Libelle Talitha, atau Belle, adalah gadis 17 tahun yang hidup di tengah kemewahan sekolah elit di Inggris. Namun, di balik kehidupannya yang tampak sempurna, tersembunyi rahasia kelam: Belle adalah anak dari istri kedua seorang pria terpandang di Indonesia, dan keberadaannya disembunyikan dari publik. Ayahnya memisahkannya dari keluarga pertamanya yang bahagia dan dihormati, membuat Belle dan ibunya hidup dalam bayang-bayang.
Dikirim ke luar negeri bukan untuk pendidikan, tetapi untuk menjauh dari konflik keluarga, Belle terperangkap di antara dua dunia. Kini, ia harus memilih: terus hidup tersembunyi atau memperjuangkan haknya untuk diakui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penguntit ?
Setelah obrolan panjang dengan Darwin dan Amanda, Draven kini duduk di tepi danau, tempat yang sering ia kunjungi untuk merenung. Udara dingin dan semilir angin membuat suasana terasa tenang, namun pikiran Draven penuh dengan kekacauan. Kata-kata Darwin dan Amanda terus terngiang di kepalanya. Mereka berusaha mengingatkannya tentang tanggung jawabnya pada Paula, pertunangannya, dan kenyataan bahwa Belle hanya ingin hidup tenang tanpa masalah.
Namun, meskipun logika berkata dia harus menjauh, hati Draven justru bergejolak sebaliknya. Alih-alih memikirkan cara untuk menjauhi Belle, Draven malah memikirkan bagaimana caranya bisa lebih dekat dengannya.
"Kenapa aku tidak bisa melupakannya?" Draven bergumam pada dirinya sendiri, tatapannya menatap riak air di danau. "Ada sesuatu tentang Belle... yang membuatku terus memikirkannya."
Dia mencoba menganalisis perasaannya—apakah ini hanya karena kebosanannya dengan hubungan yang sudah diatur sejak lama dengan Paula? Ataukah ada sesuatu yang lebih dalam, yang membuatnya merasa seperti tidak pernah benar-benar memiliki pilihan dalam hidupnya? Belle berbeda. Dia misterius, dan keberadaannya di sekolah ini seolah membawa angin segar bagi Draven.
"Belle itu... spesial," gumamnya. "Aku ingin tahu lebih banyak tentang dia. Siapa sebenarnya dia, kenapa dia memilih tinggal di apartemen, dan kenapa dia terlihat begitu jauh dari orang lain?"
Draven menghela napas panjang, menyadari bahwa keputusan ini semakin membawanya ke arah yang salah. Tapi baginya, justru di sinilah letak tantangannya. Dia tahu dia tidak seharusnya mendekati Belle, namun rasa penasarannya yang semakin besar membuatnya ingin terus melanggar batas.
"Kalau aku harus melawan semuanya, aku akan lakukan. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya Belle rasakan," kata Draven, kali ini dengan tekad yang semakin kuat.
Draven akhirnya bangkit dari duduknya, menatap langit yang mulai memerah menjelang senja. Dia tahu, semakin dia mencoba mendekati Belle, semakin dia memperumit situasi. Namun, entah bagaimana, itu tidak menghentikannya. Malah, Draven semakin termotivasi untuk lebih dekat dengan Belle dan mencari tahu segala sesuatu tentangnya. Satu hal yang ia yakini, perasaan ini lebih dari sekadar rasa ingin tahu—dan ia akan menemukan jawabannya, tak peduli apa risikonya.
Malam itu, Belle mencoba fokus pada buku-buku yang menumpuk di meja belajarnya, tapi pikirannya terus terpecah. Dia beberapa kali melirik ponselnya, berharap ada pesan baru, namun layar tetap kosong. Biasanya, Draven selalu mengirimkan pesan bertubi-tubi, tetapi kali ini tidak ada satu pesan pun yang masuk.
"Apakah dia menyetujui ucapan Darwin?" Belle bertanya-tanya dalam hati. Rasanya lega, namun ada juga sedikit kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Ia menatap ponselnya lagi, mencoba meyakinkan dirinya bahwa inilah yang memang dia inginkan—jarak, ketenangan, dan kebebasan dari perasaan aneh yang mulai berkembang sejak pertemuannya dengan Draven.
Namun, jauh di dalam hatinya, Belle tahu bahwa ketenangan ini mungkin hanya sementara.
Belle sudah beberapa jam tenggelam dalam belajar, berusaha mengalihkan pikirannya dari semua yang terjadi akhir-akhir ini, terutama masalah dengan Draven. Namun, rasa lapar mulai mengusiknya. Belle bangkit, membuka kulkas, dan menyadari bahwa persediaan makanannya hampir habis.
Dengan sedikit rasa malas, Belle memutuskan untuk pergi ke supermarket dekat apartemennya. Supermarket itu buka 24 jam, jadi dia berpikir ini adalah waktu yang tepat untuk keluar sebentar, membeli beberapa bahan makanan, dan menjauhkan diri sejenak dari kekacauan emosional yang sedang melandanya.
Belle mengenakan jaket tipis, memasukkan dompet dan ponselnya ke dalam tas kecil, lalu berjalan menuju pintu. Saat Belle membuka pintu apartemennya, dia terkejut melihat sosok Draven berdiri di depan pintu. Jantungnya berdegup kencang. Draven mengenakan jaket kulit hitam dengan celana jeans gelap, tampak santai namun tetap memancarkan aura serius yang membuat Belle tertegun.
