Tak pernah terpikirkan sebelumnya jika Aruna harus menikah setelah kehilangan calon suaminya 1 tahun yang lalu. Ia dengan terpaksa menyetujui lamaran dari seorang pria yang ternyata sudah beristri. Entah apapun alasannya, bukan hanya Aruna, namun Aryan sendiri tak menerima akan perjodohan ini. Meski demikian, pernikahan tetap digelar atas restu orang tua kedua pihak dan Istri pertama Aryan.
Akankah pernikahan tanpa cinta itu bertahan lama? Dan alasan apa yang membuat Aruna harus terjebak menjadi Istri kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Trilia Igriss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35. Tamu tak diundang
"Bu. Ada kiriman untuk Ibu." Ujar Bi Ima dengan penuh kesopanan. Terlihat kerutan di dahi Aruna menandakan Ia penasaran siapa lagi yang mengirimnya sesuatu? Ditengah kesalahpahaman Aryan padanya, mengapa ada saja tambahan untuk ujian pernikahannya. Selama Ia melangkah turun dari kamar, hanya satu kata yang berputar di benaknya. "Siapa?"
"Bu... ini ada paket kiriman untuk Ibu. Tolong tanda tangan di sini." Ucap petugas yang mengantarkan barang tersebut.
"Dari siapa Mas? Saya tidak pesan paket atau apapun."
"Di sini hanya tertera satu huruf saja, A. Saya hanya bertugas mengantarkan saja, Bu. Tapi dari team pengecekan sudah mengonfirmasi bahwa di dalamnya bukan bom." Jelasnya agar pemilik rumah tak begitu khawatir. Sepertinya bukan sekali dua kali wanita di depannya itu menerima kiriman tanpa nama. "Maaf Bu. Apa Ibu pernah menerima barang tanpa memesan?" Tanya pria itu kembali.
"Sering, Mas. Tapi yang antar saya sudah tahu, makanya saya heran ini kiriman apa, soalnya Masnya beda. Kalau boleh tahu, ini kiriman isinya apa ya? Saya takut."
"Saya kurang tahu Bu. Saya bukan bagian pengecekan dan penerimaan dari pengirim."
"Tapi alamat pengirimnya sama di kota ini, kan Mas?" Meski sudah tahu, Aruna tetap bertanya untuk memastikan. Ia tak ingin mudah percaya meski semuanya tak perlu diragukan lagi.
"Kalau ada tindak kriminal, sebelum saya kirim pada Ibu, pihak kantor kami yang akan kena duluan Bu. Perusahaan jasa pengiriman kami, dijamin aman. Ibu tenang saja."
"Ya sudah Mas. Makasih ya. Nanti kalau ada apa-apa, saya hubungi pihak kantor Mas kerja aja." Menyikapi kekhawatiran Aruna tersebut, pria di depannya hanya tersenyum seraya mengangguk pelan kemudian berlalu ketika pekerjaannya dirasa sudah selesai di rumah Aruna.
Dengan penuh kehati-hatian namun penasaran, Aruna mencoba memberanikan diri membuka bungkus kiriman ditemani Bi Ima dan ART lainnya. Dan, saat isinya sudah nampak, semua menghela nafas lega sesaat lalu mereka melongo bersamaan.
"I-itu lampion bunga lily. Iiihhh lucu banget Bu. Pasti dari Pak Aryan." Puji salah seorang ART yang masih berusia 20 tahunan. Diketahui Sundari memperkerjakan gadis itu untuk mengasuh cucunya nanti. Meski tahu Aruna belum mengandung, namun Sundari telah mempersiapkan semuanya dari sekarang.
"Bukan kayaknya. Mas Aryan bukan Type orang yang suka kasih kejutan tanpa bilang-bilang. Kalau dia mau beli, ya beli dibawa langsung sama dia. Kalaupun pesan, dia selalu kasih tahu aku."
"Kalau bukan dari Pak Aryan, terus dari siapa Bu?" Lagi, gadis bernama Mila itu kembali bertanya meskipun rekan-rekannya yang lain tak berani, termasuk Bi Ima.
