Firda Humaira dijual oleh pamannya yang kejam kepada seorang pria kaya raya demi mendapatkan uang.
Firda mengira dia hanya akan dijadikan pemuas nafsu. Namun, ternyata pria itu justru menikahinya. Sejak saat itu seluruh aspek hidupnya berada di bawah kendali pria itu. Dia terkekang di rumah megah itu seperti seekor burung yang terkurung di sangkar emas.
Suaminya memang tidak pernah menyiksa fisiknya. Namun, di balik itu suaminya selalu membuat batinnya tertekan karena rasa tak berdaya menghadapi suaminya yang memiliki kekuasaan penuh atas hubungan ini.
Saat dia ingin menyerah, sepasang bayi kembar justru hadir dalam perutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QurratiAini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga puluh
Pengawal-pengawal pewaris keluarga Handoko itu berpakaian seragam formal dan berdiri tegak, memastikan tidak ada gangguan. Mereka bekerja dengan sangat profesional.
Dari depan pintu rumah, Bambang, Wati, dan Laras hanya bisa menyaksikan dengan wajah pucat pasi. Wati memeluk Laras yang kini menangis terisak, sementara Bambang menggenggam tangannya sendiri dengan gemetar. Ketiganya merasa begitu kecil, begitu hina di hadapan sosok seperti Abraham—pria yang bukan hanya kaya raya, tetapi juga memiliki kekuasaan yang mampu menghancurkan hidup mereka dalam sekejap. Ketakutan merambati setiap inci tubuh mereka, seolah ancaman Abraham tadi terus terngiang di telinga mereka.
Mesin mobil menyala, suara halusnya terasa kontras dengan ketegangan yang baru saja terjadi di rumah itu. Dengan tenang namun penuh otoritas, mobil yang membawa Abraham dan Firda mulai melaju keluar dari pekarangan, diikuti oleh deretan mobil pengawal.
Bambang, Wati, dan Laras tidak berani bergerak, hanya berdiri terpaku di tempat mereka berdiri, menyaksikan iring-iringan itu melesat pergi. Hanya setelah mobil terakhir hilang dari pandangan, barulah akhirnya mereka bisa menghela napas panjang, seolah baru saja terlepas dari cengkeraman maut.
Setelah kepergian Abraham dan Firda bersama para pengawal pria itu, mereka langsung masuk kembali ke dalam rumah.
Kini suasana di dalam rumah terasa sangat tegang. Bambang duduk dengan wajah suram di kursi usang di ruang tamu, sementara Wati meremas-remas tangannya dengan gelisah. Laras, di sisi lain, duduk bersandar malas di sofa dengan wajah cemberut. Matanya masih berkaca-kaca, namun bukan karena ketakutan, melainkan rasa iri yang membara.
“Kenapa harus Firda, sih?” Laras mengeluh, suaranya meninggi. “Aku jauh lebih cantik, lebih muda, dan lebih pantas jadi istri Tuan Abraham! Bukannya Firda itu cuma gadis kurus, penyakitan, dan gak punya apa-apa selain muka kasihan?” Laras mendengus, menatap kedua orang tuanya dengan penuh kekecewaan. “Kenapa kalian malah diam saja? Kenapa kalian gak bilang apa-apa ke Tuan Abraham kalau aku yang lebih pantas?”
Bambang menghela napas panjang sambil menyandarkan tubuhnya, sementara Wati menepuk tangan Laras dengan lembut, mencoba menenangkannya. “Kamu benar, Nak. Harusnya memang kamu yang jadi istri Tuan Abraham. Kamu itu cantik, pintar bicara, dan tahu bagaimana caranya menyenangkan orang kaya seperti dia. Bukan Firda yang cuma tahu nangis!” ujar Wati penuh emosi.
Bambang menimpali dengan suara rendah, namun tetap terdengar geram. “Masalahnya, Tuan Abraham itu tipe orang yang gak bisa diatur, apalagi dipermainkan. Kalau tadi aku bilang apa-apa soal kamu, bisa-bisa dia malah marah lebih besar lagi. Kamu lihat sendiri, kan, bagaimana dia tadi? Gak ada yang bisa melawan orang seperti itu.”
“Tapi, Yah, kita gak bisa biarkan Firda seenaknya mengambil kesempatan ini!” Laras memotong dengan keras kepala. “Aku yang lebih pantas dapat semuanya—uang, kemewahan, kehidupan yang enak! Dia gak pantas, Yah, Bu! Dia cuma anak yatim piatu yang gak berguna!”
