Sahabatku Ambang Pernikahanku

Ema menyusul Arian yang keluar dari stadion.

"Mas Ari," panggil Ema.

Ema mengejar Arian, menarik tangan lelaki itu hingga Arian menatapnya.

"Kamu kenapa sih? Dari tadi kek enggak senang banget. Kamu masih berharap sama istri orang? Ha? Arika udah bahagia, mas," ucap Ema. "Kamu enggak bisa lihat aku sedikit aja?"

"AKU ENGGAK BISA, DAN TIDAK AKAN PERNAH BISA."

"Kamu pikir aku bertahan sampai segininya karena aku masih mencintaimu mas? Enggak, mas. Aku bertahan sama kamu hanya karena Karin. Enggak ada yang mau bertahan sama lelaki kek kamu, problematik."

Ema sudah tak tahan dengan semua perlakuan Arian. Ia benar-benar muak.

Wanita itu meninggalkan Arian dengan keadaan menangis. Arian yang melihatnya berteriak, meluapkan emosinya dan mengejar Ema.

Singkat cerita, Ema sudah berada di rumah. Ema mengemas pakaiannya.

"Ema apa yang kamu ingin lakukan? Kamu mau kemana?" tanya Arian melempar koper menjauh dari Ema.

"Aku mau pergi, pergi jauh."

"Kamu mau meninggalkan Karin sendiri bersamaku, ha?"

Ema menghapus air matanya.

"Bukannya perjanjian kita menikah hanya untuk memiliki anak, kan? Kamu sudah mendapatkan anak, dan itu sudah jadi tanggung jawabmu. Aku mau pergi, rawat anakmu sendiri." Saat hendak mengambil kopernya, Arian menarik kasar tangannya.

Brak!

Arian membanting tubuh Ema hingga Ema terbentur di pintu kamar.

Wanita itu menangis sesengukan, meringis kesakitan. Sebuah darah keluar dari bibirnya.

"Kamu pikir dengan apa yang terjadi kamu bisa bebas begitu? Karenamu, hubunganku dengan Arika berantakan."

Ema tersenyum devil, menghapus darah yang keluar dari hidungnya.

"Kita sama-sama salah," teriak Ema.

Plak!

Arian melayangkan tamparan, dan setelahnya meninju mata Ema. Hal itu membuat Ema menjerit.

"Berani kau meneriaki ku? Ha?" Arian mencengkram kuat pipi Ema yang berlumuran darah. "Gue benci lihat orang meneriaki ku."

"Lepasin aku Ari, aku mohon." Ema terlihat begitu bermohon ampunan.

Arian meludahi wajah wanita itu membuat Ema memejamkan matanya, hatinya begitu sakit.

"Lepasin? Lo tidak akan lepas dariku sebelum Arika kembali, saat Arika kembali lo mati pun gue enggak peduli."

"ARIKA TIDAK AKAN KEMBALI KEPADA LELAKI BRENGSEK KEK KAMU! ARIKA MENGAMBIL JALAN YANG BENAR."

Ema sudah tidak peduli akan jika harus dipukul lagi oleh lelaki tersebut.

"Dasar wanita murah-" Saat Arian ingin kembali melayangkan pukulan, suara teriakan Karin memanggil mereka membuat Arian menurunkan tangannya dan menyuruh Ema ke kamar mandi.

Ema dengan keadaan tak memungkinkan lagi. Wanita itu berdiri dan masuk ke dalam kamar mandi, menangis sejadi-jadinya, menerapi nasibnya yang malam.

Dia kira setelah menikah dengan Arian, hidupnya akan hidup bahagia tanpa kekurangan apapun seperti Arika saat bersama lelaki tersebut.

Jujur dia iri dengan mantan sahabatnya yang hidupnya selalu beruntung.

"Anak papa?"

"Mama mana, pah? Kok cepat banget pulangnya?"

"Mama kamu lagi bersih-bersih, kamu balik di kamar lagi, ya?"

"Itu koper buat apa, pah?" Karina melihat koper tergeletak di bawah ranjang.

"Tidak apa-apa. Itu kopernya jatuh, di kasih jatuh oleh kucingnya Karin."

Karina menghampiri kucingnya yang kebetulan ada di dalam kamar orang tuanya.

"Karin kembali ke kamar dulu, ya sama Chiki." Karin mencium pipi Arian dan kembali ke kamarnya.

Arian menghela napas panjang. Ia menutup pintu kamar, ia mengambil kotak p3k di laci, ia akan mengobati luka Ema saat keluar dari kamar mandi.