Banyak wanita muda yang menghilang secara misterius. Ditambah lagi, sudah tiga mayat ditemukan dengan kondisi mengenaskan.
Selidik punya selidik, ternyata semuanya bermula dari sebuah aplikasi kencan.
Parahnya, aparat penegak hukum menutup mata. Seolah melindungi tersangka.
Bella, detektif yang dimutasi dan pindah tugas ke kota tersebut sebagai kapten, segera menyelidiki kasus tersebut.
Dengan tim baru nya, Bella bertekad akan meringkus pelaku.
Dapatkah Bella dan anggotanya menguak segala kebenaran dan menangkap telak sang pelaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DYD6
Rani merupakan seorang gadis yatim piatu yang hidup selama belasan tahun bersama sang nenek tercinta.
Hari-hari nya, hanya dihabiskan dengan membantu sang nenek berjualan kue tradisional di pasar.
Gadis cantik yang baru saja menginjak usia 17 tahunnya itu, berusaha mengejar mimpi, yang sebenarnya ia yakini tak mungkin bisa ia raih. Mimpinya menjadi seorang dokter, ia berharap dapat mengobati neneknya yang seringkali sakit-sakitan.
Namun, apalah daya? Impian Rani harus kandas, terkendala dengan latar belakang pendidikannya yang hanya tamatan SD.
Tentu saja Rani sudah berusaha jauh lebih giat. Gadis cantik itu rajin menabung demi bisa mengikuti ujian paket B dan paket C. Namun, lagi dan lagi uang yang ia kumpulkan harus terpakai untuk biaya pengobatan sang nenek. Kini ia sudah pasrah, tak mau lagi berharap banyak. Yang ia inginkan saat ini adalah, hidup bahagia dengan sang nenek dalam kurun waktu yang sangat lama.
Malam itu, hujan membasahi kota. Gadis remaja bak bunga melati yang baru saja mekar, membelah malam di bawah derasnya hujan dengan sebuah payung. Rani baru saja membeli obat di sebuah apotek untuk neneknya tercinta.
Jalanan begitu licin. Gadis itu melangkah lambat-lambat, bagaikan kura-kura.
Di pertigaan jalan, Rani menghentikan langkahnya saat tak sengaja melihat seseorang yang sangat dekat dengannya. Seorang pria tampan berjalan tergesa-gesa menerobos semak belukar.
"Kenapa dia masuk ke sana? Area itu kan dilarang," gumam Rani.
Gadis itu kini menimbang-nimbang, haruskah ia pulang? Atau mengikuti ke mana arah sang pria pergi?
Rani menggigit ujung bibirnya. "Tidak ada salahnya memeriksa, kan? Siapa tau dia dalam kondisi darurat dan membutuhkan bantuan."
Gadis dengan hoodie big size dan celana pensil, melangkah dengan hati-hati. Dengan perasaan was-was, ia menerobos semak-semak yang dilintangi oleh police line.
Rani bernapas lega saat masih menangkap sosok pria yang berjalan cukup jauh dari nya. Ia terus menelusuri jalan yang dilalui sang pria. Sampai seketika, langkah kakinya tiba-tiba terpaku. Tubuhnya mematung karena melihat apa yang seharusnya tak ia lihat.
Pria yang sangat dekat dengannya, pria yang beberapa waktu ini membuat jantungnya berdegup kencang, kini ... di depannya tengah merobek dada seorang wanita dengan sebilah pisau.
Tubuh Rani gemetar, kakinya lemas bagai tak bertulang. Ia melangkah mundur perlahan, dalam pikirannya sekarang, ia harus cepat-cepat pergi dari tempat mengerikan itu. Ia harus lekas pulang, lebih tepatnya ia harus bisa pulang dan berkumpul lagi bersama nenek tercinta.
Namun, malang memang tak berbau.
BRUGH!
Rani jatuh tergelincir kala tapak sendalnya yang sudah tipis, tak sengaja memijak batu yang dipenuhi lumut.
Suara gaduh tersebut membuat sang pria yang baru saja mencabut jantung korbannya, menoleh dan menatap tajam pada asal muasal suara.
Sang pria cepat-cepat menyimpan jantung tersebut ke dalam wadah yang ada di dalam ranselnya. Setelah itu, ia berdiri menghampiri Rani yang sudah membeku dikuasai rasa takut.
"Sayang sekali, kita harus bertemu seperti ini ya, Ran ...," ucap sang pria tenang dan dingin. Bola matanya benar-benar tak manusiawi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rani tersentak, ia kembali tersadar. Kini gadis itu tengah berbaring di ranjang dengan suasana yang sangat berbeda dari sebelumnya. Tubuhnya sangat sulit bergerak. Selain straitjacket yang membelenggu tubuhnya, gadis itu juga dalam kondisi diikat di ranjang.
Suasana amat mencekam. Meskipun cahaya temaram, Rani dapat melihat cipratan darah di dinding, belum lagi ditambah dengan aroma besi yang pekat.
Degup jantung Rani kembali tak menentu, darahnya berdesir kala melihat siluet seseorang yang ia kenal, berjalan mendekat.
Sang pria mengedipkan satu matanya begitu tiba di sisi ranjang. Bibirnya menyunggingkan senyuman dingin.
Dengan sebuah gunting di tangannya, pria itu memotong benang-benang yang terjahit rapih di bibir Rani.
Jeritan Rani seketika menggelegar, memenuhi seisi ruangan.
"Kenapa, kenapa kau melakukan semua ini? Apa salah mereka?!" tanya Rani dengan suara serak nan bergetar. Bibirnya perih luar biasa.
Meskipun takut, ia berusaha memberanikan diri untuk bertanya. Bertanya atau tidak, toh ia yakin akan mati di tempat ini, begitu pikirnya.
