Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.
Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.
Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obrolan Basa Sunda
Di sisi lain, Lili, Tia, Ziva, Keyshia, dan Bimo sedang menuju warung bakmie. Saat mereka berjalan, Lili tiba-tiba berhenti dan berkata, “Guys, aku mau beli gelang mainan dulu. Kalian duluan saja ke tempat bakmienya, nanti aku nyusul.”
Tia mengangguk. “Oke, Teh Lili. Hati-hati ya! Jangan lama-lama,” katanya, sambil memberikan senyuman penuh dukungan.
Ziva dengan penuh semangat menambahkan, “Aku akan memesankan bakmie untukmu! Minta sambal ekstra, ya!”
Keyshia, yang selalu ceria, berkata, “Ayo, kita pergi! Cepat ya, Teh Lili! Kita tunggu di sana.”
Bimo, yang biasanya lebih tenang, ikut tersenyum dan berkata, “Jangan khawatir, Lili. Kita akan menghemat tempat untukmu.”
Lili tersenyum lebar dan melambaikan tangan saat mereka melanjutkan perjalanan. Setelah memastikan teman-temannya pergi, dia berbalik dan berjalan menuju kios gelang mainan yang selalu menarik perhatiannya.
“Gelang-gelang ini pasti lucu!” pikirnya, merasakan semangat anak-anak yang kembali muncul saat melihat berbagai warna dan bentuk. Dia memilih beberapa gelang yang cantik, berharap bisa membagikannya kepada teman-temannya sebagai kejutan kecil setelah makan bakmie.
Dengan senyum di wajahnya, Lili merasa bahagia. Meskipun sibuk dengan impiannya, momen-momen kecil seperti ini membuatnya merasa dekat dengan teman-teman dan menjaga ikatan mereka tetap kuat. “Nanti aku akan langsung ke bakmie,” ujarnya dalam hati, bersemangat untuk bergabung kembali dengan teman-temannya.
Setibanya di warung bakmie, Tia melihat Akbar yang sedang menikmati semangkuk bakmie di salah satu meja. Dia tidak bisa menahan senyum dan berkata kepada teman-temannya, “Eleh, eleh! Eta saha meni kasep pisan?”
(Hey,Hey! Itu siapa ganteng bener?)
Ziva dan Keyshia mengikuti arah tatapan Tia, terpesona melihat ketampanan Akbar yang mengenakan seragam sekolah yang berbeda.“Wah, beneran! Anjeunna kasep pisan!” seru Ziva. “Tapi seragamna lain ti sakola urang, nya?”
(Wah, beneran! Dia tampan banget!” seru Ziva. “Tapi seragamnya bukan dari sekolah kita, ya?)
Keyshia mengerutkan dahi, Keyshia ngagerutkeun dahi, “Iya, sigana mah anjeunna ti sakola lain. Kumaha bisa aya di dieu, nya?”
(Iya, sepertinya dia dari sekolah lain. Kok bisa ada di sini, ya?)
Mereka pun memilih meja di sudut, tetap memperhatikan Akbar tanpa mengganggu. Sambil menunggu pesanan bakmie mereka sendiri, Tia dan teman-temannya berbisik-bisik, membahas tentang kehadiran Akbar dan seragamnya yang beda.
“Sigana anjeunna anyar di dieu. Pantes we urang can kungsi ningali samemehna,” bisik Ziva.
(Kayaknya dia baru di sini. Pantes aja kita belum pernah lihat sebelumnya)
Si Bimo yang sedari tadi mengamati situasi di warung bakmie mulai merasa cemas. Melihat Akbar yang tampan dan berkarisma, dia berpikir, “Kalau Lili kenal sama dia, bisa-bisa dia lebih suka sama pria itu daripada gua.”
Bimo menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran negatif itu. Dia tahu Lili adalah sosok yang baik dan selalu mendukung teman-temannya, tetapi perasaan cemburu mulai menggerogoti hatinya. “Gimana kalau mereka jadi dekat? Gua harus hati-hati,” gumamnya dalam hati.
Dia memandangi Lili yang sedang memilih gelang mainan di kios sebelah. “Kalau Lili tahu ada cowok kayak gitu, pasti dia tertarik,” pikir Bimo sambil mengerutkan dahi.
Berusaha untuk tetap tenang, Bimo beralih ke obrolan dengan Tia dan teman-temannya. Namun, pikirannya terus melayang ke Akbar dan Lili. “Aku harus melakukan sesuatu biar tidak tersaingi,” ujarnya dalam hati, bertekad untuk menunjukkan pada Lili bahwa dia juga punya sisi menarik.
Dengan pikiran yang campur aduk, Bimo merasakan tantangan baru di depan mata, dan dia tahu, jika ingin menarik perhatian Lili, dia harus berusaha lebih keras.
Si Keyshia nyelutuk sambil ngeliat Akbar, “Aduh, kuring mah siap jadi istrina ayeuna ogé!”
(Aduh, Aku mah siap jadi istrinya sekarang juga!)
Si Ziva, sambil seuri(tersenyum), nanya ka Keyshia, “Ari sia urang ogé pengen jadi istri na, Nyaho teu?”
(Ah lu gue ge pengen jadi istrinya, tahu ga lu?)
Keyshia langsung ngajawab, “Nya, kumaha atuh! Ieu mah kesempatan emas, Ziva!”
(Ya, gimana atuh!)
Tia nambahkeun, “Hehehe, pasti bingung, manehna mah teu nyangka ieu obrolan!”
(dianya mah ga nyangka sama obrolan ini!)
Ziva, masih tersenyum, nambahan, “Ari urang mah, kudu siap-siap, da teu nyaho kapan datang pangeran!”
(Kalo gue mah, kudu siap-siap, kan ga tau kapan datang pangeran!)
Maranehna kabeh ngakak, ngaguyub suasana jadi beuki lucu. Bimo di sisi séjén ngan bisa ngeliwatkeun senyuman, sambil mikir, “Heeuh manehna jiga pangeran? Pantesan wé!”
Suasana jadi rame, bari Akbar di meja, teu sadar lamun obrolan di sabudeureunana keur nga bicarakeun manehna.
Si Tia ngeluyur, “Nanti dia bisa denger, ah. Tapi kayaknya mah bukan orang Sunda deh, soalnya gesturnya beda.”
Ziva manggut-manggut, “Iya, bener! Mungkin dia lagi maen disini. Tapi tetep aja, cakep pisan!”
Keyshia nambahin, “Masa sih? Kumaha lamun kita ajak ngobrol? Bisa jadi dia suka musik Sunda, lho!”
Bimo, yang ngedenge obrolan itu, berusaha ngelawak. “Atuh, da boro-boro suka musik Sunda, mungkin dia malah lebih suka dangdut!”
Semua langsung ngakak, bikin suasana jadi lebih ceria. Tia nyengir, “Yaudah, kita ajak ngobrol nanti. Siapa tahu dia bisa jadi teman baru!”
Mereka semua sepakat, sambil menunggu momen yang pas untuk mendekati Akbar. Suasana di warung bakmi terus berlanjut, dengan tawa dan harapan baru mengelilingi mereka.
Di sisi lain, Akbar yang mendengarkan obrolan mereka hanya bisa tersenyum. Dalam hatinya, dia berpikir, "Brengsek, gue ngerti semua bahasa lu! Dan gue juga orang Sunda!"