keinginannya untuk tidak masuk pesantren malah membuatnya terjebak begitu dalam dengan pesantren.
Namanya Mazaya Farha Kaina, biasa dipanggil Aza, anak dari seorang ustad. orang tuanya berniat mengirimnya ke pesantren milik sang kakek.
karena tidak tertarik masuk pesantren, ia memutuskan untuk kabur, tapi malah mempertemukannya dengan Gus Zidan dan membuatnya terjebak ke dalam pesantren karena sebuah pernikahan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. blessing in disguise
Gus Zidan baru saja menarik kaca mobilnya ke atas ketika tiba-tiba mendengar ketukan dari luar. Ia menurunkan kaca lagi dan terkejut melihat Aza kembali dengan wajah yang sedikit cemberut.
"Aza, ada apa lagi?" tanya Gus Zidan dengan dahi mengerut heran. “Baru turun kok balik lagi?”
Aza terlihat canggung sejenak sebelum akhirnya berkata, "Mas guuuuussss... aku mau minta uang, dong."
Gus Zidan semakin heran. Ia menatap Aza dengan pandangan bingung. "Minta uang? Buat apa?"
"Ya buat aku."
" Za, di pesantren semua kebutuhanmu sudah terpenuhi, kan? Bahkan ATM santrimu juga mencukupi, aku sudah mengisinya lebih dari cukup. Kamu bisa belanja apa saja di warung Al Hikmah. Buat apa minta uang lagi?"
Aza terlihat sedikit gelisah mendengar jawaban Gus Zidan. Dia tidak punya alasan yang kuat, tapi ia harus mencari cara. "Ya... siapa tahu aku butuh sesuatu, kan beberapa hari ke depan aku harus pergi ke workshop, kalau aku mau beli sesuatu, masak aku harus pakek ATM pesantren sih Mas gus. Jalan kaki ke workshop itu nggak dekat loh. Nggak mungkin kan aku nggak pengen jajan, siapa tahu pingin beli es atau apa gitu di jalan."
Gus Zidan mempersempit tatapannya, mencurigai niat Aza yang tiba-tiba ingin uang. Ia tahu bahwa pesantren memang sudah menyediakan semua kebutuhan santri. Lagipula, Aza tidak pernah meminta uang selama menikah dengannya, ia pikir dengan memenuhi kebutuhan pesantrennya sudah cukup. Ada yang janggal. "Beli es?" ulang Gus Zidan dengan nada skeptis. "Apa benar cuma buat beli es, Za?"
Aza tersenyum kikuk, menyadari bahwa Gus Zidan sudah mulai curiga. Namun, ia tetap memaksa, "Iya, Mas. Kan siapa tahu aku mau jajan di luar. Lagi pula, masa istri nggak boleh minta uang ke suaminya sendiri?"
Gus Zidan menatap Aza dengan penuh tanda tanya. "Za, kamu nggak bohong kan? Soalnya aku merasa ada yang kamu sembunyikan."
Aza menelan ludah, merasa semakin gugup. Dalam hatinya, ia benar-benar ingin menggunakan uang itu untuk membeli anyaman yang sudah jadi di pasar, supaya dia tidak perlu repot-repot membuatnya sendiri di workshop. Tapi tentu saja, dia tidak bisa mengatakan itu langsung kepada Gus Zidan. Ia berusaha mencari alasan lain yang lebih masuk akal.
"Mas gus, Mungkin aku juga pingin beli yang lain? Kan aku nggak tahu pasti. Mungkin ada barang-barang lain yang aku butuh nanti di workshop," jawab Aza, berusaha terlihat meyakinkan.
Namun, Gus Zidan tampak masih tidak sepenuhnya percaya. "Hmm... baiklah, kamu minta berapa?"
"Ya berapa aja deh, tapi jangan terlalu sedikit."
Gus Zidan akhirnya menyerah. Dia mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan sejumlah uang, meskipun matanya masih penuh dengan rasa curiga. "Baiklah, ini buat kamu. Tapi ingat, jangan dihambur-hamburkan, ya? Dan aku harap, kamu nggak sedang merencanakan sesuatu yang aneh-aneh."
Aza dengan cepat meraih uang itu dengan senyum lega di wajahnya. "Iya, Mas. Tenang aja. Nggak ada yang aneh kok," jawabnya sambil menyembunyikan niat aslinya.
Gus Zidan menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Ya sudah, jaga diri baik-baik, Za. Kalau ada apa-apa, kamu tahu kan harus bicara sama siapa."
Aza mengangguk cepat, kemudian dengan cepat melangkah menjauh dari mobil Gus Zidan, sambil menyembunyikan senyum kemenangan di wajahnya. "Makasih, Mas gus!" ucapnya sebelum berbalik dan melangkah menuju pesantren.
Saat mobil Gus Zidan perlahan-lahan melaju pergi, Aza tidak bisa menahan diri untuk tertawa kecil. "Es, ya? Nggak nyangka aku bisa lolos dengan alasan itu," gumamnya dalam hati sambil merencanakan apa yang akan ia lakukan dengan uang tersebut.
Di dalam mobil, Gus Zidan menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Aza, Aza... pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan," pikirnya. Tapi dia memilih untuk membiarkan itu berlalu, setidaknya untuk saat ini.