“Kenapa kau di sini?” Belle bertanya dengan nada kaget dan waspada. "Bagaimana kau tahu tempat tinggalku?"
Draven tersenyum kecil, tapi ada kesan gugup yang terpancar dari wajahnya. “Aku... punya caraku sendiri,” jawab Draven, lalu buru-buru melanjutkan. "Jangan salah paham. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."
Belle menatapnya tajam. "Kau menguntitku?" Nada suaranya menegang. Belle tidak tahu harus marah atau bingung dengan keberadaan Draven di depannya. Bagaimana dia bisa sampai di sini? Dan lebih penting lagi, kenapa dia masih terus mengejarnya?
“Aku tidak menguntitmu,” Draven menjawab dengan tenang, walaupun ada sedikit kekesalan dalam suaranya. "Aku tahu kau ingin aku menjauh, dan aku berusaha melakukannya. Tapi… entah bagaimana, aku merasa ada sesuatu yang belum terselesaikan di antara kita."
“Belum terselesaikan?” Belle mengulanginya dengan bingung. "Apa yang kau maksud, Draven? Kita tidak punya urusan apa-apa lagi. Semua ini sudah berakhir sejak di Manchester."
Draven menatap Belle dalam-dalam, seperti mencari sesuatu di matanya yang mungkin bisa membantah kata-katanya. “Itu yang kau pikirkan, Belle. Tapi kau tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang lebih di antara kita. Aku tahu kau merasakannya juga.”
Belle menelan ludah, mencoba menahan diri. "Tidak ada apa-apa antara kita," katanya, suaranya terdengar tegas. "Apa pun yang kau pikir terjadi, itu hanya di kepalamu. Kau sudah punya tunangan, Draven. Kau tidak seharusnya berada di sini, di depan pintu apartemenku."
Draven terlihat frustrasi. Dia meletakkan tangannya di pinggang, seperti mencari cara untuk menjelaskan apa yang ada di pikirannya. “Aku tahu aku sudah bertunangan. Tapi aku tidak pernah merasa punya kendali atas hidupku. Segalanya tentang pertunangan ini, tentang hidupku... semuanya direncanakan oleh keluargaku. Dan kau, Belle... sejak pertama kali aku bertemu denganmu, kau memberiku perasaan yang berbeda. Sesuatu yang nyata.”
Belle menghela napas berat. Situasinya semakin rumit. Dia tidak pernah membayangkan akan terjebak dalam drama seperti ini. "Draven, kau tidak bisa begitu saja melibatkan aku dalam kekacauan hidupmu. Aku tidak mau terlibat denganmu atau tunanganmu. Aku hanya ingin menjalani hidupku dengan tenang."
Draven mengangguk pelan, tapi matanya masih penuh dengan tekad. “Aku mengerti. Aku menghargai perasaanmu, Belle. Tapi aku tidak bisa berpura-pura seolah-olah aku tidak peduli. Aku tidak bisa menjauh hanya karena kau memintaku. Aku perlu tahu apa yang sebenarnya kau rasakan.”
Belle terdiam sejenak. Kata-kata Draven mulai menggoyahkan hatinya, meskipun ia berusaha keras untuk menahan perasaannya. Bagian dalam dirinya ingin mempercayai bahwa Draven tulus, tetapi kenyataan tentang pertunangannya dengan Paula terus menghantui pikirannya.
“Kau benar-benar tidak mengerti, ya?” Belle akhirnya berkata, suaranya bergetar sedikit. "Aku tidak bisa dan tidak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan siapa pun. Kau bertunangan, Draven. Apakah kau sadar betapa egoisnya ini?"
Draven tertunduk, tampak menyesal. "Aku tahu ini salah. Tapi… aku tidak bisa mengabaikan perasaanku padamu. Aku tahu ini membingungkan, tetapi aku ingin mencoba memperbaikinya."
"Perbaiki?" Belle tertawa sinis. "Perbaiki dengan cara apa? Kau tidak bisa memperbaiki sesuatu yang tidak pernah ada. Kau harus belajar menerima kenyataan, Draven. Kita tidak bisa bersama. Kau punya Paula, keluargamu punya rencana besar untukmu. Itu kenyataannya."
Draven menghela napas berat, lalu menatap Belle dengan tatapan putus asa. "Aku hanya ingin berbicara. Jika kau merasa setelah ini aku harus benar-benar menjauh, aku akan melakukannya."
Belle memandangnya sejenak, lalu mengangguk pelan. “Baiklah, kita bicara. Tapi ini akan jadi yang terakhir kalinya, Draven.”
Draven tersenyum tipis, meskipun jelas terlihat bahwa ia merasakan tekanan yang besar. Belle mempersilakannya masuk, dan mereka duduk di ruang tamu. Belle duduk di kursi, sementara Draven memilih duduk di sofa, berusaha menciptakan jarak antara mereka.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” Belle bertanya, suaranya datar namun penuh kewaspadaan.
serta jangan lupa untuk mampir di ceritaku ya❤️
ada beberapa kalimat yang masih ada pengulangan kata..
contoh kyk ini: Belle berdiri di jendela di bawah langit.
jadi bisa d tata struk kalimatnya;
Belle berdiri di tepi jendela, menatap langit Inggris yang kelam
atau bisa juga Belle berdiri di jendela, memandang langit kelam yang menyelimuti Inggris.
intinya jgn ad pengulangan kata Thor, dan selebihnya udah bagus