"Bu... apa mungkin..." Bi Ima tak melanjutkan penuturannya. Aruna yang tak ingin orang rumah salah faham dan mengiranya berselingkuh, Ia berekspresi terkejut lalu tertawa kecil pada Bi Ima seraya berucap,
"Aaaaa iya Bi. Kayaknya dari Oma lagi. Waktu itu kan gak ada ya. Ah Oma selalu saja beri aku kejutan" celotehnya. Bi Ima ikut tersenyum meski Ia tahu yang dimaksud hati Aruna bukanlah Oma. Jelas inisial dari pengirim saja huruf 'A'. Ada dua kemungkinan, dari majikan mereka, atau dari dokter yang tempo hari menjadi kenalan Aruna. Setelah dirasa tak ada yang janggal, Aruna memilih kembali ke kamarnya dengan masih mempertanyakan dari siapa kiriman itu.
"Bi... bibi rasa ini dari siapa?" Tanya Aruna tepat setelah mereka sampai di dalam kamar Aruna. Ia meminta Bi Ima untuk ikut agar bisa menebak dengan benar siapa yang mengirimkan hadiah ini tiba-tiba.
"Saya rasa, dokter yang waktu itu dekat dengan Ibu." Jawab Bi Ima membuat Aruna semakin khawatir. Bagaimana jika benar? Apa Aryan akan memarahinya? Dan mengapa kali ini Ia tak ingin Aryan marah, atau sampai menjatuhkan kata cerai. Ada sesuatu yang entah apa itu yang seakan menahannya untuk bercerai dengan Aryan walaupun sebelumnya Ia sangat yakin akan perpisahan itu.
...****************...
Siang menjelang sore, Aruna yang tengah duduk di balkon kamarnya melihat sebuah mobil yang memasuki pekarangan rumahnya. Ia mengernyit merasa heran mengapa Aryan pulang di jam ini. Rasa ingin tahu yang semakin besar, Ia beranjak dan gegas turun untuk menyambut sang suami.
"Mas... tumben jam segini udah pulang?" Tanyanya kemudian mencium tangan Aryan dan dibalas dengan kecupan di dahinya.
"Kerjaan Mas udah selesai. Dan Mas sengaja ijin pulang."
"Kenapa Mas? Ada masalah?"
"Mungkin. Masalahnya kamu."
'Deg!'
Apa lagi? Mengapa Aruna terus disalahkan dengan sesuatu yang tak Ia ketahui.
"Ma-maksud Mas?" Tanyanya dengan suara mulai lirih menahan sesak.
"Sejak kamu ketemu sama dokter itu, aku gak bisa tenang, Aruna. Sebenarnya apa hubungan kalian?"
"Mas, kan aku udah jelasin sama kamu kalau aku sama Mas Adnan itu gak ada hubungan apa-apa."
"Tapi dokter itu suka sama kamu. Aku yakin dia jatuh cinta sama kamu."
Aruna terdiam sejenak, Ia menunduk kemudian tersenyum lalu kembali mendongak menatap Aryan.
"Mas maunya apa?" Entah kalimat darimana, Ia jelas tak terpikir akan mengatakan pertanyaan itu. Ia seakan membuka jalan untuk mereka berpisah.
"Mas mau, kita..." belum selesai Aryan berucap, Ia mendengar suara mobil terhenti tepat di depan rumahnya. Dan, matanya berubah tajam kala mendapati siapa yang turun dari mobil tersebut. Terlihat pria itu ragu untuk mengucap 'permisi' hingga Aryan sendiri yang menghampirinya. Berusaha tenang, Ia tak ingin membuat keributan di rumahnya sendiri.
"Permis.. si..." ucapannya tersenggal, Aryan menatap tajam ke arahnya. Kehadiran pemilik rumah yang bukan Ia harapkan sudah menjelaskan bahwa bukan hanya Aruna yang tinggal di sana.
"Ada perlu apa?" Tanya Aryan tak sedikitpun mengubah ekspresinya.
"Saya.."
"Mau bertemu Aruna?" Aryan menyela sebelum Adnan melanjutkan jawabannya. Namun pada akhirnya, Adnan memilih diam menahan rasa sakit di ulu hatinya.
"Siapa Mas?" Tanya Aruna ikut menyusul. Belum sampai memperlihatkan wujudnya pada Adnan, Aryan dengan tegas menghalangi jalannya.