***
Pagi itu, setelah menyelesaikan pekerjaannya, Aza bersiap-siap untuk pergi ke workshop. Di tangannya, ia menggenggam buku dispensasi dari pesantren, yang memberikan izin baginya untuk keluar selama dua jam ke depan. Bukannya merasa terbebani dengan tugas ini, Aza malah tersenyum lebar. Hukuman ini terasa seperti sebuah kebebasan yang tak disangka-sangka.
"Siapa sangka, dihukum justru bisa bikin aku bebas keluar masuk pesantren," gumamnya sambil menyelipkan buku dispensasi itu ke dalam tasnya.
Aza bergegas menuju gerbang pesantren, menyalami beberapa teman yang ia temui di jalan. Mereka memandangnya dengan tatapan penasaran, mengetahui Aza sedang dalam "hukuman". Namun, Aza hanya menanggapinya dengan senyum ceria. Ia tidak sabar untuk keluar dan menikmati waktu di luar pesantren, walaupun harus tetap pergi ke workshop.
"Workshop atau nggak, yang penting aku keluar," pikirnya. Baginya, dua jam ini adalah waktu yang cukup untuk menyegarkan pikiran. Tanpa adanya pengawasan ketat seperti di pesantren, Aza merasa bisa sedikit lepas dari aturan-aturan yang kadang membatasi ruang geraknya.
Sesampainya di luar gerbang pesantren, ia menarik napas dalam-dalam, menikmati udara luar yang terasa lebih segar. "Akhirnya, bebas juga," bisiknya sambil melangkah lebih cepat, takut jika ada yang tiba-tiba memanggilnya untuk kembali.
Jalanan menuju workshop sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi hari ini Aza merasa seperti seorang petualang kecil yang sedang melarikan diri dari rutinitas. Ia mulai merencanakan apa yang akan ia lakukan selama dua jam ini.
"Kalau di workshop cuma sebentar, aku masih bisa mampir ke warung buat beli es atau camilan," pikirnya sambil berjalan dengan langkah ringan.
Sesekali, ia memandang sekeliling, menikmati suasana yang berbeda dari dalam pesantren. Jalanan yang ramai dengan aktivitas warga, motor yang berlalu-lalang, suara pedagang kaki lima—semua itu membuat Aza merasa lebih hidup, meskipun ia tahu bahwa waktu kebebasannya ini terbatas.
"Hukuman ini benar-benar blessing in disguise," gumam Aza sambil tersenyum.
Alih-alih berjalan menuju workshop seperti yang seharusnya, Aza malah memilih jalan yang berlawanan arah. Ia melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mengenalnya di sekitar sana, lalu dengan santai berjalan ke taman dekat pertigaan. Sejak awal tiba di pesantren, ia sudah cukup hafal dengan wilayah sekitar, termasuk taman kecil yang sering dipenuhi penjual jajanan.
"Workshop bisa nanti," gumam Aza sambil tersenyum nakal. Ia tahu, selama membawa buku dispensasi, tidak akan ada yang curiga. Dua jam ini sepenuhnya miliknya, dan ia berniat memanfaatkannya sebaik mungkin.
Sesampainya di taman, pemandangan penuh warna dari deretan penjual jajanan langsung menyambutnya. Penjual bakso tusuk, es krim, gorengan, hingga minuman segar berjejer rapi di sisi taman. Wajah Aza langsung cerah. Di saat santri lain terkurung dalam aturan ketat, Aza bisa bersantai dan menikmati kebebasan kecilnya.
"Sekarang waktunya jajan sepuasnya," ujarnya sambil menghampiri penjual bakso tusuk favoritnya.
Ia memesan beberapa tusuk bakso, menunggu dengan sabar sambil melihat ke sekeliling. Taman itu cukup ramai, banyak orang berlalu-lalang, ada yang duduk-duduk sambil bercengkerama, ada pula yang sekadar lewat. Namun, semua itu tidak membuat Aza khawatir. Tidak ada yang mengenalnya di sini.
"Ini, Mbak. Bakso tusuknya," kata si penjual sambil menyerahkan plastik berisi bakso panas dengan saus dan bumbu pedas. Aza segera mengambilnya dan melanjutkan berburu jajanan lain.
Dia berjalan ke penjual es krim, lalu membeli gorengan. Setiap penjual yang disinggahinya selalu menyambut dengan ramah, tak tahu bahwa pembeli muda ini sebenarnya sedang dalam "hukuman".
Sambil menikmati makanannya, Aza duduk di salah satu bangku taman. Ia merasa sangat puas.
"Kalau tiap hari hukuman seperti ini, aku rela," pikirnya sambil tertawa kecil.
Waktu dua jam mungkin akan terasa cepat, tapi bagi Aza, momen seperti ini lebih dari cukup untuk melepaskan penat dari rutinitas di pesantren.
Bersambung
Happy reading
emak nya Farah siapa ya...🤔...
aku lupa🤦🏻♀️
yang sebelm nya ku baca ber ulang²....
hidayah lewat mz agus🤣🤣🤣🤣🤣🤣....
eh.... slah🤭.... mz Gus....😂😂😂
100 dst siapa ikut😂😂😂😂
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....
hanya krn anak pun jadi mslh tambah serem....
ke egoisan yang berbalut poligami dan berselimut dalil...🤦🏻♀️... ending nya Cusna terluka parah.....