Wati menatap Bambang dengan sorot mata penuh kekesalan, seolah mencari dukungan. “Apa lagi sekarang? Kita gak bisa mendekati Firda karena dilarang oleh Tuan Abraham. Kalau kita coba-coba, bisa-bisa kita benar-benar dihancurkan sama dia!” Wati mengerang, frustrasi. “Padahal, aku sudah membayangkan hidup nyaman dan bergelimangan harta tanpa perlu kerja keras. Ena kan, tinggal minta saja kepada Firda berapa pun uang yang aku mau. Tapi sekarang? Apa yang bisa kita lakukan?”
Wati bener-bener merasa sangat dongkol sekarang. Bayangan dirinya bisa pamer perhiasan mewah, mobil mewah, rumah baru, .... kepada para tetangganya di sini, seketika semua itu menjadi sirna!
Bambang mengepalkan tinjunya, wajahnya tampak semakin gelap. “Harusnya kita dari awal mencegah pernikahan ini! Kita bisa paksa Firda nolak Tuan Abraham, bilang dia gak mau menikah. Lalu kita ajukan Laras sebagai gantinya. Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. Firda sudah jadi istrinya, dan kita gak bisa berbuat apa-apa lagi!”
Wati menghela nafas panjang. "Kalau kita semua tahu sejak awal Tuan Abraham ingin menikahi Firda, tentu saja kita nggak akan membiarkan ini terjadi. Tapi... Dari awal kan kita mengira Tuan Abraham membeli Firda hanya untuk menjadikan gadis itu pelacur dan pemuas nafsunya saja. Mana ada kita kepikiran kalau Firda akan menjadi istri pria itu!"
Bambang mengangguk setuju. Wajahnya kini penuh dengan penyesalan. Seandainya waktu bisa terulang kembali, pertemuan pertamanya di klub malam dengan Tuan Abraham, saat pria itu menyampaikan maksudnya ingin membeli putri Bambang seharga 1 miliar... seharusnya Bambang langsung memberikan putri kandungnya sendiri saja, bukan malah Firda keponakannya!
Namun, semuanya sudah terlanjur terjadi tanda seru dirinya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk mengulang waktu.
Laras melipat tangannya, wajahnya merengut. “Aku benci Firda. Seharusnya dia sadar diri, dia gak pantas dapat semua itu. Kalau aku di posisinya, aku pasti bisa manfaatin kesempatan ini buat keluarga kita! Tapi dia? Apa gunanya?”
Wati mengangguk setuju, nada suaranya penuh kebencian. “Dia itu gak tahu diuntung! Dia benar-benar enggak menutupi kejahatan kita di depan Tuan Abraham! Seharusnya dia sebagai orang yang sudah kita rawat sejak kecil, menunjukkan kebaikan-kebaikan kita kepada Tuhan Abraham, bukan malah keburukan kita! Dia bersikap seolah dia adalah gadis suci tak berdosa dan tak punya salah!"
Laras mengangguk setuju terhadap pendapat ibunya tersebut. "Benar! Dia itu hanya sok polos! Aku yakin dia sengaja merencanakan hal ini, sengaja masuk ke kamarnya yang kumuh itu supaya Tuan Abraham bisa melihat kalau kita selama ini memperlakukannya dengan sangat buruk. Aku yakin dia sudah merencanakan hal ini sejak awal supaya Tuan Abraham marah besar kepada kita sehingga kita nggak bisa berjumpa lagi dengannya. Dengan begitu, kita nggak bisa minta uang kepadanya!"
Wati menggertakkan giginya karena terlampau kesal sekarang. "Seharusnya dia menikah dengan pria konglomerat seperti Tuan Abraham itu bisa membuat keluarga kita hidup nyaman menikmati kekayaannya juga. Tapi apa sekarang? Kita cuma bisa gigit jari! Firda memang sangat pelit, Dia sengaja tidak mau berbagi harta kekayaan Tuan Abraham supaya bisa menikmatinya sendiri!”
Bambang akhirnya bangkit berdiri, wajahnya terlihat penuh kekecewaan. “Sudahlah! Kita gak bisa terus begini. Kalau Tuan Abraham sampai tahu kita merencanakan sesuatu, habis kita!” Dia menghela napas panjang, mencoba menguasai emosinya. “Untuk sekarang, kita diam dulu. Tapi ingat, kita harus cari cara lain. Laras, kamu tenang saja. Ini belum selesai.”
Namun, meskipun mereka mencoba meyakinkan diri sendiri, bayang-bayang ancaman Abraham masih membayangi pikiran mereka, membuat ketakutan terus merayap di benak mereka bertiga. Walau mulut mereka masih sibuk berkeluh kesah dan merencanakan hal-hal baru, rasa takut terhadap Abraham yang dingin dan berwibawa itu tak bisa mereka enyahkan begitu saja.