"Masuk. Ini tamu Mas." Ujarnya. Melihat Aryan yang tak bersahabat, Aruna hanya bisa menurut dan melihat dari jendela siapa tamu yang datang. Matanya terbelalak mendapati sosok yang jelas Ia hindari itu.
"Anda suami Aruna?" Tanya Adnan sebelum Ia mengutarakan maksud dan niatnya datang ke sana.
"Iya. Saya suami Aruna." Masih dengan nada ketus, Aryan menjawab seraya mendelik menghindari kontak mata dengan Adnan. Ada sebuah rasa sakit yang teramat dalam mendengar jawaban Aryan tersebut. Adnan mengatur nafasnya lalu bersuara
"Saya mau menyampaikan pesan Putri saya pada Aruna. Alice ingin bertemu Aruna jika Aruna berkenan datang ke rumah sakit. Tapi jika tidak, tak apa."
"Istri saya sedang sibuk." Hanya itu yang terucap dari Aryan seakan menegaskan bahwa Aruna tak bisa pergi sesuai permintaan Adnan.
"Baiklah. Tapi, apa saya boleh berbicara sebentar dengan Aruna? Sebentar saja! Setelah itu, saya dan Alice tak akan mencari kabarnya lagi." Pintanya membujuk. Dengan malas, Aryan memberi jalan untuk istrinya agar menemui pria yang ingin berbicara dengannya. Senyum getir terlukis di wajah keduanya sehingga salah satu diantara mereka menjatuhkan bulir bening dari pelupuk matanya.
"Apa yang kau tangisi, Aruna? Bukankah ini permainanmu? Kau memberikan Alice harapan, tapi sebenarnya kau terikat kuat dengan orang lain." Ujar Adnan.
"Mas.. aku gak kasih kalian harapan."
"Mungkin iya. Tapi, Alice berharap." Kali ini, Adnan ikut menitikkan air mata mengatakan hal tersebut. "Aku berharap, semoga saja Alice lupa padamu setelah Ia menjalani operasi. Setidaknya Ia akan hidup tenang tanpa merengek ingin bertemu denganmu." Imbuh Adnan kemudian beranjak tanpa berpamitan.
Sementara itu, Aruna berusaha menahan langkah Aryan dengan sebuah pertanyaan, "Alice sakit apa Mas? Kenapa harus dioperasi?"
Pertanyaan itu berhasil membuat Adnan terhenti dan menoleh sesaat lalu menjawab, "tumor otak." Hanya dua kata, namun membuat Aruna lemas tak bisa bergerak. Ia mematung menatap kepergian Adnan yang menyisakan kesedihan di hatinya. Melihat pria itu sudah berlalu, Aryan mendekat dengan aura kemarahannya.
"Bagaimana? Sudah melepas rindunya?" Tanyanya tanpa jawaban apapun dari Aruna. Istrinya itu masih mematung dan dengan tiba-tiba tubuhnya seakan melayang nyaris menimpa dirinya. Dengan sigap, Ia menahan agar tubuh Aruna tak sampai membentur lantai.
"Aruna... hei... sadar, Aruna. Apa yang membuatmu pingsan? Aruna?" Kesakitan seperti apa yang ada dalam hati Aruna? Pikir Aryan.
Disisi lain, Adnan menepikan mobilnya karena denyutan di ulu hatinya semakin menyakitkan. Entah air dari mana, wajahnya sudah basah dan Ia perlahan terisak keras. Ini kali pertama setelah kepergian mendiang istrinya, Ia menangis kembali.
"Bahagialah, Aruna. Semoga anak dalam kandunganmu selalu sehat, tidak seperti Alice." Ujar Adnan menangis tersedu-sedu di dalam mobil. Cinta sebesar apa sampai membuat seorang Adnan menangisi perempuan.
...-bersambung...
gimana ya thor aruna dg Adnan
biar nangis darah suami pecundang
masak dak berani lawan
dan aku lebih S7, Aruna dg Adnan drpd dg suami pecundang, suami banci
drpd mkn ati dg Aryan, sbg istri ke 2 pula
berlipat lipat ,
memikiran gk masuk akal sehat..