhkan aku dari ayahku sendiri? Apa Papi pikir itu akan membuatku bahagia?"
Arnold mengusap wajahnya dengan frustasi. "Renaya, Daniel bukan orang yang tepat untukmu. Papi hanya ingin kamu memiliki hidup yang terbaik. Itu sebabnya Papi mengambil tanggung jawab sebagai ayahmu."
Renaya merasa dadanya sesak. "Papi tidak mengambil tanggung jawab. Papi mengambil hidupku, Papi mengambil hakku untuk mengenal ayah kandungku! Apa Papi tahu betapa sakitnya mengetahui kebenaran ini dari orang lain?"
Arnold terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata Renaya bagaikan palu yang menghancurkan hatinya. Setelah beberapa saat, dia berkata lirih, "Papi hanya ingin kamu bahagia, Renaya. Papi tidak pernah ingin kamu merasa kehilangan."
"Bahagia? Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku rasakan sekarang!" seru Renaya, suaranya pecah. "Aku harus bagaimana, Papi? Aku tidak percaya lagi pada Papi!"
Arnold berusaha menahan emosinya, meskipun hatinya terasa seperti dihujam belati. "Renaya, Papi mohon, beri Papi kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Kita bisa bertemu dan membicarakan ini."
Renaya menggeleng meskipun Arnold tidak bisa melihatnya. "Aku butuh waktu. Aku tidak mau bertemu dulu. Jangan hubungi aku lagi untuk sementara." Dengan itu, dia menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Arnold menatap ponselnya yang kini diam. Napasnya berat, dadanya terasa sesak. Dia menyandarkan tubuhnya di kursi, menyadari bahwa hubungan mereka kini tergantung pada seutas benang tipis. "Aku harus melakukan sesuatu," gumamnya, tekad mulai tumbuh di dalam dirinya.
Anne yang sedang berada di ruang tamu langsung mendengar suara pintu kamar yang dibanting. Dia segera bangkit dan berjalan ke kamar Renaya. Saat pintu kamar dibuka, dia melihat Renaya terduduk di tepi ranjang dengan wajah terbenam di kedua tangannya, bahunya berguncang menahan isakan.
Anne mendekat perlahan, khawatir membuat suasana hati Renaya semakin buruk. Dia duduk di sebelah Renaya dan meletakkan tangan lembut di bahunya. "Nona Renaya, kamu kenapa?" tanyanya lembut.
Renaya mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, menatap Anne dengan sorot mata yang penuh kesedihan dan kebingungan. "Aku benci semuanya, Kak," katanya dengan suara yang pecah. "Aku merasa seperti hidupku cuma kebohongan."
Anne mengernyit. "Kebohongan apa, Nona? Kamu bisa cerita ke Kakak."
Renaya menghela napas panjang, mencoba menenangkan tangisnya. "Aku baru tahu kalau Papi Daniel itu ayah kandungku. Selama ini aku pikir Papi Arnold adalah ayahku. Tapi ternyata… semuanya bohong."
Anne terkejut, tetapi dia berusaha tetap tenang. "Jadi kamu sudah tahu soal itu?" tanyanya hati-hati.
Renaya mengangguk sambil menyeka air matanya dengan punggung tangan. "Kenapa semua orang menyembunyikan ini dariku? Aku punya hak untuk tahu, Kak."
Anne menarik napas panjang dan merangkul Renaya, memberikan kehangatan yang gadis itu butuhkan. "Sayang, aku tahu ini berat untuk kamu. Tapi mungkin mereka hanya ingin melindungi kamu. Kadang orang tua mengambil keputusan yang menurut mereka terbaik, meskipun itu menyakitkan."
"Tapi aku merasa dikhianati," ujar Renaya sambil menyandarkan kepalanya di bahu Anne. "Aku nggak tahu harus percaya sama siapa lagi."
Anne mengusap punggung Renaya dengan lembut. "Percaya sama Daddy kamu, Mario. Dia nggak akan pernah ninggalin kamu atau bohong sama kamu. Aku yakin dia cuma mau kamu tahu kebenarannya di saat yang tepat."
Renaya menggeleng pelan. "Tapi semuanya terasa salah. Aku bahkan nggak tahu harus gimana kalau ketemu Papi Daniel lagi."
