Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 35
Di dalam markas militer yang dingin dan gelap, dinding-dindingnya terbuat dari beton abu-abu yang berlumut dan berkarat. Suara derap langkah zombie yang berat dan desisan tak berujung menambah ketegangan. Bau busuk darah segar dan logam menyesakkan pernapasan, sementara cahaya lampu darurat berwarna merah berkedip-kedip, menciptakan bayangan menyeramkan di setiap sudut.
Seketika, kelompok yang terjebak di dalam markas militer merasa panik menggerogoti mereka. Arka menatap sekeliling, tangannya menggenggam senjatanya dengan erat, matanya mencari celah. “Kita harus bergerak, sekarang!” teriaknya, suaranya bergetar penuh urgensi.
Nizam, seorang remaja dengan rambut ikal yang tak terurus, berdiri di depan panel kontrol. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, matanya fokus, berusaha mengabaikan suara geraman zombie yang semakin dekat. "Jika aku bisa mendapatkan akses ke sistem keamanan ini, kita mungkin bisa menemukan jalan keluar," katanya, suaranya terdengar tegang. Berharap saja ini berhasil. Kalau tidak, kita semua akan jadi santapan.
Arka mengangguk, mengarahkan senjatanya ke arah pintu yang terancam dibuka zombie. “Kami akan melindungimu, Nizam. Fokus pada pekerjaanmu!”
Aisyah dan Abib bersiap, membentuk dinding pertahanan di sekitar Nizam. Aisyah, yang terlihat lebih berani dari biasanya dengan senjata di tangan, berteriak, “Datang ke sini, kau monster! Kami tidak akan membiarkanmu mendekat!”
Di antara ketegangan, Abib menendang zombie yang hampir menyerang. "Satu lagi! Cepat, Nizam! Kita tidak punya banyak waktu!"
Nizam tidak menjawab, hanya mengerutkan dahi, alisnya berkerut saat jari-jarinya terus menekan tombol. Dalam hatinya, dia berdoa. "Tuhan, beri aku kekuatan. Aku tidak bisa membiarkan mereka mati di sini."
Sementara itu, Nafisah bergerak cepat, berusaha menemukan dokumen penting di sekitar. Ia menelusuri meja-meja yang berantakan, berharap menemukan informasi berharga. “Di mana… di mana semua file itu?” gumamnya, matanya meneliti tumpukan kertas dan gadget yang bertebaran.
Saat ia menggenggam selembar kertas yang setengah sobek, Nafisah merasakan ketegangan mengikat dadanya. “Harus ada sesuatu yang bisa membantu kita,” bisiknya pada dirinya sendiri, dengan jari-jari yang bergetar.
Sekelebat bayangan bergerak di sudut matanya, dan ia berbalik, melihat segerombolan zombie mendekat, tubuh mereka bergerak terhuyung-huyung. Nafisah merasa jantungnya berdegup kencang. “Guys! Kita butuh lebih banyak waktu!” teriaknya, mencoba menekan rasa takut yang merayap ke dalam pikirannya.
Nizam mendongak sejenak, melihat Nafisah yang tampak putus asa. “Temukan data apapun yang kau bisa, Kak! Ini mungkin adalah satu-satunya harapan kita!”
Dengan semangat yang menyala, Nafisah berlari ke arah lain, mencari dokumen atau petunjuk yang bisa memberi mereka wawasan lebih lanjut tentang asal mula wabah zombie. "Aku tidak akan membiarkan semuanya berakhir di sini. Aku harus menemukan informasi itu!"
Ketika semua harapan mulai memudar dan ketegangan memuncak, Nizam akhirnya berhasil meretas sistem komunikasi markas. “Aku… aku dapat mengakses sistem!” serunya, matanya melebar penuh semangat.
Namun, sebelum mereka sempat merayakan keberhasilan kecil itu, suara misterius menggelegar dari speaker, menembus keheningan mencekam. “Perhatian! Anda berada di area yang sangat berbahaya. Eksperimen rahasia telah dilakukan di sini…”
Semua anggota kelompok terdiam, menahan napas, mendengarkan informasi yang berpotensi mengubah segalanya. Suara itu melanjutkan, “Virus zombie ini adalah hasil dari eksperimen yang tidak terkontrol….”
Arka berusaha untuk mencerna informasi itu, otaknya berputar cepat. “Nizam! Apa yang terjadi?” serunya, wajahnya mencerminkan ketidakpastian yang mendalam.
“Ini bisa menjadi kunci untuk menghentikan semua ini,” jawab Nizam, wajahnya serius. Namun, ketika mereka berusaha mencerna informasi itu, geraman zombie yang mendekat semakin kuat, mengancam keberadaan mereka.
“Kita tidak punya banyak waktu!” teriak Abib, matanya melirik ke arah gerombolan zombie yang mulai menyerbu. “Kita harus keluar dari sini sekarang juga!”