Sang pria terkekeh. "Mereka semua sangat menjijikkan, membuat perutku mual setiap berkomunikasi dengan mereka. Kau tau, Ran? Orang-orang seperti mereka lah yang menyebabkan ibuku harus pergi dengan penuh rasa sakit. Bukankah, mereka layak mendapatkan kematian seperti ini?"
"Kau ... benar-benar sakit jiwa!" gumam Rani dengan isak tangis, "lalu aku? Apakah aku terlihat menjijikkan di matamu?"
Sang pria menyemburkan tawa. "Tentu saja tidak! Ah, kau jangan salah paham begitu padaku, Ran. Kau hanya wanita malang yang tengah berada di situasi yang tidak tepat. -- Kita memang lah dekat, tapi, tidak mungkin aku melepaskanmu, kan?"
Pria itu menyugar rambutnya, sebelum akhirnya menyambar pisau kesayangannya.
Rani semakin terisak, wajah sang nenek terbayang-bayang di matanya kini.
"Kau tenang saja, Ran. Karena kita cukup dekat, aku akan memberikan kematian yang cepat dan tak menyakitkan untukmu." Ucap si Pria bermata elang, sembari membuka ampoule kaca berisikan cairan bius dengan kadar tinggi.
Sang pria mengisi suntikan intravena kosong dengan cairan tersebut, dan lekas menusuk benda runcing itu ke vena Rani. Salah satu metode terbaik, karena obat bius tersebut akan langsung masuk ke aliran darah dan tersebar ke seluruh tubuh.
Perlahan-lahan, Rani mulai terlelap. Sang pria menatap wajah rani yang nyenyak bak putri tidur.
Dengan mata sendu, sang pria melesakkan benda tajam dalam genggamannya itu ke dada Rani. Ia merobek dada gadis cantik itu dengan air mata yang menetes.
"Maaf ...."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Matahari sudah dilahap senja, langit yang sejak tadi mendung kini menitikkan rintik-rintik tangisan Tuhan.
Tim 1 sudah siaga dengan dua ekor anjing pelacak. Mereka akan segera menelusuri segala area.
"Hidup ataupun mati, Rani harus ditemukan!" titah Bella.
"SIAP, KAPT!" seru anggota bersamaan dengan semangat membara.
Meskipun di lubuk hati mereka mustahil menemukan Rani karena selama ini yang hilang di kota itu tak pernah kembali, tapi, kali ini mereka bertekad dan bersungguh-sungguh akan menemukan gadis yang sering mengantarkan kue-kue tradisional ke kantor mereka selama ini.
"Temukan!" seru Bella.
"Laksanakan!" seru para anggota sembari berbalik badan kemudian melangkah dengan mengemban perintah.
Semua anggota sudah masuk ke mobil tim 1, kecuali Abirama. Pria itu mematung menatap derasnya hujan. Tubuhnya bergetar.
"Apa masa lalu mu dengan hujan, begitu buruk?" tanya Bella yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Abirama.
Abirama menatap dingin Bella. "Tidak, Kapt!"
Setelah mengucap dusta, Abirama menerobos derasnya hujan dan ikut bergabung dengan timnya.
Bella menatap mobil tim 1 yang sudah mulai meluncur membelah hujan. Wanita itu pun segera masuk ke dalam mobilnya.
Tim 1 menyusuri semua kawasan, hujan serta halilintar mereka abaikan. Namun, tak ada tanda-tanda keberadaan Rani.
"Kami tidak menemukan apapun, Kapt!" jerit Rinol yang berusaha mengalahkan suara hujan.
"Apa kalian benar-benar sudah menyisir semua area?!" teriak Bella.
"Su--"
"Ada satu area lagi, Kapt." Abirama memotong kalimat Taufik.
Taufik menatap nanar sahabatnya itu.
'Apa dia akan menelusuri tempat itu?' batin Taufik.
"Di ujung kota ini, di lembah antara bukit-bukit itu." Telunjuk Abirama mengacung pada bukit-bukit yang terlihat dari kejauhan. "Kita belum menyisir area tersebut."
Taufik kembali menatap Abirama nanar. Bagaimana bisa Abirama menunjuk area tempat orang tua sahabatnya itu dibunuh secara brutal. Apa dia sanggup menyisiri area tersebut? Di tengah hujan pula. Pikir Taufik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hujan semakin deras, salah satu anggota bahkan sampai tergelincir saat menelusuri lembah. Mereka bergerak dengan masing-masing dua anggota.
Abirama dan Taufik memilih berpencar.
"Apa kau sanggup sendirian?" tanya Taufik cemas.
Meskipun ragu, Abirama mengangguk. "Ayo, kita harus bergegas sebelum tengah malam."
Dengan bermodalkan alat penerangan, mereka menelusuri rumput gajah yang menjulang tinggi.
Cukup lama mereka menelusuri area tersebut, sampai akhirnya, Abirama tersandung dan terjatuh.
Pria itu memungut senter police lalu menyorot, mata pria itu pun terbelalak.
"HUEK!" Abirama tak mampu menahan perutnya yang bergejolak.
Setelah memuntahkan isi perutnya, Abirama meniup peluit yang menggantung di lehernya.
"DI SINI! ADA DUA MAYAT DI SINI!"
*
*
*
Edwin psikopat yang udah ... entahlah sulit menjelaskannya 😀
Keren kamu Kak❤️
tolong triple up 🤭
jantungku kicep tor 😩
udah kyk nonton film Hollywood.
sama film horor korea, yg cowoknya jatuh ke dalam peti yg ada pakunya itu looo, lgsg nancep ke muka 😩