Anne tersenyum kecil dan memiringkan kepalanya untuk menatap Renaya. "Kamu nggak perlu memutuskan semuanya sekarang. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Tuan Daniel mungkin ayah kandung kamu, tapi kamu nggak harus buru-buru menerima atau menolak dia. Lakukan sesuai hati kamu."
Renaya terdiam sejenak, mencerna kata-kata Anne. Perlahan, dia mengangguk. "Mungkin kamu benar, Kak. Tapi ini tetap terasa sangat sulit."
Anne mengecup puncak kepala Renaya dengan lembut. "Kamu nggak sendirian, Nona. Tuan Mario selalu ada buat kamu. Saya juga tidak akan meninggalkanmu. Apa pun yang kamu butuhkan, bilang ke Kakak, ya?"
Renaya mengangguk lagi dan menarik napas panjang. "Terima kasih, Kak Anne. Aku bersyukur kamu ada di sini."
Anne tersenyum dan memeluk Renaya erat. "Itulah gunanya seorang Anne ada disini. Jangan simpan semuanya sendiri, oke?"
Renaya mengangguk kecil, merasa sedikit lebih ringan setelah mendengar kata-kata Anne.
**
**
**
Bella melangkah masuk ke sebuah kafe dengan langkah penuh percaya diri. Ia mengenakan kacamata hitam besar dan dress hitam elegan, menutupi wajahnya dari perhatian orang. Di sudut ruangan, Dimas sudah menunggunya sambil menyeruput secangkir kopi. Pria itu tersenyum kecil saat melihat Bella mendekat.
"Sudah lama menunggu?" tanya Bella sambil melepas kacamata hitamnya dan duduk di hadapan Dimas.
"Tidak terlalu," jawab Dimas santai. "Kamu kelihatan gelisah. Ada masalah?"
Bella menarik napas dalam dan menatap Dimas dengan tajam. "Aku tahu siapa pria yang kemarin kita lihat bersama Mario."
Dimas mengangkat alisnya. "Oh? Siapa dia?"
"Itu Daniel," jawab Bella singkat, namun penuh penekanan.
Dimas terdiam sejenak, lalu tersenyum samar. "Jadi Daniel sudah kembali. Hmm... itu berita menarik."
Bella memajukan tubuhnya sedikit, suaranya menurun, namun penuh urgensi. "Kalau Daniel sudah kembali, itu berarti aku harus segera bertindak. Kekayaan Arnold harus menjadi milikku sebelum Daniel melakukan sesuatu."
Dimas menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Bella dengan tatapan menilai. "Dan apa rencanamu?"
Bella mengepalkan tangan, matanya penuh tekad. "Aku akan memastikan semua aset Arnold beralih ke namaku. Kamu harus membantuku, Dimas."
Dimas tertawa pelan, lalu mengangguk. "Tentu saja aku akan membantumu. Bukankah itu tujuan kita dari awal? Kamu berpura-pura menjadi istri Arnold, dan aku menjalankan rencana di balik layar."
Bella menghela napas lega, meskipun matanya masih menyiratkan kegelisahan. "Tapi ini tidak akan mudah. Arnold bukan orang bodoh. Kalau dia tahu aku bekerja sama denganmu, semuanya bisa berantakan."
Dimas mengangkat bahu, senyumnya tetap tak berubah. "Itu resiko yang harus kita ambil. Tapi aku tidak akan membiarkan rencana kita gagal, Bella. Aku punya beberapa koneksi yang bisa membantu mempercepat proses ini."
Bella mengangguk, perlahan kepercayaan dirinya kembali. "Baik. Pastikan kamu tidak melakukan kesalahan, Dimas. Kali ini, kita tidak boleh gagal."
"Percayakan itu padaku," kata Dimas, suaranya tenang namun penuh keyakinan. "Lagipula, kalau kamu berhasil merebut kekayaan Arnold, itu juga keuntungan untukku, bukan?"
Bella tersenyum tipis, meskipun hatinya masih dipenuhi rasa waspada. "Kita lihat saja, Dimas. Aku hanya tidak ingin Daniel atau Mario menghalangi jalanku."
"Kalau begitu, kita harus pastikan mereka tidak punya kesempatan untuk melakukannya," balas Dimas, matanya berkilat penuh niat.