Nafisah merasakan adrenalin melesat dalam darahnya. “Jika kita bisa menggunakan informasi ini…” Dia menghirup dalam-dalam, memfokuskan pikirannya. “Mungkin kita bisa menemukan cara untuk menghentikan wabah ini!”
Di dalam ruang kontrol markas militer yang gelap, lampu darurat berkedip-kedip, menciptakan bayangan menakutkan di sudut-sudut ruangan. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan layar monitor yang rusak dan kertas-kertas berserakan, menciptakan suasana yang suram dan mencekam. Aroma logam yang tajam dan bau lembab terperangkap di udara, mengingatkan mereka akan kengerian yang terjadi di luar sana.
Suara misterius itu bergema di seluruh ruang kontrol, mengungkapkan kebenaran yang menyentak. “Virus zombie ini berasal dari eksperimen militer yang gagal, bertujuan menciptakan tentara super…” Suara yang serak dan berat itu melanjutkan, menciptakan ketegangan di antara mereka.
Arka tertegun, matanya melebar. “Jadi, ini semua karena keserakahan dan ambisi?” dia bertanya dengan nada menyesal, menyadari bahwa mereka terjebak dalam konsekuensi dari tindakan yang tidak bertanggung jawab.
Nafisah, yang semula tampak tegas, kini terlihat cemas. Rambutnya yang panjang menghalangi wajahnya, ia menyibak dengan cepat dan menatap ke arah layar. “Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab,” ujarnya, suaranya bergetar penuh semangat, “Ini bisa jadi kunci untuk menghentikan wabah ini.”
Abib menggelengkan kepala, lelah dan marah. “Tapi bagaimana kita bisa melawan sesuatu yang sudah keluar dari kendali? Ini bukan hanya tentang kita lagi!” Tangannya mengepal, ekspresi putus asa terlihat di wajahnya.
“Ya, kita tidak bisa hanya berdiri di sini!” Aisyah, dengan rambut panjangnya yang berantakan, menyerukan dengan berani. Ia menatap Nizam, yang masih terfokus pada layar. “Nizam! Apakah ada cara untuk mendapatkan akses ke lebih banyak data? Kita perlu tahu lebih banyak tentang pusat militer lain!”
Nizam mengangguk, tetapi matanya yang tajam menyiratkan ketegangan. “Aku sedang mencari tahu. Ini mungkin jalan satu-satunya,” katanya, berusaha mempertahankan harapan meskipun ketakutan mulai menyergapnya. Jika kita bisa menemukan informasi itu…
Di dalam hatinya, Nafisah merasa beban tanggung jawab semakin berat. Apakah kita cukup kuat untuk melawan? “Kita harus bergerak cepat. Jika mereka bisa menciptakan virus ini, mungkin mereka juga memiliki solusi,” ia berkata, suara penuh tekad.
Ketika diskusi mereka memuncak, suara langkah berat mulai terdengar dari luar. Semua anggota kelompok terdiam, menahan napas, mendengarkan.
“Siapa itu?” Aisyah bertanya, matanya membelalak ketakutan. “Apakah itu zombie?”
“Tidak hanya zombie…” Nizam menjawab, suaranya menyusut. “Kita harus bersiap. Kita mungkin tidak sendirian di sini.”
Ketika langkah-langkah itu mendekat, Nafisah merasakan jantungnya berdegup kencang. Siapa mereka? “Kita harus menemukan jalan keluar sebelum mereka menemukan kita,” desaknya, mulai merasa terjebak dalam situasi yang semakin menegangkan.
“Apakah kita akan menjadi buruan mereka?” Abib menyahut, nada suaranya menandakan kekhawatiran yang mendalam. “Atau mereka justru yang bisa membantu kita?”
Semua anggota kelompok merasakan rasa cemas yang sama, dan saat mereka bersiap menghadapi apa pun yang akan datang, ketegangan di antara mereka terasa jelas. Kita tidak bisa gagal, kita tidak bisa…
Saat langkah-langkah itu semakin dekat, suara gaduh dan jeritan di luar mulai mengalun. “Tunggu… itu bukan suara zombie!” Arka berseru, menatap tajam ke arah pintu. “Sepertinya ada kelompok lain di luar sana. Tapi siapa mereka?”
Sebuah palu raksasa menghantam pintu, mengguncangkan seluruh ruangan. Nafisah bergetar, Siapa mereka? Teman atau musuh? Semua ketidakpastian itu menyelimuti mereka. Ketika pintu mulai terobek, mereka berhadapan dengan kegelapan yang menyimpan ancaman baru.
“Bersiaplah!” Arka berteriak, dan semua orang bersiap, tangan mereka menggenggam senjata. Dalam hati, mereka semua bertanya, Apakah ini akhir dari perjuangan mereka, atau awal dari sesuatu yang lebih menakutkan?